Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Janjian
"Teman mama cewek, sayang," jawabku sambil mencubit pipinya.
"Oh!" seru Carla layaknya orang dewasa.
Aku menghujaninya dengan ciuman karena tingkahnya yang menggemaskan. Carla tertawa tidak tahan karena aku sambil menggelitik tubuh mungilnya.
"Cetop mama! Ampun!" serunya sambil tertawa.
Tubuh kecilnya terguncang hebat karena tawanya yang mengisi seluruh ruangan. Saat begini aku teringat dengan Dave yang kurang memiliki banyak waktu untuk Carla. Dia menyayangi Carla. Semua kebutuhan Carla dia penuhi. Terkadang dia juga menimang putri semata wayang kami.
Tapi, durasinya bersama Carla semakin berkurang semenjak Carla berusia dua tahun. Sibuk dengan perusahaan menjadi alasan utama Dave. Ya, aku paham karena dia yang mengurus perusahaan warisan dari ayahnya sehingga membuat pria yang kucintai itu kurang memiliki waktu bersama putri kecilnya.
Namun, pikiran positif itu menguap setelah aku tanpa sengaja memergoki Dave beradegan mesra dengan lelakinya. Dia tidak memiliki waktu untuk putrinya tapi memiliki banyak waktu untuk lelaki jadi-jadian itu. Hatiku kembali memanas mengingat kejadian itu. Jadi, selama setahun terakhir waktu Carla dipotong untuk diberikan ke lelaki itu.
"Carla kangen ngga sama papa?" tanyaku setelah menurunkan Carla.
"Kangen," jawab Carla.
Ekspresinya biasa saja. Tidak tampak kerinduan seperti dia merindukan bi Ijah. Bahkan, gadis kecil itu rela membuat wajahnya sembab karena menangisi bi Ijah waktu itu.
"Kangen sedikit atau banyak?" tanyaku sambil memperagakan dengan gerakan tangan.
Aku penasaran dengan perasaan Carla terhadap ayah kandungnya. Memang Carla sudah terbiasa tidak menempel pada Dave tapi biasanya anak seumuran Carla ingin bermanja-manja dengan sosok ayah.
"Cala kangennya segini," jawab Carla sambil memperagakan dengan kedua tangannya. Jaraknya berada di tengah-tengah antara jarak yang tadi ku peragakan.
"Carla mau ketemu papa?" tanyaku lagi.
Gadis kecil itu langsung menggeleng dan dengan cepat berkata, "No!"
"Kenapa tidak?"
"Papa lagi kelja buat mama dan Cala. Kata papa, Cala nda boleh jadi anak manja. Di lumah main cama mama atau mbak aja. Tunggu papa ada waktu balu bica main."
Aku terkejut mendengar jawaban dari mulut mungil putriku. Daya ingatnya sangat luar biasa. Dia mengingat pesan Dave padanya. Entah kapan Dave berpesan seperti itu tapi setidaknya mengurangi kekhawatiranku. Carla tidak merasa kekurangan kasih sayang dari papanya. Dia mengerti jika papanya harus bekerja untuk mama dan dirinya.
"Kasihan sekali kau, nak! Jika saja papamu memang benar bekerja untuk kita tanpa embel-embel apa pun pasti kau sangat bahagia. Kau tidak akan merasa dicurangi. Dave, kau berhutang banyak pada Carla," ucapku dalam hati.
Ting
Notif pesan masuk membuyarkan ku. Aku segera meraih ponsel dan membuka pesan itu. Pesan yang dari tadi aku tunggu.
Alhamdulillah dapet ijin dari laki gue. Dari pagi sampe sore. So, terserah elu mau ketemuan jam berapa. Asal jangan jam empat.
-Rei
Aku berpikir sejenak. Memilih waktu dan tempat yang cocok untuk bertemu. Rei pasti tidak begitu paham lokasi di sini.
Ella, kalo bisa tempatnya di sekitaran hotelku aja, ya. Maklom, gue kan turis. Hehehe.
-Rei
Benar saja dugaanku. Aku pun segera membalas pesan singkat Rei.
Ok. Besok jam 10 gimana? Di cafe dekat hotel aja. Kalo ngga salah dari hotel belok ke kiri. Cafenya melewati sekitar tiga gedung.
-Aku
Sip. Kabarin kalo udah di lokasi.
-Rei
Ok. See ya!
