Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26. Melodi Ombak dan Bayang-Bayang
Ruri dan Carlos akhirnya tiba di pantai Selong Belanak, Lombok. Langit biru cerah bertemu dengan air laut yang jernih, membentang sejauh mata memandang. Pasir putih terasa hangat di bawah kaki mereka, lembut, dan halus. Tanpa membuang waktu, Ruri segera berlari menuju bibir pantai, diikuti oleh Carlos yang tersenyum di belakangnya. Ombak yang tenang mengusap-usap kaki Ruri, meninggalkan jejak basah yang tak bertahan lama, tersapu kembali oleh gelombang berikutnya.
"Ini indah sekali, Carlos!" seru Ruri, matanya bersinar penuh kekaguman.
Carlos mengangguk, tetapi bukan pemandangan yang benar-benar menarik perhatiannya. Ia memandang Ruri, rambutnya yang tergerai tertiup angin, dan senyumnya yang tak pernah terlihat lebih bahagia. "Ya, sangat indah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Mereka berdua berjalan berdampingan, kadang melangkah di pasir, kadang menyusuri pinggir air. Angin laut yang sejuk berhembus lembut, membelai kulit mereka. Sesekali Ruri memungut kerang-kerang kecil yang tersebar di sepanjang pantai, memperlihatkannya pada Carlos dengan ekspresi penuh semangat.
Carlos tertawa pelan, merasa damai. Tanpa sadar, tangannya menyentuh tangan Ruri saat mereka berjalan, dan mereka berhenti sejenak. Ruri menoleh, tatapan mereka bertemu. Carlos menarik napas, ada sesuatu yang berbeda kali ini. "Ruri," suaranya serak. "Aku senang kita ke sini bersama."
Ruri tersenyum, sedikit canggung, tapi tidak menolak sentuhan itu. "Aku juga, Carlos. Aku merasa… nyaman."
Mereka terus melangkah perlahan, membiarkan keheningan berbicara untuk mereka, ditemani suara ombak yang memecah di kejauhan.
Ruri dan Carlos akhirnya tersadar dari momen indah mereka di pantai. Mereka ingat bahwa tujuan mereka ke sini bukan untuk liburan, tetapi untuk menyelesaikan tugas kompetisi babak final Pemuda Tangguh. Dengan sedikit canggung, Ruri segera kembali ke suasana serius.
"Pantainya indah banget ya, Carlos," kata Ruri, menarik napas panjang, "tapi sayang kita ke sini bukan untuk tamasya, tapi untuk lomba."
Carlos menoleh padanya, tersenyum samar. "Nggak apa-apa, nanti kapan-kapan kita bisa ke sini lagi. Pas selesai lomba."
Meski tersenyum, Ruri menangkap sesuatu yang tidak biasa dalam ekspresi Carlos. Matanya yang biasanya cerah tampak lebih tenang, bahkan sedikit melankolis. Ada kesan bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain. Ruri merasa ada sesuatu yang Carlos sembunyikan, tapi ia memilih untuk tidak menanyakannya sekarang.
Untuk mencairkan suasana, Ruri mencoba mengajak Carlos melakukan sesuatu yang ringan. "Sebelum kita mulai, gimana kalau kita minum dulu? Di sini ada cendol khas daerah timur, pasti kamu belum pernah coba. Enak lho!"
Carlos tersenyum lebih cerah kali ini, dan mengangguk setuju. "Tentu, boleh."
Mereka berjalan menuju penjual cendol yang berdiri di bawah tenda kecil di tepi pantai. Namun, begitu Ruri melihat wajah penjualnya lebih dekat, ia terkejut. Itu bukan sembarang penjual. Di hadapan mereka berdiri seorang ibu-ibu yang selalu membuat hubungan mereka tidak tenang—ibu yang sering mengganggu mereka dalam berbagai kesempatan sebelumnya.
Ruri menatap Carlos yang juga tampak mengenalinya, dan keduanya membeku sejenak. "Kok... dia lagi?" Ruri bergumam, matanya melebar penuh ketidakpercayaan.
"Halo dek," suara cempreng si ibu-ibu menyapa mereka berdua dengan nada yang sama seperti biasanya. Ruri, yang sempat kaget, akhirnya tersadar dan berusaha meredakan kejutannya, tapi dalam hatinya sudah terdetak satu hal.
