Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 12
Di dalam mobil perjalanan pulang. Jia yang duduk di depan menemani Jio pun hanya terdiam sembari menatap ke arah jalanan.
Masih terasa sakit kala mengingat semua yang dilakukan oleh keluarga Rangga padanya.
Jio melirik ke arah Kakaknya dan mengusap lembut tangan sang Kakak.
Jia menoleh lalu tersenyum seadanya ke arah sang Adik dan kembali lagi menatap ke arah jalanan sembari menyenderkan kepalanya ke jendela mobil.
"Kakak tidak akan berubah pikiran tentang keinginan Kakak ini kan?" Tanya Jio perlahan.
Jia menggelengkan kepalanya.
"Kakak sudah yakin akan semuanya. Kamu tolong bantu Kakak untuk memenangkan hak asuh Amira ya." Jawab Jia.
"Pasti akan aku bantu. Bahkan harta gono gini pun Kakak pasti akan mendapatkannya." ucap Jio yakin.
Jia baru teringat, mobil yang selama ini di pakai oleh Litta kuliah dan yang di pakai untuk berlibur setiap bulannya itu adalah mobil hasil uang tabungan miliknya.
Tapi apa mungkin keluarga Rangga akan memberikan mobil itu secara cuma-cuma. Untung saja surat mobil semua Jia yang bawa dan itu atas nama Jia.
"Nak apa menurut mu ada yang kamu anggap harta gono gini mu dengan Rangga?" Tanya Pak Alan pada Jia.
Jia menoleh ke arah Papanya.
"Aku tidak tahu itu masih di anggap harta gono gini atau bukan. Tapi ada satu mobil yang di beli pakai uang tabungan ku, dan mobil itu sekarang dipakai Litta, adiknya Rangga." Ucap Jia seraya mengalihkan tatapannya ke arah Jio yang tengah fokus menyetir.
Jio yang mendengar ucapan sang kakak pun menoleh ke arah Jia sekilas.
"Kalau itu hasil dari tabungan Kakak, walaupun dibeli setelah pernikahan kalian. Itu masih hak Kakak." Jawab Jio.
"Tapi itu yang pakai Litta bukan Rangga." Ucap Jia yang masih ragu.
"Mobil itu di beli atas nama siapa?" Tanya Jio lagi.
"Atas nama ku."
Jio menganggukkan kepalanya mengerti.
"Kalau pun nanti tidak berhasil menjadi harta gono gini Kakak. Setidaknya mobil itu bisa kita ambil karena mobil itu atas nama Kakak." Jawaban Jio membuat Jia sedikit lega.
Jia menghembuskan nafasnya pelan. Sebenarnya dia tidak terlalu mengharapkan mobil itu, yang terpenting baginya adalah hak asuh Amira harus jatuh ketangannya.
"Aku tidak peduli dengan mobil tersebut dek. Yang terpenting, hak asuh Amira harus jatuh ke tangan Kakak." Jawab Jia.
"Kalau bisa usahakan saja keduanya Jio. Enak saja anak ku yang membeli mereka yang memakai." Jawab Pak Alan tak terima.
"Iya Pa." Jawab Jio singkat.
Setelah percakapan itu mereka sama-sama terdiam, tidak ada lagi percakapan diantara mereka.
Meraka tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Oma, Amira lapar." Ucapan Amira berhasil membuyarkan lamunan mereka semua.
"Amira lapar sayang?” Tanya Bu Dinda yang langsung diangguki oleh Amira.
"Amira mau makan apa?" Tanya Bu Dinda lagi.
"Apa saja, Oma." Jawab Amira.
"Ya sudah. Jio kalau ada tempat makan kita mampir dulu ya Nak." Ucap Bu Dinda yang diangguki oleh Jio.
Karena perjalanan mereka memang cukup jauh, dan Jio juga tidak berniat untuk mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Jio takut kalau fokusnya akan terbagi antara menyetir dan masalah sang Kakak.
Kini Jio menepikan mobilnya didepan rumah makan nasi padang, karena rumah makan itu termasuk yang paling dekat dengan area mereka saat ini.
"Nasi padang gak papa ya? Ini yang paling dekat. Kalau mau direstoran kita harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit lagi." Ucap Jio seraya mematikan mesin mobilnya.
Mereka akhirnya turun dan masuk ke dalam untuk memesan makanan.
"Amira, lauknya mau apa sayang?" Tanya Jia lembut.
Amira menatap beberapa menu lauk yang tersusun rapi. Lalu dia menunjuk beberapa lauk yang diinginkannya.
"Yang ini jangan pakai kuah pedas ya Mbak." Ucap Jia pada pelayan rumah makan itu.
"Em Mbak saya bisa minta air hangat serta kain?" Ucap Bu Dinda sungkan.
