Kehidupan Zevanya hancur, semenjak dirinya bertemu dengan seorang pria yang bernama Reynald. Pria itu menyebabkan dirinya harus mendekam didalam penjara yang dingin. Bahkan Zevanya harus menerima hukuman mati, setelah dirinya tertangkap tangan oleh polisi Bandara membawa sejumlah heroin dan pil ekstasi di koper miliknya.
Apakah Reynald , kekasihnya itu dengan sengaja menjebaknya? Ataukah ada orang lain yang ingin memisahkan cinta mereka?
Apakah dendam dalam diri Zevanya terbalaskan, setelah dirinya selamat dari eksekusi mati yang dijatuhkan oleh pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Azalea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. PERMINTAAN TERAKHIR
Kepulangan kembali Zee ke sel rumah tahanan disambut suka cita oleh teman-teman satu selnya. Apalagi dengan hadirnya bayi mungil yang baru saja hadir ke dunia.
"Selamat datang kembali, Zee!" sambut Deborah dengan senyum merekah.
"Terima kasih, Deborah. Terima kasih semuanya, kalian semua sangat baik padaku," ungkap Zee penuh haru.
Para penghuni sel itu bergantian memeluk Zee, memberi ucapan selamat. Mereka secara bergantian juga mengendong bayi Rain.
"Bayimu sangat tampan, Zee. Pasti ayahnya juga tampan," celetuk Veronica.
Zee hanya tersenyum getir.
*Sudahlah Veronica, kita tidak perlu membahas ayahnya. Mari kita besarkan bayi tampan ini bersama-sama!" ujar Marilyn.
"Maaf, aku hanya bercanda," kilah Veronica.
Alangkah beruntungnya Zevanya memiliki teman-teman satu sel yang mau bergantian merawat Rain. Bayi mungil itu tidak kekurangan kasih sayang. Bahkan, Rain pun tidak begitu merepotkan Zee. Bayi itu sangat baik dan menggemaskan semua orang.
*******
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Diusia Rain menginjak lima tahun, Marilyn dibebaskan dari penjara.
Zee merasa sedih, karena harus berpisah dengan Marilyn dan juga putranya.
"Mom, terimakasih atas kebaikan anda selama ini," ucap Zee tulus, sesaat hendak berpisah dengan Marilyn.
"Sama-sama sayang, kami akan merindukanmu!" Marilyn memeluk Zee era.
"Titip putraku, Mommy! Aku tidak punya apa-apa untuk aku berikan pada kalian, aku hanya punya kalung ini." Zee memberikan sebuah kalung Diamond berbentuk hati pada Marilyn.
"Jangan khawatir, sayang! Aku akan merawat Rain, seperti anakku sendiri," ucap Marilyn tulus.
Semua penghuni sel menitikkan air mata melepas kebebasan Marilyn dan kepergian Rain bersamanya.
*******
TIGA TAHUN KEMUDIAN
Suasana di rumah tahanan, tempat Zee menjalani hukuman, tampak kondusif seperti biasanya.
Pagi itu sangat cerah, matahari bersinar dengan terangnya. Seperti biasa, sebagian narapidana wanita di sel blok A sedang beraktivitas membersihkan lingkungan rumah tahanan. Ada juga yang berada di lapangan sekedar berolahraga ringan.
Zevanya dengan pakaian tahanannya, berjalan ke arah ruangan khusus yang ada di lingkungan rumah tahanan, dengan dikawal oleh dua orang sipir penjara.
Hari ini, Zee dijadwalkan bertemu dengan pendeta Xavier. Seorang rohaniawan yang bertugas membimbing para penghuni lapas sebelum menjalani eksekusi hukuman mati.
"Selamat pagi, Pendeta Xavier!" Zevanya menyapa pendeta Xavier begitu masuk kedalam ruangan pendeta Xavier, yang berada tepat di sisi kanan klinik dokter Alice.