"Ini pasti bukan kebetulan," gumam Ruri. "Nggak mungkin kebetulan kalau sudah sejauh ini."
Carlos menoleh ke Ruri dengan ekspresi bingung, sementara Ruri sedikit menegang. "Ibu pasti membuntuti kami, iya kan? Benar kan? Ibu stalker kami, kan?"
Si ibu-ibu hanya terkekeh, melambaikan tangan seolah semua itu hal biasa. "Stalker apa, nak? Ibu cuma jualan es cendol di sini buat tambahan pemasukan," katanya dengan santai.
Ruri mendengus. "Pantai di Lombok? Dari sekian banyak tempat yang bisa Ibu pilih, kenapa harus di sini? Kalau kita ketemu di Jakarta, itu masih wajar. Tapi pantai Lombok, di hari dan tempat yang sama?"
Mereka pun mulai berdebat. Si ibu-ibu dengan tenang menjelaskan bahwa ini hanyalah kebetulan belaka, sementara Ruri, yang masih belum percaya, semakin bersemangat mempertanyakan keanehan yang terus terjadi di sekitarnya. Suasana mulai memanas, dan Carlos hanya berdiri di antara mereka, terdiam. Perdebatan antara Ruri dan si ibu semakin memanjang, hingga akhirnya Ruri, tanpa sadar, keceplosan.
"Kenapa aku selalu di-stalker sama hal-hal aneh? Pertama hantu kucing tidak jelas, sekarang ibu-ibu nggak jelas juga!"
Kalimat itu keluar begitu saja, dan saat Ruri menyadari apa yang dia katakan, wajahnya memucat. Matanya membelalak, lalu beralih pelan ke arah Carlos. Dia melihat Carlos—sang "hantu kucing" yang selama ini dia anggap entitas tak jelas—sekarang berdiri di sisinya, seseorang yang sebenarnya begitu berarti baginya. Kesadaran itu menghantamnya dengan keras.
Mata Ruri mulai berkaca-kaca. Dia berusaha memperbaiki kesalahan ucapannya.
"Maafkan aku, Carlos... Itu salah. Kamu sangat penting buat aku, bukan hal yang nggak penting seperti yang barusan aku katakan," ucap Ruri dengan nada penuh penyesalan. Dia menunduk sejenak, takut menatap wajah Carlos.
Carlos hanya tersenyum lembut, tak ada rasa marah atau dendam di matanya. "Nggak apa-apa, Ruri," jawabnya santai. "Kalau aku juga tiba-tiba diikuti oleh hantu menyebalkan, pasti aku juga akan kebingungan dan nggak senang."
Namun, Ruri segera membantah dengan tegas, suaranya agak gemetar tapi penuh ketulusan. "Kamu nggak menyebalkan sama sekali, Carlos... Bagiku, kamu adalah..." Kalimatnya terhenti di tengah jalan. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk dilanjutkan. Ruri sangat yakin bahwa Carlos sangat berarti baginya, tapi sebagai apa?
Pacar? Rasanya terlalu aneh, mengingat Carlos bukan manusia, mereka berasal dari dunia yang berbeda. Hewan peliharaan? Itu lebih absurd lagi, mana ada hewan peliharaan yang bisa membuat jantung pemiliknya berdegup kencang hanya dengan ketampanannya. Sambil berpikir, Ruri menatap Carlos baik-baik.
Carlos tampak begitu sempurna di bawah cahaya pantai yang cerah. Rambut hitam pekatnya terlihat lembut diterpa angin, mata tajamnya bersinar dengan sorot mata misterius, namun ada kelembutan yang menenangkan di balik tatapan itu. Wajahnya simetris, dengan rahang kuat dan senyum yang bisa meluruhkan hati siapa saja. Bibirnya tipis dan berwarna alami, setiap lekuk wajahnya seperti dipahat dengan presisi. Kulitnya yang putih bersih tampak bersinar, membaur dengan aura alami yang membuatnya begitu memikat. Ia tampak sempurna, sensual dalam caranya yang tidak dibuat-buat, penuh daya tarik namun tetap memancarkan kebaikan dan perhatian.
Melihat Carlos seperti ini, Ruri semakin bingung. Bagaimana mungkin sosok seperti Carlos, yang begitu sempurna di matanya, bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh?
