Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cadar.
Alvian membereskan tempat tidurnya yang agak sedikit berantakan, sambil berpikir jika sepertinya istrinya baru saja mendapat kabar jika Ummi dan kakak iparnya akan pulang juga. Sehingga mau tidak mau malam ini mereka akan tidur satu kamar lagi.
Alvian mengambil satu bantal dan menyimpannya di atas sofa. Untuk malam ini tidak seperti biasanya, dia yang akan tidur di sofa, dan membiarkan istrinya tidur di atas kasur.
Terdengar pintu kamar mandi terbuka.
"Kamu tidur di atas kasur, malam ini biar aku tidur di sofa," ucap Alvian tanpa melihat Aisha di belakangnya. Sibuk membereskan sofa yang juga berantakan oleh baju-bajunya.
"Kamu tidak mau tidur denganku?"
Alvian kaget, dia langsung membalikkan tubuh melihat Aisha di belakangnya.
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.
Aisha berdiri di depannya dengan tanpa memakai cadar.
Alvian terpana. Napasnya seolah berhenti seketika.
Aisha menghampirinya, semakin mendekat semakin berdebar jantungnya.
Aisha mengambil baju kotor di tangannya.
"Berikan padaku. Aku akan mencucinya besok," ucap Aisha melihat suaminya.
Alvian tak menjawab, seolah tak sadar, dia hanya terus menatap wajah istrinya tak berkedip.
Ternyata cadar bukan hanya telah menutupi auratnya, tapi juga menyembunyikan kecantikannya. Istrinya ternyata sangat cantik, bahkan sangat jauh dari bayang-bayangnya selama ini.
"Kamu tidak memakai cadar?" tanya Alvian memberanikan diri.
Aisha yang sibuk melipat baju miliknya, karena akan dimasukkan ke dalam lemari hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Alvian menghampiri istrinya.
Aisha kaget karena suaminya terus mendekat ke arahnya.
"Apa ini berarti kamu sudah menerimaku sebagai suami?"
"Apa aku pernah menolakmu sebagai suami?" jawab Aisha sambil menatap suaminya yang sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Mau aku ingatkan siapa yang menolak siapa?" tanya Aisha lagi.
Alvian langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu. Maafkan aku."
Alvian menghampiri Aisha lebih dekat lagi. Membuat Aisha mundur.
"Maksudku apa ini berarti kamu sudah rela memberikan hak-ku sebagai suami?"
Aisha menelan ludah.
"Aku..." Aisha terlihat gugup.
"Apa?" Alvian tersenyum karena melihat istrinya yang ketakutan. Dia tak lagi melihat istrinya yang biasanya lugas dan percaya diri.
"A-aku siap," jawab Aisha gagap.
Alvian tersenyum melihat Aisha yang semakin gugup, baru kali ini dia lihat ekspresi istrinya yang seperti ini.
Alvian mengangkat tangannya, membuat Aisha kaget dan semakin takut melihat tangan suaminya yang terus mendekati wajahnya.
Aisha memejamkan matanya. Menahan napasnya.
Aisha kembali membuka matanya ketika menyadari jika Alvian meraba keningnya.
"Aku pikir kamu sedang malu karena wajahmu memerah, tapi rupanya karena kamu masih demam, badanmu agak panas," ucap Alvian sambil mundur.
Aisha membuang napas. Lega.
Alvian keluar kamar, berniat mengambilkan obat untuk istrinya, sambil terus tersenyum sendiri mengingat bagaimana tegangnya Aisha tadi.
Dia kembali ke dalam kamarnya. Melihat Aisha yang masih melipat baju-baju miliknya.
"Minum obat dulu," ucap Alvian sambil memberikan obat dan segelas air.
Aisha mengambilnya dan segera meminumnya.
Alvian terus memperhatikan, seakan menikmati wajah sang istri.
"Tidurlah. Lanjutkan melipat bajunya besok saja. Kamu harus beristirahat agar cepat kembali sehat." Alvian mengambil baju di tangan istrinya.
___
Aisha tak bisa memejamkan matanya, begitu juga dengan Alvian yang tidur di sampingnya.
Ini kali pertama mereka tidur dalam satu kasur.
"Maafkan aku," ucap Alvian tiba-tiba.
"Untuk apa?"
Melirik Aisha di sampingnya.
"Aku pernah mencela baju syar'i-mu, cadar di wajahmu."
Aisha terdiam.
"Terima kasih telah menutupi tubuh dan wajahmu selama ini. Aku merasa menjadi suami paling beruntung, tubuh dan wajah cantikmu terbebas dari tatapan buas para lelaki, tak sembarang orang bisa melihat dan menikmatinya."
Aisha terdiam sejenak.
"Manusia zaman purba hampir bertelanjang. Setelah peradaban berkembang, mereka mulai berpakaian. Menutup aurat bukan hanya perintah Allah semata, yang kupakai selama ini melambangkan peradaban dan pemikiran tertinggi yang pernah dicapai manusia."
Alvian tersenyum bangga.