"Selamat pagi, anakku, duduk lah!" Titah pendeta Xavier lembut.
"Terimakasih, Bapa,” Zee menundukkan kepalanya hormat. Pria tua berusia 60 tahunan itu memandangi wajah pucat dan kurus itu dengan iba.
"Bagaimana perasaanmu pagi ini, Nak?" Tanya pendeta itu lembut.
"Anda tahu pasti, Bapa. Saya tidak baik-baik saja. Tapi, saya pasrah dan akan tetap menerima takdir buruk ku ini dengan lapang dada,” kata Zevanya.
"Apa kamu punya permintaan terakhir? tanya pendeta Xavier lagi.
"Entahlah Bapa, saya tidak yakin." Zee menggelengkan kepala nya dengan lemah.
"Katakan apa yang kamu inginkan!" Pendeta Xavier menatap lekat wajah sayu itu.
"Aku ingin melihat putraku, sebentar saja, tapi ... " Zee berhenti sejenak mengusap air mata yang menggenangi pelupuk mata yang tampak sayu.
"Tapi, kenapa?" Pendeta penasaran dengan jawaban yang digantung wanita itu.
"Aku ingin menemuinya, tapi aku takut dia akan terluka dan merasa malu jika anak itu tahu kalau ibunya adalah seorang narapidana," ucap Zee dengan suara yang gemetar. Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung.
"Menangislah, anakku! lepaskan semua beban dihatimu,” ujar pendeta Xavier mengusap pundak Zevanya lembut.
Zevanya menangis sesaat, tubuhnya terguncang hebat. Tangisan itu sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Pendeta Xavier mencoba menenangkannya. Kedua tangannya menggenggam erat tangan wanita itu, seolah menyalurkan energi agar Zee tetap kuat menerima takdir yang telah begitu kejam menghancurkan hidupnya.
Pendeta Xavier menarik nafas perlahan. Setelah tangisan Zee mereda, Pendeta Xavier memberi wejangan dan nasehat agar Zee ikhlas menerima ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan.
Setelah menemui pendeta Xavier, Zee kembali diantar ke kamar tahanan nya, dia merasa lemah. Melihat keadaan Zee yang tampak kacau, seorang wanita baya memeluk Zee dengan erat. Zee kembali menangis dalam pelukan wanita yang sudah dianggap seperti ibunya, bernama Lily, setelah Marilyn keluar dari penjara.
Sudah hampir 8 tahun, Zee menjalani hukumannya di rutan itu. Zee bersyukur, para penghuni sel no 10 blok A itu sangat baik padanya. Walaupun di awal-awal masa tahanannya, dia sering dirundung dan diperlakukan tidak baik oleh sesama penghuni sel! Rumah Tahanan itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai simpati pada nasib buruk yang menimpa Zee, dia dihukum atas sebuah kesalahan yang tidak dia dilakukan. Bahkan dia tidak mengetahui sama sekali barang haram itu ada didalam travel bag miliknya.
Zee berfikir, bahwa Reynald kekasihnya memang sengaja menjebaknya.
Bagaimana tidak, barang haram itu berada dalam sebuah tas branded berwarna hitam, dan terbungkus rapi dalam sebuah kotak kemasan yang diikat dengan pita merah muda.
Tapi untuk apa? Kesalahan apa yang telah Zee perbuat hingga pria itu sampai hati membuatnya hancur?
Dan sampai saat ini pun, Zee tidak menemukan jawabannya.
Zevanya terpaksa menerima semua keputusan hakim, Karena dia tidak punya kekuatan untuk membela diri, tidak punya uang untuk menyewa pengacara hebat.
Zee merasa dirinya tidak diinginkan lagi, dia hanya sebatang kara menjalani hidup, tak punya orang tuanya ataupun kerabat dekat, apalagi teman untuk mendukungnya.
Oleh karenanya, dia menerima hukuman mati itu dengan besar hati. Pasrah dengan takdir yang telah digariskan kepadanya.