Carlos, yang menyadari Ruri sedang terdiam, mencoba mengalihkan suasana. "Yuk, kita nggak usah bertengkar lagi. Lebih baik kita nikmati es cendol spesial ini," ujarnya sambil tersenyum, menunjuk ke arah si ibu-ibu.
Ruri hanya bisa mengangguk, hatinya masih diliputi keraguan dan kebingungan. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Ruri, Carlos melirik si ibu-ibu itu dengan tatapan penuh arti, seolah ada pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
___
Benerapa hari yang lalu sebelum kepergian Ruri dan Carlos ke Lombok, Carlos menemui sang ibu-ibu di rumahnya. Mereka memulai percakapan dengan basa-basi tentang cuaca, perjalanan sehari-hari, dan beberapa kabar terkini yang cukup sepele. Si ibu dengan wajahnya yang sedikit berkerut tampak menikmati obrolan ringan itu, sedangkan Carlos hanya ikut menyambung tanpa banyak emosi, jelas ada sesuatu yang lebih penting yang ingin dibicarakannya.
Setelah obrolan mengalir selama beberapa saat, Carlos akhirnya memutuskan untuk langsung ke intinya. “Aku punya penciuman yang tajam,” katanya perlahan, nada suaranya kini berubah lebih serius. “Walau dalam keadaan setengah sadar sekalipun, dan pandanganku kabur, aku tidak akan pernah melupakan bau seseorang.” Dia menatap si ibu dengan tajam, seolah berusaha menangkap setiap reaksi dari lawan bicaranya. “Aku sempat linglung setelah terbangun dari pingsanku, tapi aku tahu. Orang yang menolongku malam itu adalah kau.”
Si ibu tetap diam, senyum tipis tersungging di bibirnya. Tidak ada penyangkalan, tidak ada pengakuan, hanya sebuah keheningan yang bisa dianggap sebagai jawaban positif.
Carlos menghela napas sejenak, lalu dengan tegas bertanya, “Kamu penyihir, kan?”
Senyum kecil si ibu bertahan, tapi kali ini tatapan matanya berbicara lebih banyak. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandang Carlos dengan sorot mata yang penuh makna.
Setelah lama diam, si ibu akhirnya bertanya dengan suara lembut, “Apa yang kamu butuhkan, Nak?”
Carlos mengangguk pelan, sudah menyiapkan jawabannya sejak awal. “Aku butuh kau ikut ke Lombok dan menjaga Ruri. Aku yakin Arham masih hidup.” Tatapannya berubah tajam. “Keadaanku sekarang, walau sudah agak membaik setelah beryoga beberapa hari, tidak cukup kuat untuk melindungi Ruri dan melawan Arham bersamaan.”
Si ibu mendengarkan dengan tenang, matanya berkedip perlahan, tapi tetap waspada.
Carlos melanjutkan, “Jika Arham akan muncul lagi untuk menikmati keputusasaan Ruri, tidak ada waktu yang lebih tepat daripada sekarang, ketika Ruri sedang berada di puncak perjuangannya.”
Senyum si ibu melebar, “Bukannya biasanya kau minta tolong sama si monyet?” tanyanya, setengah bergurau.
Carlos menggeleng pelan. “Nona Kiwil...”
Si ibu tampak kebingungan. “Nona Kiwil?” dia mengulang, jelas tidak mengerti.
Carlos menyadari kebingungannya dan menjelaskan, “Ah, itu nama hantu monyet yang selalu menempel pada Akasha. Selama ini dia membantu secara tidak langsung, karena Ruri dekat dengan Akasha selama kompetisi. Kalau ada apa-apa dengan Ruri, Akasha juga akan kena imbasnya, jadi dia melindungi Ruri. Tapi sekarang beda, di kompetisi final, kedua sahabat itu terpisah. Kiwil tidak punya alasan lagi untuk melindungi Ruri.”
Si ibu menggumam, “Ah...” Seakan-akan kini semuanya mulai masuk akal.
Setelah berpikir sejenak, si ibu mengangguk ringan dan menyetujui permintaan Carlos. “Baiklah, aku akan ikut menjaga Ruri. Tapi ingat, ada harga untuk setiap pertolongan.”
Carlos hanya tersenyum samar, mengetahui bahwa si ibu memiliki alasan dan tujuannya sendiri, yang mungkin jauh lebih dalam daripada sekadar membantu.