Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26 : bayu, bagus & ramon si pembuat kacau
Suasana malam terasa semakin mencekam ketika rombongan Tama bergerak perlahan menjauh dari gudang yang telah dihancurkan. Rasa lega belum sepenuhnya mereka rasakan karena ancaman dari anak buah Pak Mike masih mengintai di setiap sudut. Tama berjalan paling depan, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, sesekali ia menoleh ke belakang memastikan yang lain mengikuti. Wajahnya penuh konsentrasi.
"Kita harus bergerak cepat," kata Tama dengan nada serius, pandangannya tak pernah lepas dari jalan setapak yang samar di antara pepohonan.
Rani dan Frisilia mendekatkan diri pada Selly Mayang Mita dan Bunga yang masih terlihat lelah. Selly terisak pelan, masih terguncang setelah diselamatkan dari gudang. Mayang berusaha menenangkannya, tetapi ketegangan di wajahnya sendiri tak bisa disembunyikan.
"Selly, bertahanlah sedikit lagi, kita akan aman begitu sampai di gua," bisik Rani, menggenggam tangan Selly untuk memberinya semangat.
Di belakang mereka, Bayu dan Bagus berjaga dengan waspada, mata mereka terus memantau sekeliling hutan yang gelap. Ramon, seperti bayangan di atas pohon, tetap tenang mengawasi dari atas dengan kamuflasenya yang sempurna. Ia sudah bersiap untuk memberikan tembakan kapan saja jika situasi mendesak.
Bayu mengerutkan kening ketika melihat Bagus menumpahkan bensin di sekitar gudang sebelum mereka pergi. " yakin nih?" tanya Bayu, khawatir.
Bagus menoleh dan hanya memberikan senyum tipis. " kalau pake ginian sejago apapun anjing, ga bakalan bisa cium keberadaan kita, kita buat kembang api terbesar malam ini hehee.."
Ketika mereka sudah cukup jauh, Bayu memberi isyarat kepada Ramon yang masih berada di posisinya di atas pohon. Dengan anggukan singkat, Ramon mengarahkan senapannya, membidik titik yang sudah dipersiapkan Bayu dengan bom tempel. Dalam satu tarikan napas panjang, ia menarik pelatuk.
"Boom!"
Suara ledakan mengguncang malam, membuat tanah di bawah mereka bergetar hebat. Bola api besar membumbung tinggi, menerangi hutan yang tadinya gelap gulita. Gudang itu kini berubah menjadi lautan api, bangunannya runtuh oleh kekuatan ledakan, dan api mulai menyebar dengan cepat, melahap setiap sudutnya.
Namun, ledakan itu justru membawa masalah baru.
Ramon, yang tetap berada di atas pohon, melihat pergerakan dari arah desa. Beberapa sosok tampak bergegas menuju tempat mereka. Dengan cepat, ia membuka radio komunikasinya.
"Tama, ada masalah. Anak buah Pak Mike yang menyamar sebagai warga desa sedang bergerak cepat menuju posisi kita." Suara Ramon terdengar serius, membuat seluruh kelompok terpaku sejenak.
Tama memandang ke arah rombongannya, kemudian mengencangkan tali tas di punggungnya. "Kita harus bergerak lebih cepat. Gua adalah satu-satunya tempat aman untuk sementara waktu."
"Bagaimana kalau mereka menemukan kita di sana?" tanya Rani dengan cemas, matanya menatap Tama dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Jika mereka menemukan kita, kita lawan," jawab Tama tegas, tatapannya tajam. "Tapi sampai itu terjadi, kita harus memastikan mereka tidak tahu keberadaan kita."
Kelompok itu segera bergegas. Mereka menyusuri hutan dengan kecepatan yang meningkat, meskipun tubuh mereka sudah lelah. Keringat bercucuran, kaki-kaki mereka berderap tanpa henti. Setiap langkah terasa seperti berlomba dengan waktu, seperti bayang-bayang bahaya yang terus mengejar mereka dari belakang.
