Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Santy Gouw
Wilayah Monterado yang sedang mereka tuju ini sebenarnya bagian dari Kabupaten Bengkayang, meskipun dekat sekali dengan Singkawang yang berada di arah utaranya.
“Keren namanya, ya?” ujar Dihyan.
Benjamin terkekeh. “Iya, tapi bukan Monterado di kota Italia. Ini asli Kalimantan. Dulu, Monterado ini adalah daerah tambang emas. Lho.”
“Oiya?” respon Dihyan yang mendadak terlihat penasaran.
“Monterado ini pusatnya orang-orang Tionghoa yang datang dari Cina daratan yang memang khusus untuk menambang emas. Bahkan saking banyaknya emas, banyak kuburan-kuburan Cina yang digusur. Tahu kenapa?” tanya Benjamin kepada Dihyan.
Yang ditanya mengernyit, kemudian menggeleng pelan.
“Karena, orang Cina kan punya kepercayaan dan tradisi buat menimbun harta bersama mendiang,” ujar Centhini.
“Ahh … oke, oke, paham aku,” ujar Dihyan sembari mengangguk-angguk. “Mereka menggali makam-makam itu lagi untuk mengambil emas yang dikubur bersama mendiang. Mungkin dalam bentuk perhiasan begitu, ya?”
Mobil yang dikendarai Benjamin mendaki gunung dengan jalan berkelok-kelok. Sepanjang mata melihat, hamparan pasir dihiasi kubangan air berwarna keruh, bekas pusat pertambangan emas dengan menggunakan cara tradisional. Sinar mentari yang terik membakar, debu-debu beterbangan. Untung sekali satu keluarga ini berada di dalam mobil yang melindungi mereka.
“Tapi, memangnya masih ada orang yang menambang emas disini?” tanya Dihyan kembali.
Benjamin mengangguk. “Tapi sudah berkurang jauh. Dulu ada sekitar 130 titik, kemudian berkurang sekarang menjadi 50-an saja. Itupun setahu Bapak setiap kelompok penambang hanya bisa mendapatkan 3 gram setiap hari. Dulu, di tahun 1990-an, beberapa kelompok petambang menghasilkan bijih emas dalam hitungan ons, alias 100-an gram setiap hari,” jelas Benjamin.
“Dulu namanya Monterado. Saking banyaknya sumber emas dan para petambang yang datang langsung dari Cina, daerah ini tahun 1700-an sudah seperti republik sendiri, padahal sebenarnya lebih cenderung merupakan kongsi yang terdiri dari orang-orang Cina suku Hakka. Lucunya, Monterado ini kan dulu bagian dari wilayah Kesultanan Mempawah. Para penambang Cina dipekerjakan oleh Kesultanan Mempawah itu sendiri,” lanjut Centhini.
“Kok tahu kau, Mbak?”
“Ya baca lah. Gitu aja kok bingung. Wong kita sudah lama rencana mau ke Singkawang, mosok nggak cari-cari tahu dulu. Penelitian, Yan, penelitian.”
Benjamin dan Maryam saling pandang kemudian tersenyum.
Di kiri dan kanan jalan, selain banyak lahan luas berpasir bekas pertambangan, rombongan itu masih melihat pepohonan lebat di berbagai wilayah. Ada pemukiman yang memang kebanyakan merupakan milik warga Tionghoa dengan sedikit warga Dayak atau Melayu.
Di banyak rumah, baik besar maupun kecil, Dihyan dan Centhini dapat melihat tempat pemujaan keluarga berupa altar sederhana sampai klenteng kecil atau disebut juga dengan pekong. Untuk rumah-rumah dengan tingkat ekonomi baik, pekong keluarga dibangun lebih besar di lahan yang luas pula di pekarangan depan atau samping rumah. Singkawang sampai Monterado memerah dengan tempat-tempat pemujaan yang jumlahnya sulit untuk dihitung terseut.
Setelah hampir satu jam perjalanan melalui perbukitan, jalan yang sempit, rusak, kadang beraspal kadang juga harus berhadapan dengan lapisan berbatu dan tanah, Benjamin berhenti di sebuah pemukiman yang terdiri dari kompleks ruko yang juga berdiri kantor cabang CU, Credit Union, atau institusi koperasi swasta yang sepanjang jalan dari Pontianak ke Singkawang, Dihyan dan Centhini telah melihat beberapa.
“Kita harus jalan dari sini, anak-anak. Rumah keluarga Centhini ada di atas bukit itu,” ujar Benjamin sembari menunjuk ke arah perbukitan yang membentang di belakang salah satu kompleks ruko.
