“Kuberi kau dua ratus juta satu bulan sekali, asal kau mau menjadi istri kontrakku!” tiba-tiba saja Alvin mengatakan hal yang tidak masuk akal.
“Ha? A-apa? Apa maksudmu!” Tiara benar-benar syok mendengar ucapan CEO aneh ini.
“Bukankah kau mencari pekerjaan? Aku sedang membutuhkan seorang wanita, bukankah aku ini sangat baik hati padamu? Kau adalah wanita yang sangat beruntung! Bagaimana tidak? Ini adalah penawaran yang spesial, bukan? Kau akan menjadi istri seorang CEO!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irna Mahda Rianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Hanya Berdua
Alvin dan Tiara sama-sama kikuk malam ini. Bayangkan saja, berada di dalam apartemen bersama, dengan status sebagai suami dan istri, namun mereka tak bisa melakukan hal yang lazim dilakukan oleh pasangan suami istri.
Baik Alvin maupun Tiara terlihat sibuk sendiri dengan aktifitas masing-masing. Alvin berpura-pura sibuk dengan pekerjaan kantornya, dan Tiara juga nampak masih sibuk membereskan pakaian dan perlengkapan lainnya di lemari khusus miliknya.
Perut Alvin mulai berbunyi, sejak siang tadi ia belum makan apa-apa sampai malam ini. Kenapa rasanya jadi aneh dan canggung sekali? Biasanya Alvin tak secanggung ini dalam hidupnya.
“Aku lapar, aku mau turun ke resto di lantai utama!” ujar Alvin tiba-tiba.
“Apakah Tuan setiap hari makan di restoran apartemen ini?”
“Tiara, mulai sekarang jangan panggil aku Tuan lagi! Banyak pasang mata yang curiga pada hubungan kita, karena ucapan Tuanmu itu!” Alvin memperingatkan.
“Lalu aku harus memanggilmu apa?”
“Mas Alvin!”
“Uhuk-uhuk,” Tiara refleks tersedak.
“Tak usah pura-pura tersedak begitu! Ya mau bagaimana lagi coba? Jalani saja semua ini. Suka tidak suka, kau harus memanggilku dengan sebutan yang romantis dan hangat! Sayang, Mas, Dear, suamiku, cintaku, ah apalah itu, gunakan saja yang penting tak banyak orang curiga dengan rekayasa ini!”
“Iya, sayang …” ucap Tiara tiba-tiba.
“Uhuk-uhuk,” kini gantian Alvin yang tersedak.
“Ya ampun, Tuan, eh, Mas, kamu gak apa-apa kan?”
Sial, kenapa lembut sekali kata-kata sayangnya padaku! Dasar wanita penggoda! Batin Alvin.
“Tidak, tenggorokanku gatal! Ah sudah lah, aku mau ke lantai dasar dulu. Kau juga belum makan, ‘kan? Mau ikut tidak? Kalau tidak ya terserah!”
“Mas,”
“Ah, sialan. Kenapa geli sekali mendengarmu mengatakan hal itu!”
“Kau yang menyuruhku, Tuan muda,” Tiara meledek Alvin.
“Tiara!” Alvin melotot.
“Iya, sayang, kenapa?”
“Kurang ajar sekali kau mempermainkanku! Ah, geli sekali rasanya!”
“Memangnya aku menggelitik dirimu apa? Kenapa kau harus kegelian?” Tiara terkekeh.
“Jangan banyak bicara! Sudah, kau mau ikut apa tidak?”
“Mas Alvin, kayaknya tadi mamamu bawa banyak bahan makanan juga ‘kan? Aku sempat lihat di kulkas tadi. Kenapa tak kita masak saja semua itu? Mungkin Mama membawa semua itu karena menurutnya aku ada di sini. Aku masak saja, ya? Mas Alvin tak usah ke restoran,” Tiara berusaha mencegah Alvin.
“Memangnya kau bisa masak? Aku tak yakin!” Alvin meremehkan.
“Bisa, aku selalu memasakkan Dila dan Fani setiap harinya.”
