Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Ikut Hanung
"Bu Rati, maaf saya harus ikut campur. Bukan saya mau membela Hanung atau memojokkan Ibu. Tetapi apa yang dikatakan Hanung ada benarnya." kata Pak Kyai.
"Apa maksud Pak Kyai?"
"Anda sebagai Ibu kandung dari Hanung tidak memberikan kabar sejak perceraian kala itu dan sekarang datang seperti ini, tentu Hanung akan berontak."
"Jadi, salah saya?"
"Bukan menyalahkan, tetapi tolong dibicarakan baik-baik. Tidak perlu marah atau menghakimi Hanung."
"Kalau begitu, saya minta anak Anda menceraikan Hanung agar saya bisa membawa Hanung untuk melanjutkan kuliahnya!" Surati masih pada pendiriannya.
Sontak saja semua yang ada di ruang tamu terkejut dengan permintaan Surati, termasuk Gus Zam yang tanpa sadar mengeratkan tangannya hingga Hanung kesakitan.
"Sakit, Gus!" bisik Hanung.
Gus Zam melihat kearah tangannya dan perlahan melepaskannya. Saat akan menjauhkan tangannya, Hanung memegang pergelangan tangan Gus Zam sambil tersenyum.
"Jadi bagaimana? Jangan hanya diam saja Pak Kyai!"
"Ibu tidak memiliki hak untuk menyuruh saya bercerai!" seru Hanung mendahului Pak Kyai.
"Tentu saja aku punya hak karena kamu anak kandungku!"
"Saya memang anak kandung Ibu, Terimakasih telah melahirkan saya. Tetapi Anda tidak pernah ada saat saya membutuhkan, baik itu moment susah atau senang selama hampir 10 tahun. Masalah kuliah, Ibu tidak perlu khawatir karena saya akan melakukannya sendiri."
"Hanung! Kenapa kamu lebih memilih mereka daripada Ibu?"
"Mereka yang Ibu maksud adalah keluargaku yang ada untukku. Jika Ibu ingin saya berbakti, akan saya lakukan tetapi tidak untuk bercerai karena pernikahan ini terjadi atas kesadaran saya."
Gus Zam yang sebelumnya gusar pun menatap Hanung lembut. Ia tidak menyangka Hanung akan bertahan dengan dirinya yang tidak bisa membela disaat seperti ini.
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Kamu akan ikut Ibu kembali ke Kalimantan besok." Semua orang kembali terkejut.
"Jika itu yang Ibu mau, maka berikan saya waktu satu minggu."
"Hanung.." panggil Gus Zam lirih.
Hanung tersenyum kearah Gus Zam dan menepuk genggaman tangan Gus Zam dengan tangan kirinya, seolah memberitahu semua akan baik-baik saja.
"Tiga hari! Aku beri kamu waktu tiga hari. Aku akan menunggumu di hotel dekat sini." Kata Surati yang kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah pergi setelah mengucapkan salam.
Kini pandangan semua orang tertuju kepada Hanung. Tanpa diminta pun, Hanung menjelaskan maksudnya.
"Maafkan Hanung yang mengambil keputusan sendiri. Semua ini Hanung lakukan agar Ibu tidak lagi memojokkan Ibu Jam atau Pak Kyai dan keluarga." tangan Hanung yang masih di pergelangan tangan Gus Zam gemetar.
"Saya mengerti maksud kamu, Hanung. Tetapi dengan kamu setuju, maka kamu akan meninggalkan Adib sampai batas waktu yang tidak ditentukan." kata Pak Kyai.
Bu Nyai dan Ibu Jam sudah tidak bisa berkata-kata lagi karena mereka sudah bercerai air mata.
"Abi, Hanung juga tidak bisa menempatkan Gus Zam diantara saya dan Ibu. Keputusan terbaik adalah berpisah sementara untuk memuaskan Ibu. Jika Hanung sudah mengikuti keinginan Ibu, maka sisanya terserah saya."
"Apa kamu tidak memikirkan perasaan Adib?"
"Gus Zam, maaf. Hanung bukannya egois, kita hanya berpisah sementara. Kita masih berhubungan jarak jauh. Maafkan Hanung yang belum bisa berbakti kepadamu sebagai seorang istri." ucap Hanung yang kini menatap Gus Zam yang sedari tadi hanya melihatnya.
Bibir Gus Zam saat ini terasa kelu. Ia tak tahu harus bersikap dan menjawab seperti apa. Hanung yang tak mendapatkan jawaban pun hanya bisa pasrah. Tatapan Gus Zam saat ini tidak is a artikan.
"Adib, keputusan Hanung memang terkesan buru-buru. Tetapi mungkin itu yang terbaik, Nak. Dengan kalian berhubungan jarak jauh, bisa membangun kepercayaan dan saling memantaskan diri saat bertemu nanti." kata Pak Kyai dengan berat.
