Dokter Heni Widyastuti, janda tanpa anak sudah bertekad menutup hati dari yang namanya cinta. Pergi ke tapal batas berniat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi pada Bumi Pertiwi. Namun takdir berkata lain.
Bertemu seorang komandan batalyon Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang antipati pada wanita dan cinta. Luka masa lalu atas perselingkuhan mantan istri dengan komandannya sendiri, membuat hatinya beku laksana es di kutub. Ayah dari dua anak tersebut tak menyangka pertemuan keduanya dengan Dokter Heni justru membawa mereka menjadi sepasang suami istri.
Aku terluka kembali karena cinta. Aku berusaha mencintainya sederas hujan namun dia memilih berteduh untuk menghindar~Dokter Heni.
Bagiku pertemuan denganmu bukanlah sebuah kesalahan tapi anugerah. Awalnya aku tak berharap cinta dan kamu hadir dalam hidupku. Tapi sekarang, kamu adalah orang yang tidak ku harapkan pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Kami sangat membutuhkanmu~Mayor Seno.
Bagian dari Novel: Bening
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Puisi Untuk Ibu
Dua bulan yang lalu adalah pertemuan perdana antara Dokter Heni dan Aya di sekolah. Dokter Heni menjadi pengisi acara konseling anak-anak di sana. Bahkan ia menyuruh murid-murid termasuk Aya untuk membuat sebuah puisi tentang cinta mereka pada ibunya di sebuah kertas.
Tibalah saat namanya dipanggil oleh ibu guru di depan untuk membacakan puisinya, Aya maju dengan wajah tertunduk sembari tangannya menggenggam sebuah kertas. Namun ketika di depan, kepala Aya hanya melihat sekilas tatapan teman-temannya yang beraneka ragam. Ada yang menertawakannya dan ada pula yang bersikap acuh tak acuh. Lalu ia kembali menundukkan kepalanya.
Di sekolah, Aya memang tak punya teman dekat atau sahabat. Ia sering bermain sendiri. Walaupun begitu ia tetap baik dan riang jika beberapa temannya menyapanya saat berpapasan.
"Ayo Aya, baca puisimu Nak." Bu guru dari jarak beberapa langkah menyerukan pada Aya agar segera membaca puisi hasil karyanya. Namun Aya tetap tak bergeming.
Dokter Heni penasaran, alhasil ia memutuskan berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri Aya.
"Halo, Aya. Benar nama kamu Aya?" sapa Dokter Heni penuh kelembutan khas seorang ibu. Walaupun dirinya belum punya anak.
Seketika Aya pun mengangkat pandangannya dan menatap Dokter Heni. Seakan dirinya terhipnotis oleh kelembutan yang didambakan oleh seorang anak seusia Aya. Sosok ibu yang tak pernah ia rasakan. Kini magnet dan rasa itu seakan datang dan disuguhkan oleh sosok asing yang menyapanya penuh kehangatan. Ya, Dokter Heni Widyastuti.
Aya masih terdiam sambil menatap manik lembut wanita dewasa yang berj0ngkok di hadapannya sekarang ini.
"Bu Dokter boleh lihat kertas Aya?" tanya Dokter Heni kembali dengan lembutnya.
"Boleh," jawab Aya lirih. Lalu perlahan tangan mungilnya memberikan kertas miliknya pada Dokter Heni.
Deg...
Jiwa Dokter Heni seketika tergerak akan sesuatu hal setelah melihat kertas Aya. Kertas putih dari robekan buku tulis khas anak SD itu masih putih bersih alias kosong. Tak ada tulisan apa pun di atas kertas tersebut. Namun dalam sekejap Dokter Heni merubah mimik wajahnya menjadi tersenyum kembali. Seolah tak terjadi apa pun.
Lantas, ia pun berdiri di samping Aya sambil tangannya memegang kertas kosong milik Aya.
"Sebelumnya, maaf ya adik-adik semua. Teman kalian yang cantik bernama Aya ini masih malu-malu membacakan puisinya di depan. Hal ini biasa dan wajar terjadi. Istilahnya demam panggung. Jadi sebagai teman yang baik, kalian enggak boleh mengejeknya. Paham ya semua kesayangan Bu Dokter di sini," ucap Dokter Heni dengan tegas namun tetap penuh kelembutan pada semua murid.
"Iya, Bu Dokter." Semua murid menjawabnya dengan kompak dan serempak.
"Boleh ya Bu Dokter yang wakilkan Aya untuk membacakan puisinya?"
"Boleh, Bu Dokter." Murid-murid kembali menjawabnya dengan serempak dan lantang.
"Good," ucap Dokter Heni seraya mengangkat jempol tangannya sebagai bentuk pujian atas sikap baik para murid yang meresponnya.
Alhasil Dokter Heni membacakan puisi tentang ibu, yang terbesit secara mendadak versi otak dan hatinya pada acara tersebut. Seolah-olah puisi itu ditulis oleh Ayana Zafira Putri Pamungkas.
Bukan bermaksud mengajari seorang anak untuk berbohong. Tetapi ia melakukan hal itu lantaran sebagai seorang psikiater atau dokter spesialis kejiwaan, ada sesuatu dalam diri Aya yang menarik perhatiannya. Pastinya bocah cantik ini memiliki permasalahan keluarga antara seorang anak dan ibunya. Walaupun ia tak mengetahui detail problematikanya seperti apa. Akan tetapi dalam rumah tangga jika orang tua bermasalah pasti anak yang menjadi korban.
Ia tidak mau Aya sampai dibully oleh teman-temannya terutama di sekolah. Setelah Dokter Heni melihat secara sepintas respon teman-teman Aya barusan. Saat bocah cantik ini maju, namun tak kunjung membacakan puisi tentang ibu. Banyak murid yang berbisik-bisik pastinya cenderung pada hal negatif. Hal ini tentu tak baik bagi tumbuh kembang seorang anak.
Ibu...
Tiga huruf yang penuh cinta dan rindu
Engkau guru pertamaku
Engkau pelita di saat gelap datang padaku
Kau lahirkan aku penuh perjuangan
Kau besarkan aku dengan penuh cinta dan pengorbanan
Semua harta di dunia ini tak ada tandingannya dengan setetes darah yang keluar saat kamu melahirkanku
Oh Ibu...
Kasihmu tak lekang oleh waktu
Surrgaku ada di telapak kakimu
Tanpamu aku tak mampu
Ridhomu adalah kunci bahagiaku
Kasihmu lah yang terbaik hingga akhir hayatku
Aku mencintaimu, Ibu
Sampai nafas ini berhenti berhembus
Dari Aya, putrimu yang selalu mencintaimu.
Bersambung...
🍁🍁🍁
eh salah hamil maksudnya