"Terima kasih sudah mengajarkan aku banyak hal," Alvian kembali melirik istrinya.
"Aku beruntung karena anak-anakku akan lahir dari wanita cerdas dan pintar sepertimu."
Wajah Aisha terlihat kembali memerah.
Alvian tersenyum lucu.
____
Aisha terkesima menatap wajah sang suami yang memakai peci lengkap dengan sarungnya, tidak seperti biasanya, dia melihat suaminya tampak lebih tampan dan berkarisma, sehingga ada sesuatu rasa lain di hatinya.
Mereka melaksanakan shalat berjamaah, begitu khusyuk nan syahdu. Alvian menjalankan kewajibannya sebagai imam dan kepala keluarga, pemimpin dalam rumah tangga.
Selesai shalat dan membaca doa, Alvian membalikkan tubuhnya, melihat Aisha di belakangnya, menatap mesra istrinya.
"Tak peduli kamu bosan atau tidak mendengarnya. Aku ingin kembali meminta maaf atau segala kesalahanku padamu."
Aisha menatap balik sang suami sambil mengangguk kecil.
"Aku juga minta maaf. Atas semua kelakuanku padamu."
"Mulai hari ini kita mulai dari awal lagi. Bersama kita bangun keluarga yang Sakinah mawadah warahmah." Alvian berkata sungguh-sungguh.
Aisha mengangguk.
Alvian mendekati istrinya lebih dekat. Aisha terpejam ketika suaminya mengecup keningnya.
Alvian lalu memegang wajah Aisha dan membelainya, mengagumi kecantikan alami sang istri.
"Aku tak rela berbagi kecantikan wajahmu ini dengan laki-laki lain, jangan pernah lepaskan cadarmu kecuali di hadapanku," bisiknya pelan.
***
Alvian terus tersenyum senang, sepanjang hari dia nampak sangat bahagia, mengingat saat-saat dia mengecup kening istrinya, ciuman pertamanya.
Dia yang baru saja melakukan operasi, berjalan cepat menuju ruangan sang ayah mertua, selain ingin memeriksa keadaan Abah, sebenarnya dia sangat merindukan istrinya.
Namun di tengah perjalanan dia dicegat oleh seseorang yang amat sangat dikenalnya. Tante Desi, ibunya Anita.
"Kenapa kamu memperlakukan anak Tante seperti itu?" tanya Desi dengan kecewa setelah Alvian memintanya untuk duduk di bangku.
"Maaf Tante, saya tahu jika Tante kecewa."
"Kamu bukan hanya sudah mempermalukannya, tapi juga menghancurkan hidup dan kariernya." Desi terlihat kesal.
Alvian diam menunduk.
"Kenapa kamu tega melakukan itu semua pada Anita? Apa artinya kebersamaan lima tahun kalian selama ini?"
"Hancur Tante. Anita yang menghancurkannya."
"Kenapa kamu malah menyalahkan Anita? Kamu yang berpaling dan mengkhianatinya kan?" Desi terlihat marah.
"Aku tidak akan berpaling darinya jika ternyata dia lebih baik dari istriku. Maaf Tante saya harus mengatakan ini. Tapi kelakuan Anita benar-benar membuat saya kecewa."
Desi tersenyum sinis.
"Kenapa kalian bisa bertahan sampai lima tahun jika menurut kamu Anita sangat buruk di hadapanmu."
"Karena selama lima tahun itu aku belum mengenal istriku."
"Kamu terus membanggakan istrimu, wanita bercadar itu?"
"Maaf tante. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Saya tahu jika Tante kecewa pada saya. Tapi saya yakin jika Tante pasti mengerti jika kami berdua memang tidak jodoh. Saya minta Tante bisa memberi pengertian pada Anita tentang hal itu, saya yakin jika Anita pasti akan mendengarkan semua perkataan Tante."
"Saya tidak bisa melakukan itu," jawab Tante cepat.
Alvian kaget.
"Saya akan menemui istrimu, memintanya meninggalkanmu karena sebenarnya Anita yang lebih berhak untuk mendapatkanmu. Kalian sudah lama berpacaran."
"Saya disini." Aisha tiba-tiba bersuara.
Alvian dan Desi kaget, Keduanya berdiri.
Aisha mendekati Desi.
Desi menatap Aisha jijik dari atas hingga bawah.
"Tak ada yang lebih berhak atas seorang suami selain istrinya sendiri," ucap Aisha lembut.
"Jika kamu jadi Anita, apa yang akan kamu lakukan? Pacarmu menikahi wanita lain," tanya Desi setengah membentak.
"Jika saya jadi dia, saya memilih untuk tidak berpacaran apalagi sampai bertahun-tahun. Pacaran. Aktifitas yang tidak diridhai oleh Allah, setiap detiknya haram, setiap momennya dosa, berujung pada zina dan hilangnya kehormatan, dinikahi belum tentu, dikhianati bisa jadi, ditinggalkan mungkin saja. Pacaran itu cinta murahan yang hanya merusak keimanan. Bahagia dalam dosa."
Alvian tersentil.