Pasalnya Gus Zam sudah mulai ada perubahan sejak kehadiran Hanung. Belum juga mereka menikmati masa pernikahan, mereka sudah harus berpisah.
"Zam.. ikut Hanung." kata Gus Zam kemudian.
Segera air mata Hanung lolos begitu saja. Ia tidak menyangka Gus Zam mengikuti keputusannya. Gus Zam yang bingung dengan tangis Hanung yang tiba-tiba pun spontan memeluknya. Pak Kyai, Bu Nyai dan Ibu Jam sampai terkejut dibuatnya.
"Semoga kebaikan selalu bersama kalian." doa ketiga orang tua tersebut di dalam hati.
Pak Kyai pun meminta Gus Zam membawa Hanung kekamar untuk menenangkan diri. Gus Zam mengangguk dan berdiri menarik tangan Hanung. Hanung menundukkan kepala berpamitan kepada Pak Kyai, Bu Nyai dan Ibu Jam.
"Jam, kamu yang sabar ya.." kata Bu Nyai.
"Tidak apa, Bu Nyai. Saya hanya menyayangkan keputusan Hanung."
"Hanung penuh perhitungan, Jam. Melihat sikap Ibu kandungnya, tidak akan selesai jika Hanung tidak mengalah." Kata Pak Kyai.
"Almarhum pernah berkata kalau Bu Surati tidak membawa Hanung karena suaminya memiliki 2 anak, Kyai. Bagaimana nasib Hanung nanti?" air mata Ibu Jam semakin deras membayangkan perlakuan yang akan Hanung Terima nantinya.
"Percaya dengan Hanung, Jam. Dia tahu apa yang dia lakukan." Bu Nyai mengusap lembut punggung Ibu Jam.
Sementara itu, Hanung yang baru saja memasuki kamar segera ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Sedangkan Gus Zam menunggu dengan duduk di sofa dan melihat keluar jendela. Pikirannya melayang, membayangkan dirinya harus berpisah dengan istri yang baru saja dinikahinya. Tanpa sadar Gus Zam mengeratkan kepalan tangannya sampai buku-buku jarinya memutih.
"Nanti bisa luka, Gus." Kata Hanung yang memegang kepalan tangan Gus Zam dan membukanya, lalu meniup bekas kukus menancap ditelapak tangan Gus Zam.
"Hanung.."
"Iya, Gus." Hanung menatap kearah Gus Zam.
"Jangan panggil "Gus"!"
"Lalu apa? Mas Adib? Mas Zam? atau Mas Roni?" Hanung tersenyum.
"Zam saja."
"Mas Zam!" seru Hanung sambil tersenyum.
Kecanggungan yang sebelumnya menghantui mereka seolah hilang begitu saja. Hanung yang awalnya enggan, bahkan sedari tadi memegang tangan Gus Zam. Dan Gus Zam sendiri sering tersenyum kecil kala Hanung memegang tangannya.
"Kamu tidak apa tinggal dengan Ibumu?" tanya Gus Zam.
"Semoga saja tidak apa-apa, Gus!" Gus Zam menatap tajam.
"Semoga saja tidak apa-apa, Mas!" ralat Hanung tersenyum.
"Kamu suka kamarnya?" tanya Gus Zam yang gagal fokus dengan senyuman Hanung.
"Suka. Kenapa Mas mengubah kamar?"
"Aku mengubahnya agar kamu merasa nyaman."
"Yang kemarin tidak nyaman?"
"Tidak."
"Kalau tidak nyaman, kenapa Mas tempati?" Hanung semakin penasaran.
Ia memang pernah masuk, tetapi tak begitu memperhatikan sekitar. Yang ia ingat hanya ranjang kecil yang sekarang digantikan ukuran king size.
"Tidak nyaman untuk kamu, Hanung."
"Terima kasih, Mas." kata Hanung yang tersipu.
"Istirahatlah, kalau kamu lelah."
"Bukankah tadi aku sudah tidur?"
"Tidur lagi tidak akan ada yang melarang."
"Benarkah?" tanpa ragu Hanung merebahkan tubuhnya dengan kaki menggantung.
Gus Zam pun mengangkat tubuh Hanung dan membenarkan posisinya. Hanung membekap mulutnya agar tidak menjerit karena terkejut.
"Kamu tidak buka hijab?"
"Ehm.. Apakah boleh?"
"Boleh, kalau hanya ada kita berdua dikamar." Hanung mengangguk.
Ia pun duduk, membuka hijab segi empat nya dan melepas ciput. Hanung juga melepas ikat rambutnya hingga rambut yang di gelung tergerai.
"MasyaAllah.."