Tidak ada yang aneh sebenarnya di dalam perjalanan dan sesampainya mereka di tempat ini. Orang-orang yang berlalu-lalang dengan cara yang sangat normal. Tidak ada orang yang memperhatikan kedatangan mereka seperti memandang orang asing seperti di film-film horor, meskipun tidak sedikit yang memandang Benjamin dan Dihyan secara khusus dengan minat, ya apalagi kalau bukan postur mereka yang tinggi dan wajah mereka yang kebulean.
Namun, melihat bukit yang menjulang sebagai latar belakang, seperti bertentangan dengan kehidupan yang ada di kompleks pertokoan ini, Dihyan mencelos. Bukit itu kelam. Rerimbunan pepohonan bak selimut tebal yang menyembunyikan misteri di baliknya.
Bau hio atau dupa mengambang di udara, menggelitiki hidung Dihyan.
Centhini mendekat ke arah Dihyan, melingkarkan lengannya di lengan adik laki-lakinya itu. “Mulai deh. Mikirin apa kamu, Yan? Masih soal aku bakal milih keluargaku di Monterado ini, di atas bukit itu, dibanding keluarga Benjamin Setiadi?” bisik Centhini.
Dihyan menggeleng, kemudian tersenyum (lebih karena memaksakan senyum) ke arah Centhini. “Ya nggak lah. Cuma terpesona aja sama tempat ini.”
“Terpesona … apa takut?”
Dihyan mengedikkan kedua bahunya.
Seorang nenek mendadak mendekat ke arah Centhini, menyentuh kulit lembut gadis itu dengan ujung jarinya. “Nyi bui nyin?” ujarnya.
Centhini tersentak, hampir saja menjerit. Sang nenek memandang raut wajah Centhini dengan rasa penasaran yang tinggi.
Perempuan renta Tionghoa itu mengenakan baju tidur dengan motif Tiongkok yang kentara: merah terang, bergambar hiasan lampion. Rambutnya yang putih seluruhnya dipangkas pendek di atas leher. Perhiasan emas melingkar di leher, lengan dan jarinya.
“Nyi bui nyin?” ulangnya.
“Maaf, Nek, eh, Ama, eh ... Apho. Saya tidak bisa bahasa Khek. Bàoqiàn, Wǒ bù huì shuō kèjiā huà,” balas Centhini, menjelaskan bahwa ia tidak bisa berbahasa Khek. Entah apa yang dia pikirkan, karena alih-alih membalas dengan bahasa Hakka atau Khek, Centhini merespon dengan bahasa Indonesia dan Mandarin bekal pelajarannya selama di sekolah.
Sang nenek tertawa terkekeh. Giginya masih lengkap – mungkin gigi palsu. “Wo, bisa omong potonghua nyi olang? Saya tadi tanya nyi orang mana? Tak bisa omong Khek lah nyi?”
“Hai, Apho. Masih ingat saya?” Benjamin mendekat. Bapak Dihyan itu tersenyum ke arah sang nenek.
“Oiii … an siau sen sama si an ciang sudah datang,” seru sang nenek. Sepasang matanya melotot, membesar karena saking bersemangatnya, terutama karena melihat Benjamin datang bersama Maryam sang istri.
Sang nenek kemudian langsung berpaling ke arah Centhini. “Oii .. an ciang ini si Mei Ling lah ya? Ooiii …. An ciang ooo. Chiong ooo … Nyi chiong nyi punya amak,” ujar sang nenek yang kemudian sudah menggenggam lengan Centhini, menepuk-nepuk bahu Centhini dengan gemas.
Centhini meringis. Ia menatap kedua orang tuanya, meminta bantuan. Ia tak paham apa yang diucapkan oleh sang nenek yang menggunakan campuran bahasa Melayu dan Cina dialek Hakka atau dikenal di Kalimantan Barat dengan Khek.
Dihyan tertawa, kemudian berbisik ke arah Centhini. “Katanya udah penelitian, udah cari-cari tahu. Lagian, situ yang Cina, kok, gak bisa bahasa Cina.”
“Ini beda, Yan. Nggak semua orang Cina ngomong Mandarin, kalik,” protes Centhini.
“Kata apho Santy Gouw ini, kamu cantik, Centhini. Katanya mirip mama kamu cantiknya,” ujar Benjamin.
Dihyan dan Centhini saling pandang. Kemudian hampir berbarengan berseru, “Bapak bisa bahasa Khek?”
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh