Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Akan tetapi, apa jadinya jika di waktu yang sama, kekasih Chilla justru jauh lebih mencintai Aqilla padahal alasan kedatangan Aqilla, murni untuk membalaskan dendam kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Ternyata Aku Salah
“Mama rasa sudah terlalu lama kita enggak ngobrol. Bagaimana jika malam ini kita tidur bareng? Kita bertiga bareng Chilla, sementara papa sama adik-adik.” Ibu Akina berbicara dengan sangat hati-hati.
Cara sang mama menatap sekaligus memperhatikannya, membuat Aqilla menyadari. Ada yang tidak beres dan tengah sang mama selidiki.
“Mama sampai nyamperin aku ke sini. Mama ngajak pulang dan tidur di rumah bareng Chilla, bertiga,” batin Aqilla yang kemudian berkata, “Aku baik-baik saja, Ma.” Namun balasannya itu malah membuat sang mama berlinang air mata.
“Ma ... kenapa Mama malah nangis? Aku baik-baik saja, Ma.” Aqilla yang masih duduk selonjor di pinggir tempat tidur berangsur memeluk sang mama.
“Mama juga harusnya baik-baik saja. Meski sebenarnya, ... Mama berat jika harus jauh dari anak-anak Mama.”
“Rumah sebesar itu sengaja dibangun dengan banyak kamar. Karena Mama dan papa sengaja melakukannya. Agar kalian bisa selalu berkumpul dan berdampingan dengan saudara.”
“Namun, kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung sekaligus memberi arahan. Kami enggak mungkin melarang anak mengejar cita-cita.”
“Aku hanya pergi untuk sementara, Ma. Selanjutnya aku pasti akan selalu bersama Mama. Bahkan walau papa minta aku ikut tinggal di kampung,” ucap Aqilla keceplosan.
Seperti yang Aqilla duga. Menyinggung papanya yang tinggal di kampung, langsung membuat sang mama meresponnya dengan serius.
“Kamu mau ninggalin Mama?” sergah ibu Akina sesaat setelah menyudahi dekapan mereka.
“Enggak, Ma. Enggak!” yakin Aqilla. “Apa pun yang terjadi, aku hanya akan bersama mama karena aku anak Mama. Ketimbang ke papa Rasya pun, rasa sayangku kepada papa Dev, jauh lebih besar!” balas Aqilla, tetapi sang mama yang hanya diam, tetap menatapnya nanar.
Suami ibu Akina yang sekarang memang bukan papa kandung Aqilla dan Asyilla. Namun ketimbang papa biologis mereka yaitu pak Rasya, pak Zeedev jauh lebih mengurus Aqilla maupun Chilla. Sungguh kisah yang sangat menguras emosi andai harus diceritakan sejak awal.
***
“Ternyata aku salah. Terus menghindar dan kupikir bisa membuat Chilla nyaman karena tidak ada aku yang bikin dia merasa jadi bayang-bayang, jauh lebih membuat hati ini tenang.”
“Adanya perbedaan memang tak mungkin bisa disamaratakan. Adanya perbedaan ini justru menjadi warna. Karena kembar sekalipun, tetap akan memiliki sifat sekaligus selera berbeda.”
Aqilla yang berbicara dalam hati, tengah membantu sang mama memanen kangkung di belakang rumah. Halaman belakang rumah yang luas memang disulap menjadi kebun. Hingga suasana di sana jadi mirip pedesaan.
Kedua tangan Aqilla maupun sang mama sama-sama memakai sarung tangan. Begitu juga dengan kedua tangan pak Zeedev yang tengah memanen cabai besar warna merah. Aqilla menatap bahagia kebersamaan keluarganya.
Suasana ramai karena orang tuanya memiliki banyak anak. Juga keadaan rumah yang luas dan serba ada. Membuat Aqilla menyesali kenapa baru sekarang dirinya menyadarinya, bahwa di rumah sangat hangat dan tak semua orang apalagi keluarga di luar sana bisa merasakannya?
“Zeaaaaaan, itu ulet jauhin dari Kakak, enggak?” teriak Chilla.
Di teras belakang rumah, Chilla yang bertugas membungkus hasil panenan bersama oma dan mbah uti, dibuat kesal oleh ulah Zean. Adik kembar laki-laki mereka yaitu Zaen dan Zean, memang sangat aktif. Khususnya Zean, bocah itu sangat jail dan dikata para orang tua, sangat mirip masa kecil papa Zeedev.