Disaat narapidana bahagia mendapatkan remisi dari pemerintah, namun tidak bagi Zee, ia menolaknya.
Jiwanya telah mati, seiring penghianatan yang telah kekasihnya lakukan. Hatinya terasa sakit, mengingat semua kenangan manis yang pernah sejenak dia rasakan, bersama seorang pria bernama Reynald Wilson.
Rasa cinta yang tulus, telah berubah menjadi kebencian yang teramat dalam.
*******
Menjelang istirahat makan siang, dua orang sipir wanita bernama Maggie dan Katie, kembali menjemput Zee di selnya.
"Nona Zee, ikut kami!” Kata Maggie setelah membukakan gembok sel tahanan no. 10.
"Ada apa, Nona Maggie?" Tanya Zee sedikit kaget.
"Kapten Leonard memanggil anda di ruangannya." Jawab Maggie dengan wajah datar.
Zee mengangguk, lalu segera mengikuti kedua sipir itu.
Sesampainya di ruang kerja Kapten Leonard, Zee dipersilahkan untuk duduk.
Kedua sipir wanita yang mengawal Zee, berdiri didepan pintu masuk.
"Anda memanggil saya, Tuan?"tanya Zevanya setelah duduk dihadapan kepala penjara itu.
"Iya nona, Zee. Begini, tadi Pendeta Xavier mengatakan padaku, jika kamu ingin bertemu dengan putramu, betul begitu?" Tanya sang kapten, sambil menyilangkan kedua tangannya didada.
Zee menganggukkan kepalanya, membenarkan perkataan Kapten Leonard.
"Aku akan mengabulkan permintaanmu." Kata Kapten Leonard kemudian.
"Benarkah, tapi saya tidak sanggup untuk menemuinya, Tuan."keluh Zee.
"Kamu cukup melihatnya dari jauh, kalau memang kamu tidak ingin menemuinya, aku akan mengantarmu, besok siang pukul 12.00,
"Saya tidak tahu dimana anak itu sekarang.Tuan,” ucap Zee sedih.
“Dulu saya menitipkan anak saya pada nyonya Marilyn, tapi wanita itu tidak pernah menghubungi saya lagi, setelah satu tahun dia membawa Rain." Lanjut Zee dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jangan khawatir, kami sudah menyelidikinya, kita akan melihat putramu di sekolahnya. Saat jam pelajaran sekolah berakhir."
"Terimakasih banyak,Tuan! Kalau tidak ada lagi yang dibicarakan, saya permisi,"ucap Zee dengan sedikit senyum mengembang di sudut bibirnya.
Kapten Leonard mengangguk. Zee keluar dari ruangan kerja sang kapten dengan senyum gundah.
Pria berparas tampan itu menatap kepergian Zee, sampai bayangannya hilang dibalik pintu, dengan raut wajah yang sulit diartikan.
*****
Malam itu terasa sangat panjang bagi seorang Zevanya. Matanya sulit untuk dipejamkan. Jantungnya berdetak dengan kencang. Entah mengapa belakangan ini dia merasa lemah. Tidak seperti biasanya.
Bayangan bocah kecil, yang menemaninya di penjara hingga berusia 5 tahun, menari lincah dalam ingatannya.
"Rain.,.." panggilnya lirih
"Seperti apa dirimu sekarang? Apakah kau bahagia diluar sana?” Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikiran Zee saat ini. Namun tidak ada satupun jawabannya.
"Mommy merindukanmu, Rain!" Bisik Zee dalam kegundahan hati yang teramat dalam.
Keesokan harinya, dengan menggunakan mobil rumah tahanan. Zee dibawa Kapten Leonard ke sebuah elementary school , di pusat kota Ohio. Dikawal oleh beberapa orang sipir dan dua diantaranya sipir laki-laki.