-Aku
Percakapan antara aku dan Rei pun berakhir. Beban di hatiku sedikit berkurang bobotnya. Aku tidak sabar menunggu esok hari. Entah bagaimana tanggapan Rei mengenai permasalahan ini.
Waktu terus berputar hingga tibalah waktu janjian aku dan Rei. Aku sengaja tiba di cafe lima belas menit lebih awal. Sesampainya di cafe, aku tidak langsung menghubungi Rei. Biarlah aku menunggu selama lima belas menit baru menghubunginya. Sementara aku menunggu, aku mencari tempat terbaik untuk kami. Agar mudah bercerita tanpa terdengar oleh orang lain.
Aku memilih sebuah tempat di sudut bagian dalam cafe. Ruangannya ber-AC dan kursinya empuk. Aku kagum dengan fasilitas yang diberikan oleh pemilik cafe. Tempatnya membuat pengunjung betah. Baru saja aku hendak memesan minuman dan makanan ringan, tiba-tiba seseorang memanggilku.
"Ella!" seru suara itu yang tak lain suara seorang wanita.
Aku spontan melihat ke sumber suara. Aku cukup terkejut atas kehadirannya. Tadinya aku ingin menghubunginya lima belas menit lagi. Eh, belum dihubungi, orangnya sudah muncul duluan.
"Apa kabar?" Rei memelukku erat.
"Alhamdulillah baik. Elu sendiri gimana kabarnya yang baru aja menyandang status nenek?" balasku.
"Wuih! Bahagia pakek banget," Rei tersenyum senang.
Aku mengarahkan Rei untuk duduk sambil memanggil pelayan.
"Jadi, siapa namanya?" tanyaku lagi.
"Siapa?" Rei balik bertanya.
"Ya, cucu elu, Rei," balasku sambil tertawa.
"Oh! Namanya banyak. Di Jawa sana dipanggil Anin. Kakak gue manggilnya Afifah terus laki gue kasi nama Tisa."
"Lha! Emang dia ngga pusing dipanggil beda nama gitu?" aku takjub bercampur penasaran.
"Gampang, ntar kalo udah gede juga paham, El," jawab Rei santai.
"Eits! Gue ke sini bukan buat membahas cucu gue," timpal Rei seraya membenahi posisi duduknya.
Kebetulan saat itu pelayan yang ku panggil telah datang.
"Kita pesan makan dulu deh," usulku.
Rei mengangguk setuju lalu dengan cekatan mengambil buku menu. Dia membalik halaman menu. Membaca sekilas lalu di waktu yang hampir bersamaan memesan makanan.
"Kentang goreng satu sama air sejuta umat," pesan Rei.
"Ya ampun, Rei. Kalo cuman pesan itu ngapain lu bolak-balik buku menu?"
Rei mendekatkan tubuhnya padaku lali berbisik, "Buat gaya aja."
Tawaku pecah mendengar jawaban konyol Rei. Setiap kali didekatnya selalu saja hal konyol yang terjadi. Mungkin itu salah satu rahasianya. Wajah Rei tidak sesuai dengan usianya. Wajah wanita yang akan berusia tiga puluh sembilan bulan depan itu tampak seperti wanita berusia dua puluh limaan.
Aku turut memesan makanan ringan dan minuman. Setelah pelayan melayani kami, dia pun mengundurkan diri dan mulai mempersiapkan pesanan kami.
"Jadi?" tanya Rei tanpa basa-basi.
"Apa?" aku berpura-pura tidak tahu dengan apa yang dimaksud Rei.
"Hmmm! Yakin ngga mau langsung cerita?" tantang Rei.
"Dasar si Rei. Perasaanku mulai sedikit membaik dari kemarin. Dia malah menggodaku," aku bermonolog dalam hati.
"Emang di muka gue kelihatan banget ya, kalo gue lagi punya masalah?" aku menatap lekat mata Rei.
Mata dengan warna cokelat muda itu sangat menyejukkan hati. Tatapan Rei sendu seolah membawa dingin untuk hati yang panas.
"Jadi ..."
"Stop! Bentar dulu!" sanggah Rei.
"Apaan lagi sih Rei? Kan elu sendiri yang mau dengerin cerita gue," ucapku dengan nada sedikit kesal.
"Gini, El. Lu tau sendiri gue udah bersuami. Jadi, gue itu udah pasti cerita ke suami gue."
"Maksud Lo?" tanya Ella bingung.