"Oh iya bu, nanti saya antar ke meja ibu." Jawab salah satu pelayan disana.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya air hangat yang di minta oleh bu Dinda pun di antarkan.
Bu Dinda menerimanya dan dengan segera duduk disamping Jia. Dengan perlahan Bu Dinda mengompres pipi Jia yang masih merah.
"Ayah jahat, Ayah mukul Bunda.” Ucap Amira yang sejak tadi memperhatikan Omanya.
Jia yang mendengar ucapan putrinya menoleh ke arah Amira. Ia melihat Amira yang menatap sedih ke arahnya.
"Amira gak boleh bilang kaya gitu sayang." Ucap Jia menenangkan.
"Ayah jahat bukan sama Bunda saja. Tapi sama Amira juga. Aku gak mau ketemu sama Ayah lagi." Jawab Amira dengan tatapan polosnya.
Bu Dinda yang turut mendengar ucapan Amira ikut terenyuh.
"Sayang dengerin Bunda. Amira gak boleh bilang seperti itu. Mau bagaimana pun juga Ayah itu tetap Ayahnya Amira. Suatu saat Amira pasti akan membutuhkan Ayah. Amira gak boleh benci sama Ayah ya sayang." Jia meyakinkan Amira untuk tidak terus membenci ayahnya.
"Amira punya Opa dan Om Jio, Amira gak mau sama Ayah lagi. Iya kan Om?" Jawaban Amira membuat Jia memejamkan matanya menahan tangis.
Jio yang mendengar serta mendapat pertanyaan dari Amira pun bingung harus menjawab apa. Jika ia mengiyakan, kemungkinan besar Amira pasti akan membenci ayahnya sendiri. Jika ia menjawab tidak takutnya Amira malah akan semakin bersedih.
"Amira terlalu pintar untuk anak seusianya Jia. Lebih baik kamu jangan bahas soal Rangga dulu di depan Amira." Ucap Bu Dinda.
Jia hanya bisa mengangguk lirih.
"Sudah ya sayang. Sekarang kita makan saja ya, tadi katanya Amira lapar. Mending Amira cepat makan dan kita akan segera melanjutkan perjalanan pulang ke rumah Opa." Ucap Pak Alan seraya membelai rambut panjang Cucunya.
"Iya Opa." Amira mengangguk, bibirnya mengukir senyum menatap sang Kakek.
***
Sementara di rumah Rangga masih liputi suasana canggung.
"Kamu gimana sih Ga. Di depan keluarga Jia seperti gak ada harga dirinya begitu." Ucap Bu Arum yang geram dengan sikap anak keduanya itu.
Rangga hanya terdiam entah harus menjawab apa.
"Kamu itu laki-laki Rangga. Jangan mau kalau kamu yang di gugat, seharusnya kamu yang menggugat bukan malah dia." Ucap Bu Arum lagi dan semakin memojokan Rangga.
"Tapi Ma, gak apa-apa kalau Mbak Jia yang menggugat. Nanti tinggal bilang saja kalau Mbak Nia yang menggugat, kalau begitu Mbak Jia yang harus menanggung biayanya." Ucap Litta memberi ide pada Bu Arum.
Bu Arum yang mendengar itu seketika menatap ke arah Litta dengan bibir mengukir senyum.
"Emang bisa gitu ya?" Tanya Bu Arum dan langsung di angguki oleh Litta.
"Ya sudah kalau begitu biarkan saja dia yang menggugat biar kita gak usah keluar biaya." Ucap Bu Arum seraya menggedikan bahu.
"Ya tetap keluar biaya lah Ma, kan untuk menyewa pengacara. Emang ada pengacara gratisan?" Ucap Manda.
"Kalau begitu kamu kan akan menjadi calon Rangga. Jadi kamu yang harus menanggung biaya pengacara tersebut." Ucap Maya yang membuat Manda melotot kaget.
Manda menatap tak percaya akan ucapan calon mertuanya itu.
"Ih kok jadi aku sih bu. Ya Mas Rangga sendiri lah, lagian dia kan karyawan diperusahaan besar, jadi, masalah kecil kalu untuk menyewa pengacara." Jawab Manda.
"Ck gitu saja di ributin. Jika tidak ingin keluar biaya ya sudah tidak usah menyewa pengacara gampang kan?" Ucap Mayang dengan sengit.
Rangga yang tidak menanggapi ucapan mereka sedikit pun. Ia semakin di buat pusing oleh ocehan perempuan-perempuan itu.
"Kok kamu diam saja sih Ga. Mbak, adek dan ibu mu sedang berundi memakai pengacara atau tidak?" Kini Rendi yang angkat bicara.
Rangga menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar.
"Masalahnya aku belum sempat membalik nama mobil yang di pakai Litta. Itu kan pakai uang tabungan Jia untuk membelinya." Jawaban Rangga seketika membuat semuanya terkejut.
********
********
kenp gak tegas .buat mereka kapok