Jam pelajaran sekolah baru saja usai, pintu gerbang sekolah sudah dibuka pada pukul 12.15 pm. Tak lama kemudian satu persatu para murid elementary school berjalan keluar dari gerbang sekolah dan mencari jemputan mereka di parkiran.
Jantung Zevanya berdegup semakin kencang, saat matanya menangkap sosok bocah laki-laki dengan wajah tampan menggemaskan. Bocah berusia 10 tahun keluar dari gerbang sekolah dan berdiri tepat di depan mobil mereka.
“Rain,” gumamnya.
Sepertinya Rain dirawat dengan baik. Walau telah lama berpisah, naluri seorang ibu tidak pernah salah, dia yakin bocah tampan itu adalah putranya, Rain.
"Nona Zee, anda ingin turun?" Kata kapten Leonard membuyarkan lamunan Zee.
Zee menggeleng, cukup dengan melihat putranya baik-baik saja, di sudah merasa senang. Biarlah, Rain tidak mengenal ibunya, mungkin ini lebih baik daripada anak itu mengetahui ibunya adalah seorang terpidana hukuman mati.
Bocah kecil itu masih berdiri digerbang sekolah, seperti nya jemputannya belum datang.
Sesaat kemudian, seorang pria tampan turun dari mobil sport yang berwarna merah, memakai jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama. Pria itu menghampiri sang anak. Rain tersenyum ke arahnya.
“Daddy….!” Anak itu tersenyum gembira melihat kedatangan ayahnya. Tampak pria itu menggendong putranya keluar dari parkiran.
Setelah berinteraksi sebentar pria itu berbalik. Mata indah Zee membola, tak percaya apa yang dia lihat.
"Deg...!" Jantungnya berdegup kencang. Zee melihat dengan jelas Reynald dan putranya melintas didepan mobil yang dia tumpangi.
Hingga, kedua anak dan ayah itu masuk ke dalam mobil dan menghilang dari pandangan mereka.
Tentu saja Zee mengenal pria itu, garis wajahnya yang sama dengan Rain, dia adalah Reynald Wilson, ayah biologis Rain.
Tangannya terkepal, rasa marah, benci dan dendam berbaur menjadi satu.
Lagi-lagi beberapa pertanyaan hadir dalam pikirannya, seperti biasa pertanyaan itu tidak ada jawabannya.
Bagaimana bisa Rain tinggal bersama Reynald? Bukankah dulu Marilyn berjanji akan merawat Rain sendiri?
"Cukup Kapten, kita pulang sekarang!"
Zee merasa lemah. Dia tidak kuat lagi menahan air mata yang sedari tadi dia tahan. Menangis adalah salah satu cara yang ampuh untuk meringankan sesak yang ada dihatinya saat ini.
“Semoga kamu bahagia, Nak,” doanya dalam hati.
Semua yang ada di mobil tahanan itu pun, tak kuasa menahan haru. Sipir wanita bernama Maggie memeluk wanita malang dengan tulus, membiarkan pundaknya basah oleh air mata keputusasaan.
******
Rumah Tahanan Cleveland, pukul 20.00 pm
Zevanya sudah berada diruangan isolasi, menunggu detik demi detik menuju waktu eksekusi hukuman mati di laksanakan. Teman-teman di sel tempat Zee berada melepas kepergian Zee dengan deraian air mata.
Tidak ada kata-kata lagi yang mampu diucapkan Zee, selain ucapan selamat tinggal.
Zevanya berbaring lesu di ruang isolasi. Di lantai yang dingin dan basah. Satu per satu, kilas balik kehidupan masa lalunya berputar seperti rekaman video yang terus berputar di ruang pikirannya.
"Selamat tinggal Rain, Mommy menyayangimu." bisik Zee lirih.
"Selamat tinggal Reynald, terimakasih atas penderitaan yang telah kau berikan kepadaku, aku membencimu," gumam Zee sambil menutup matanya yang basah oleh air mata.
Bersambung
Pingin nangis/Sob//Sob/