Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengusiran II
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?" tegas Zafira.
"Oh ya, termasuk anak yang ada di dalam kandunganku," imbuhnya lagi.
Ia harus membuat keputusan itu. Ia tak mau kelak dikemudian hari, tiba-tiba mereka datang lagi untuk mengambil anak-anaknya. Kalau perlu mereka membuat kesepakatan hitam di atas putih.
Jelas saja, permintaan tak terduga itu membuat Refano dan kedua orang tuanya sangat terkejut bukan main. Tapi dengan jumawa mereka menyetujui permintaan itu.
"Cih, kau pikir kami menginginkan anak-anak tak berguna itu! Jangan mimpi! Kami pun tak membutuhkan mereka. Hanya anak-anak perempuan yang tak berguna. Hanya bisa menghabiskan harta kami saja membesarkan mereka. Kau tenang saja, kami takkan pernah meminta ataupun mendekati apalagi mengambil mereka. Kalau perlu, aku akan mengundang pengacara kami segera untuk membuat surat perjanjian," tukas Marwan jumawa.
"Suamiku, benar. Bereskan saja barang-barang rongsokan mu dan anak-anakmu, aku akan segera memanggil pengacara kami untuk menyiapkan surat perjanjian hitam di atas putihnya," sambung Liliana dengan angkuhnya.
Refano hanya bungkam, tak kuasa untuk menimpali. Entah mengapa, sudut hatinya merasa tak nyaman dengan apa yang akan mereka lakukan ini. Terlebih Zafira tampak lebih tenang setelahnya. Batin Refano merasa ini tak benar, namun ia bingung kenapa? Apa alasannya? Apa karena Zafira selama ini telah sangat baik dengan keluarganya? Bahkan meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak baik, tapi Zafira selalu melakukan tugas-tugasnya baik itu sebagai seorang istri maupun sebagai seorang menantu dengan amat sangat baik.
Benarkah jalan yang ia pilih?
Apalagi saat matanya kembali bersirobok dengan sepasang netra Zafira. Tatapan itu seakan mengatakan, 'suatu hari nanti kau pasti akan menyesali keputusanmu.'
'Tidak, keputusan ini yang terbaik. Keputusan ini sudah tepat. Tidak ada yang salah dengan apa yang kami lakukan. Ya, ini yang terbaik. Lagipula untuk apa aku mempertahankan perempuan itu. Aku tidak pernah mencintainya. Bahkan aku sangat membencinya termasuk anak-anaknya.' monolog Refano dalam hati yang menolak bisikan sudut hatinya yang lain yang memperingatkannya kelak akan menyesal bila mengambil keputusan itu.
Refano kekeh menganggap keputusan yang ia ambil sudah tepat. Tak ingin kembali gamang dalam mengambil keputusan, ia pun segera masuk ke ruang kerjanya.
Sementara itu, sebelum membereskan barang-barangnya, Zafira terlebih dahulu masuk ke kamar kedua putrinya dan menjelaskan kalau mereka harus segera keluar dari rumah itu. Setelahnya, Zafira meminta Regina mengumpulkan barang-barangnya yang penting untuk dibawa. Setelah dirinya membereskan barangnya, barulah ia akan menyusun barang-barang putrinya di dalam koper. Regina tidak terkejut. Ia justru tersenyum lebar dan memeluk tubuh sang ibu. Refina yang paham kalau mereka akan segera pergi dari rumah itu pun tampak antusias. Tidak seperti dugaan Zafira kalau mereka akan menolak bahkan bersedih, kedua putrinya justru bersemangat untuk pergi dari rumah kakek dan neneknya itu.
Setelah menghampiri kedua putrinya, barulah Zafira masuk ke dalam kamar yang selama 7 tahun ini ia tempati bersama sang suami. Untuk perlu diketahui, selama 7 tahun ini, Zafira bukanlah tidur satu ranjang dengan Refano. Zafira justru tidur di atas kasur lipat miliknya. Ia hanya naik ke atas ranjang saat sang suami butuh menyalurkan hasrat biologisnya. Sungguh miris, bukan.
Zafira menghela nafasnya saat memasuki ruangan yang akan segera ia tinggalkan itu. Kamar dimana jadi saksi bisu ia melepaskan kehormatannya pada sang suami. Kamar yang dimana jadi saksi bisu, ia digauli hanya untuk menuntaskan kebutuhan biologis, tanpa cinta sama sekali.
Sesak sebenarnya, tapi Zafira harus kuat. Ada 3 anaknya yang membutuhkan dirinya. Ia tak boleh lemah. Ia akan tunjukkan, kalau anak-anaknya adalah anak-anak luar biasa, bukanlah anak tidak berguna seperti apa yang mereka tuduhkan. Ia takkan menuntut apapun pada calon mantan suaminya itu. Bila ia benar-benar ingin lepas tanggung jawab, ya sudah. Perihal dosa, Refano sudah cukup dewasa untuk mengetahui dosa seorang yang lalai akan tanggung jawabnya. Jadi Zafira tak perlu mengingatkan itu, bukan.