“Ya sudah, coba buatkan beberapa makanan untukku! Jika tak enak, jangan pernah berani masak lagi untukku! Awas, ya!” Alvin mendelik.
“Iya-Iya, aku masak dulu, semoga saja masakanku cocok di lidahmu!” Tiara tersenyum sangatlah manis.
Alvin duduk di sofa dan menyalakan televisi. Ia sengaja memberikan kesempatan pada Tiara. Sebenarnya Alvin juga penasaran, apakah Tiara bisa membuatnya jatuh cinta? Bukankah semuanya berawal dari hal-hal kecil seperti ini?
Saat Tiara tengah memotong bahan masakan, sesekali Alvin melirik kearahnya. Alvin menatap Tiara dalam-dalam. Jika dilihat-lihat, Tiara itu sangat menarik sekali.
Wajahnya yang imut, tubuhnya yang ramping, dan kulitnya yang mulus, semakin menambah pesona wanita ini. Tiara jarang sekali mengenakan make up. Meski begitu, wajahnya benar-benar cerah dan cantik.
Alvin juga menyadari, jika Tiara itu cantik. Hanya saja, ia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Apalagi, postur tubuh Tiara yang semampai, semakin membuat Tiara terlihat lebih segar. Buah dadanya yang nampak padat, semakin membuat siapa saja yang melihatnya tak bisa berkedip..
Setelah beberapa saat, Tiara pun selesai memasak. Ia menyiapkan semuanya di meja makan. Alvin sudah siap dengan piring dihadapannya. Ada beberapa menu masakan simpel yang Tiara buat malam ini.
Wangi masakan Tiara lumayan menggugah selera Alvin. Alvin merasa takjub, Tiara begitu pandai dan terampil dalam menyiapkan semuanya. Masakannya ditata dengan sedemikian rupa. Table manner-nya pun ia perhatikan dengan baik.
“Steak? Kau bisa membuatnya? Ah, aku tak yakin jika ini enak!”
“Mas, aku pernah bekerja di sebuah restoran siap saji! Banyak sekali menu yang bisa aku olah. Meskipun aku bukan chef, tapi aku selalu melihat rekan kerjaku memasak, dan aku tiru di rumah! Ayo makan, semoga Mas Alvin suka!” Tiara antusias penuh semangat.
Alvin mencicipi potongan steak pertamanya. Ia mengunyah dan mencoba merasakan steak gigitan pertamanya itu. Rasanya enak, benar-benar rasa masakan rumahan.
Memang rasanya tidak semewah di restoran bintang lima, namun Tiara mampu membuat Alvin ketagihan dengan masakannya. Meskipun ini enak, Alvin harus tetap dengan wibawa dan kegengsiannya.
“Bagaimana rasanya Mas Alvin?”
“Biasa saja! Tapi tidak buruk. Kau boleh masak lagi untukku!”
“Dari satu sampai sepuluh, berapa nilai masakanku?”
“Not bad, tujuh koma lima, lah …”
“Oke, terima kasih! Akan kutingkatkan nanti, sampai nanti nilai masakanku mencapai sembilan!” ujar Tiara begitu bersemangat.
“Tak usah terlalu percaya diri! Aku hanya menghargaimu saja, kok! Sebenarnya tak enak, tapi karena lapar, ya apa boleh buat?” Alvin mendelik.
“Gak apa-apa, kok. Aku tetap senang, yang penting kau memakan masakanku!” Tiara begitu riang.
“Kau juga makan, jangan banyak bicara terus!”
“Iya, iya …”
Mereka berdua pun makan bersama. Alvin kini tak terlalu canggung pada Tiara. Mereka sudah mulai bisa mengakrabkan diri satu sama lain. Tiara sempat insecure, takut kalau Alvin akan membuang makanannya.
Selesai makan, mereka membersihkan diri dan mengganti pakaian untuk tidur. Kini, mereka lagi-lagi harus kebingungan untuk tidur. Mungkinkah jika Tiara harus tidur lagi di sofa seperti waktu itu?