Tak jauh dari sana, salah seorang tangan kanan Pak Mike bersama anak buahnya yang tersisa mendekati gudang yang terbakar. Wajahnya marah, bibirnya bergetar menahan amarah saat melihat kehancuran yang terjadi. "Mereka pasti ada di sekitar sini. Cari mereka sampai dapat!" perintahnya keras.
Beberapa anak buah Pak Mike yang menyamar sebagai warga desa, segera bergerak menyebar, matanya menelusuri setiap sudut hutan. Mereka sudah memegang senjata di tangan, siap untuk menyerang kapan saja.
Di tempat lain, kelompok Tama terus melaju. Mereka semakin mendekati gua yang terletak di kaki gunung. Selly yang sejak tadi lemah, akhirnya terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. "Aku... aku tidak bisa lagi," isaknya.
Mayang segera berjongkok di sampingnya, wajahnya cemas. "Kau harus kuat, Selly. Kita sudah dekat," bujuk Mayang menggenggam tangan temannya yang gemetar.
Tama melirik ke arah mereka, kemudian menghela napas panjang. "Kita tidak bisa berhenti lama. Mereka sudah terlalu dekat." Tatapannya terfokus pada arah yang baru saja mereka lewati. Bayang-bayang dari para pengejar mulai terlihat samar-samar di antara pepohonan.
Frisilia berdiri di depan, menatap Tama. "Aku dan Rani akan membawa Selly. Kau pastikan yang lain terus bergerak."
Tama mengangguk. "Jangan sampai tertinggal."
Mereka kembali bergerak, kali ini lebih cepat dan dengan kecemasan yang semakin terasa menebal. Napas mereka terengah, dan tubuh mereka mulai lelah, namun mereka tahu berhenti berarti kematian.
Ketika akhirnya mereka sampai di mulut gua, semuanya terasa seperti keajaiban kecil. Gua itu tersembunyi di balik dedaunan lebat, dan hanya mereka yang tahu keberadaannya. Tama segera memimpin masuk, diikuti oleh semua orang. Namun ketegangan tak kunjung mereda. Semua orang tahu, para pengejar hanya beberapa menit di belakang mereka.
Ramon, yang masih di atas pohon, melihat para pengejar semakin mendekat, namun mereka belum menemukan jejak kelompok Tama. Tangan kanan Pak Mike , dengan wajah garang, memimpin pasukannya sambil berteriak.
"Cari mereka! Mereka harus bayar untuk ini!" teriaknya dengan penuh dendam, wajahnya memerah oleh amarah.
Ramon menahan napas. Ia tahu, satu langkah salah saja, para pengejar bisa menyadari lokasi gua. Tama dan kelompoknya berada dalam bahaya besar, namun ia tak bisa turun dari posisinya. Ia harus tetap menjadi mata yang melindungi dari jauh.
Di dalam gua, Tama memberi isyarat kepada semuanya untuk diam. Ilham, dengan senapan sniper-nya, bersiap di ujung gua untuk berjaga. Rani dan Frisilia membantu Selly yang masih terengah-engah, dan yang lain duduk diam, mengatur napas mereka.
Suasana tegang memenuhi gua. Mereka tahu bahaya sedang mengintai di luar sana. Setiap suara, bahkan langkah kaki sekecil apapun, bisa membawa mereka kepada maut. Wajah-wajah cemas dan panik saling berpandangan, menunggu apapun yang akan terjadi selanjutnya.
"Apakah mereka akan menemukan kita?" bisik Mita, suaranya gemetar.
"Tidak jika kita tetap tenang," jawab Tama dengan tegas, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu situasinya sangat genting. "Ramon masih di atas pohon, dia akan memberitahu kita jika bahaya mendekat."
Namun, detik-detik menunggu terasa seperti seumur hidup. Di luar sana, suara langkah kaki para pengejar semakin mendekat, semakin nyata.