Setelah berhasil menenangkan batinnya yang sempat berkecamuk, Zafira pun gegas membereskan barang-barangnya. Tidak begitu banyak memang karena ia tak pernah membeli sesuatu yang tak begitu penting. Bahkan pakaiannya pun tidak banyak karena ia tak mau dituduh memanfaatkan suaminya. Ia mengemas semua berkas-berkas penting miliknya. Tak lupa, ia meninggalkan kartu debit yang pernah Refano berikan, ah lebih tepatnya Refano lemparkan padanya sebagai nafkah lahir untuk dirinya dan anak-anaknya. Meskipun isinya masih cukup banyak, ia tak peduli. Ia tak mau mengambilnya. Meskipun itu sudah jadi haknya, tapi ia tak mau. Ia tak mau disebut benalu yang tak tahu malu. Yang ia mau, sekeluarnya ia dan anak-anaknya dari rumah itu, semuanya berakhir. Ia tak mau lagi berhubungan dengan orang-orang yang sudah membuang dirinya dan anak-anaknya. Ia takkan bersusah payah membalaskan sakit hatinya, tapi dalam hati ia berdoa, semoga orang-orang yang sudah mendzalimi anak-anaknya menerima hukumannya. Ia tak masalah disakiti, tapi ia tak terima anak-anaknya disakiti.
Jadi salahkah ia berharap orang-orang yang sudah membuat anak-anaknya menderita dan merasa seperti anak yatim mendapatkan ganjarannya?
...***...
Selepas membereskan barang-barang dirinya dan anak-anaknya, Zafira pun gegas kembali ke ruang tamu. Ternyata di sana sudah duduk pengacara keluarga itu.
Tak mau buang banyak waktu, ia pun segera menghampiri orang-orang itu.
"Itu, surat perjanjiannya sudah dibuat. Silahkan baca dan tanda tangani!" ucap Refano datar, Zafira tersenyum sinis melihatnya.
Sedangkan sang pengacara hanya bisa menyayangkan sikap keluarga itu yang tidak mau mengakui Zafira sebagai menantu pun anak-anaknya. Bila almarhum kakek Refano masih hidup, pasti beliau akan marah besar atas perbuatan tidak terpuji dari anak, menantu, dan cucunya ini. Dia selaku pengacara tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti keinginan orang yang membayar jasanya.
Zafira membaca seksama poin penting surat perjanjian itu.
1. Setelah Refano Prayogo menceraikan Zafira Febriantika, maka ia dan keluarganya akan kehilangan hak atas anak-anaknya.
2. Setelah resmi bercerai, Refano Prayogo memutuskan hubungannya dengan anak-anaknya.
3. Refano Prayogo dan keluarganya dilarang mendekati apalagi mengambil anak-anak Zafira Febriantika.
Zafira menyeringai membaca poin-poin itu. Sebenarnya menyakitkan sebab mereka sama saja telah membuang anak-anaknya. Tapi, untuk bertahan pun, ia sudah tak sudi lagi. Hanya ini caranya agar hak anaknya jatuh sepenuhnya padanya.
Tanpa keraguan, Zafira pun menandatangani surat perjanjian itu. Setelah mendapatkan satu lembar bagiannya, ia pun bergegas berdiri dan meraih kopernya. Tanpa kata, ia segera menyeret koper itu bersama kedua anaknya. Regina dibantu Refina menyeret koper berisi pakaian mereka.
"Cih, perempuan sombong! Sudah diusir dan mau dicerai, masih saja bersikap sombong. Ingat, jaga mulutmu di luar sana! Sekali kau buka mulut dan mengaku-ngaku pernah menikah dengan Refano, kami takkan segan-segan untuk memenjarakanmu! Kau dengar itu!" teriak Liliana yang seakan belum puas untuk menyakiti Zafira.
"Tenang saja nyonya, aku takkan melakukan hal itu. Kalau perlu, aku akan mengatakan pada orang-orang kalau ayah dari anak-anakku sudah MATI!" tukas Zafira tanpa rasa takut dengan menekankan kata mati.
"Heh, kurang ajar sekali kau mengatakan itu! Dasar perempuan sialan kau!" maki Liliana berang.
"Kenapa Anda marah, Nyonya? Toh, dia kan tidak mengakui anak-anakku sebagai anaknya, jadi dia tak ada hubungannya sama sekali dengan anak-anakku, bukan? Anggap saja ayahnya sudah mati, daripada banyak yang bertanya dimana ayahnya, siapa ayahnya, bukan? Sama seperti selama ini, orang-orang mengira anak-anakku adalah anak yatim, jadi sama saja bukan?" sarkas Zafira makin membuat Liliana murka. Bahkan wajahnya pun sekarang sudah merah padam.
"Kesini kau, jalaang! Wanita kurang ajar kau," teriak Liliana hendak yang menghampiri Zafira dengan penuh emosi. Tapi Marwan dan Refano justru menahannya.
"Sudah, tak perlu ladeni perempuan tak berguna itu," sergah Marwan.
"Tante, tenanglah Tante," sergah Saskia yang ikut menahan lengan Liliana, mencoba mencari perhatian.
"Tapi ... "
"Biarkan mereka pergi, ma," tukas Refano turut menimpali.
"Ada apa ini?" terdengar suara seseorang yang membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu menoleh ke sumber suara.
Nafas Zafira tiba-tiba tercekat saat melihat sosok yang amat sangat dikenalnya itu telah berdiri di ambang pintu.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...