Tanpa diberi tahu pun, Tiara sudah mengerti akan posisinya. Ia segera ke sofa dan mulai merapikan sofa untuk dijadikan tempat tidurnya. Alvin tentu saja kaget, ia merasa tak tega jika Tiara harus tidur di sofanya setiap hari.
“Kenapa di situ?” tanya Alvin.
“Aku kan memang tidur di sini,”
“Naiklah, tidur di ranjangku. Besok-besok akan kubeli ranjang lagi, agar kau tak harus tidur di sofa,” pinta Alvin.
“Tak mengapa, sofa ini sangat empuk, bahkan sangat hangat!”
“Kau mau, tiba-tiba mamaku datang, dan kau ketahuan tengah tidur di sofa? Cepat, Naikkah!” Alvin sedikit memaksa.
“T-tapi, Mas,”
“Tak akan terjadi apapun! Kau tak usah berlebihan seperti itu!”
Alvin membuat penghalang di tengah ranjangnya menggunakan beberapa guling. Hal ini untuk menghindari terjadinya kontak terlalu dekat antara mereka berdua.
“Nah, sudah kan? Kau bisa tidur nyenyak! Guling ini adalah pembatas kita! Kau tak usah berlebihan, ayo tidur!”
“B-baik, aku izin tidur di ranjangmu, ya,”
“Hmm,” Alvin mengangguk pelan.
Walau penuh rasa canggung dan perasaan tak nyaman, akhirnya Tiara pun memberanikan diri tidur di ranjang Alvin. Alvin pura-pura tak menggubris Tiara, ia langsung berbalik membelakangi Tiara, dan segera memejamkan matanya.
Satu jam kemudian, Tiara sudah terlelap saking lelahnya. Tiara tak lagi bergeming, sepertinya ia sudah masuk ke dalam dunia mimpi. Berbeda halnya dengan Alvin, Alvin masih terjaga, dan teramat sulit untuk memejamkan mata.
“Sial, kenapa aku harus susah tidur seperti ini?” Alvin terbangun, ia duduk, dan melihat Tiara yang sudah terlelap.
“Bisa-bisanya dia tidur dengan lelap seperti itu! Kenapa aku malah tak bisa tidur?”
Alvin melihat kancing piyama Tiara terbuka, tepat sekali di bagian dadanya yang besar. Lagi-lagi, Alvin harus dihadapkan pada keadaan tak mengenakan ini.
“Sialan, lagi-lagi aku harus melihat pemandangan yang tak semestinya aku lihat! Kenapa harus ada kancing yang terbuka? Apakah memang ‘itu’ sangat besar?” Alvin masih menatap dada Tiara.
Alvin mengacak-acak rambutnya, stres rasanya tidur satu ranjang dengan Tiara. Alvin jadi tak fokus, dan yang ada malah semakin kesulitan untuk terlelap.
Akhirnya Alvin mengalah, ia membawa bantal dan selimutnya, berjalan ke arah sofa. Ya, Alvin tak mau semalaman tak tidur. Ia harus menghindari Tiara. Karena jika terus berada satu ranjang dengannya, yang ada Alvin malah gelisah tak mau tidur.
“Sebenarnya aku ini normal tidak ya? Kenapa melihat wanita cantik tertidur dengan dada terbuka, aku malah takut dan menghindarinya? Kenapa tak aku tiduri saja? Bukankah dia itu istriku? Tapi kenapa aku tak berani? Aarrgghh, sial! Sial! Bicara apa aku ini! Gilaaa! Lancang sekali kau bicara, Alvin Gunadi Raharja!” Lagi-Lagi Alvin mengacak-acak rambutnya yang juga sudah kusut.
#Note#
Terima kasih kakak-kakak sudah membaca cerita receh ini. Semoga kalian berkenan membaca sampai selesai ya 🥰 aku buat cerita ringan yang konfliknya gak terlalu dalam, untuk saat ini. Makasih, makasih banyak yang masih setia bahkan dari dulu menemani semua novelku ✨