“Ini ulet aku kumpulin buat si Jenny, Kaka!” ucap Zean yang sedang ingusan. Sesekali, ia mengambil tisu untuk mengelap ingus. Namun bukan Zean namanya kalau ingusnya mubazir. Iya, ingusnya sengaja dipok-pok ke wajah Chilla, hingga Chilla yang sangat merawat diri, jadi sibuk menjerit.
“Kalau Zean terus jail, ikat di pohon beringin depan!” omel opa Devano karena kejailan Zean membuat Chilla menangis.
“Gimana kakaknya enggak nangis kalau selain kamu luluri ingus, kamu kasih ulat sebanyak itu di tubuhnya?” tegur mbah uti Nina yang masih sangat sabar.
“Mbah ... tolong aku!” rengek Zean kepada mbah Akala.
Mbah Akala yang cari aman, sengaja menggandeng tangan Zaen—kembaran Zean. Ia membawa cucu laki-lakinya itu untuk turut membantu memanen Cabai ke pak Zeedev.
“Rame banget!” lirih Aqilla yang kemudian tersenyum. Tatapannya tak sengaja bertemu dengan sang mama yang masih memanen kangkung di sebelahnya. Kemudian, mereka jadi sama-sama tersenyum.
“Ma, ... punya anak banyak begitu, dan kebanyakan aktif terus banyak maunya. Memang Mama enggak bingung? Eh tapi Mama saja kayak belum banyak uban yang identik dengan faktor usia, stres, dan sedikit faktor genetik.'' Aqilla menatap penasaran sang mama yang masih menyikapinya dengan senyum hangat.
“Asal kamu punya pasangan tepat. Dia pengertian dan senggak segan bantu-bantu kamu termasuk bantu kamu urus anak, keekonomian juga lancar, insya Allah enggak beban. Namun kalau suami enggak peka, dikit-dikit KDRT, uang juga pas-pasan bahkan kurang, ... lebih baik jangan,” lembut ibu Akina yang kemudian jadi kepikiran, apakah putrinya sudah punya pacar? Kenapa mendadak tanya-tanya tentang anak?
“Yakin, Kakak belum punya pacar?” ucap ibu Akina terus mendesak Aqilla. Namun untuk ketiga kalinya, pertanyaan yang inti maksudnya masih sama itu dibalas penepisan oleh Aqilla. Aqilla mengaku belum punya pacar.
“Ya sudah ... enggak apa-apa belum punya pacar. Yang antre banyak, kan?” Kali ini ibu Akina sengaja menggoda sang putri. Lihatlah, pipi Aqilla langsung bersemu.
“Di Ausi ada. Orang Indo juga ... dia asisten dosen dan mau jadi dosen di sana. Dia tinggal di perumahan sama juga denganku. Sebelahan persis, dia juga ikut tantenya di sana.”
Seiring Aqilla bercerita, makin merona pula pipi Aqilla. Hati ibu Akina jadi mendadak berbunga-bunga karena menyaksikannya. Ibu Akina sampai lupa lanjut panen kangkungnya. “Seba dia juga, yah, Kak? Jangan-jangan, jodoh juga?”
“Mama ...!” Untuk pertama kalinya dalam hidup Aqilla setelah lepas balita, dirinya refleks merengek. Rengekan gemas-gemas manja.
Sambil menahan tawanya, ibu Akina berangsur memeluk Aqilla. Ia sengaja membuat kedua tangannya yang memakai sarung tangan dan memang k otor, tak sampai menyentuh Aqilla.
Dari belakang sebelah, pak Zeedev yang melihat kebersamaan sang istri dengan Aqilla, refleks tersenyum. “Habis bahas apa mereka. Kayaknya seru banget?” pikirnya langsung istiqhfar karena didatangi Zean yang pipinya penuh ingus.
“Udah puber, sudah sunat, sudah punya pacar juga, kok masih ingusan!” semprot pak Zeedev.
“Bersihin Papa!” rengek Zean.
“Yang ada kamu bisa kepanasan karena cabai ini!” omel pak Zeedev.
Dari teras belakang, Zaen yang tadi sempat buru-buru lari ke depan datang. Zaen tak hanya datang sendiri. Karena seorang gadis cantik berusia sekitar sebelas tahunan, datang. Gadis bernama Jenny, Zaen gandeng kemudian bantu memakai sarung tangan.
“Jenny sudah datang? Wah ... Jenny makin cantik, ya?” ucap pak Zeedev lantang. Maksudnya akan menyenggol Zean. Namun, bocah berusia dua belas tahun itu mendadak tak ada di sebelahnya. “Tuh anak ngilang ke mana?”
Apakah maharaja akan mencintai Aqilla secara ugal ugalan seperti mama elra kepada papa syukur 😍
Penasaran.......
amin🤲