Hai, kenalin! Ini adalah novel gue yang bakal ngajak kalian semua ke dunia yang beda dari biasanya. Ceritanya tentang Lila, seorang cewek indigo yang punya kemampuan buat liat dan ngerasain hal-hal yang nggak bisa dilihat orang lain. Tapi, jangan mikir ini cuma cerita horor biasa, ya!Lila ini kerja di kota besar sebagai jurnalis, sambil terus nyoba buat hidup normal. Sayangnya, dunia gaib nggak pernah jauh dari dia. Dari gedung-gedung angker sampai pesan misterius, Lila selalu ketarik ke hal-hal aneh yang bikin bulu kuduk merinding. Di tengah kesibukannya ngeliput berita, Lila malah makin dalam terlibat dengan makhluk-makhluk dari dunia lain yang seolah ‘nungguin’ dia buat ngungkap rahasia besar.Penasaran gimana dia bakal hadapin semuanya? Yuk, ikutin terus perjalanan Lila di "Bayangan di Kota: Kisah Gadis Indigo". Siap-siap deh, karena lo bakal nemuin banyak misteri, ketegangan, dan sentuhan supranatural yang bikin lo nggak bisa berhenti baca!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hansen Jonathan Simanjuntak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Bayangan di Balik Kegelapan (Bagian 2)
Lila masih ngerasa jantungnya berdebar kencang meskipun mereka udah jauh dari gedung tua itu. Napasnya masih berat, dan dia mencoba menenangkan diri sambil menatap jalanan yang kosong. Bayangan hitam itu masih jelas kebayang di kepalanya, dan entah kenapa, dia ngerasa kalau hal ini nggak akan selesai begitu aja.
“Lil, lo baik-baik aja?” Rina nanya sambil megang bahu Lila.
Lila ngangguk pelan, tapi jelas mukanya masih pucat. “Iya, gue cuma... nggak nyangka bakalan liat itu. Gue pikir, ini cuma ada di mimpi gue.”
Pak Anton, yang biasanya selalu tenang dan santai, kali ini juga kelihatan bingung. Dia berdiri sambil menyandarkan diri ke mobil, matanya masih tertuju ke arah gedung tua yang sekarang kelihatan jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Gue nggak pernah nyangka bakal ngeliat hal kayak gitu. Gue pikir, itu semua cuma cerita omong kosong warga lokal. Tapi tadi... jelas banget bukan hal biasa.”
Rina menggelengkan kepala pelan. “Gue sih juga nggak ngerti, tapi apa tadi itu sama kayak yang lo liat di mimpi, Lil?”
Lila menggigit bibirnya. Dia masih mencoba merangkai apa yang baru aja dia liat dengan mimpi-mimpi buruknya belakangan ini. “Iya, mirip banget. Bayangan hitam, tinggi, nggak jelas bentuknya, tapi auranya... gelap, berat, kayak ada sesuatu yang bener-bener nggak beres sama dia.”
Pak Anton menarik napas panjang. “Oke, kita harus lapor ini ke atasan. Ini bukan cuma soal liputan biasa. Ini bisa jadi kasus serius kalau sampai ada warga yang kenapa-napa gara-gara gedung itu.”
Lila mengangguk, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang ngerasa masalah ini nggak bisa dipecahin cuma dengan laporan atau tindakan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang udah mulai mengintai mereka. Dan dia takut kalau bayangan hitam itu nggak akan berhenti sampai urusannya selesai—entah apa urusannya.
...****************...
Hari berikutnya di kantor, suasana beda. Biasanya Pak Anton bakal ngegas mereka buat segera kirim laporan, tapi kali ini dia malah duduk di meja kerjanya dengan ekspresi mikir berat. Lila duduk di meja sebelah Rina, masih ngerasa capek dan tertekan sama kejadian kemarin.
“Lil, lo yakin lo nggak mau izin dulu buat istirahat?” Rina nanya sambil melirik temennya yang kelihatan lesu.
Lila menggeleng. “Nggak, gue harus tau apa yang sebenarnya terjadi, Rin. Gue nggak bisa tinggal diam sementara gue terus-terusan digangguin sama bayangan itu.”
Rina mengangguk, meskipun jelas kelihatan kalau dia juga khawatir sama Lila. “Yaudah deh, kalau lo ngerasa kuat. Tapi serius, Lil, lo jangan terlalu maksain diri.”
Lila tersenyum kecil, tapi senyum itu nggak bertahan lama. Dia menatap layar laptopnya yang masih kosong, pikirannya masih melayang ke gedung tua itu dan bayangan yang mereka liat.
Pak Anton tiba-tiba berdiri dan melangkah ke meja mereka. “Oke, gue udah diskusi sama atasan. Kita bakal ngelakuin investigasi lebih dalam soal gedung itu. Gue mau kalian berdua ikut.”
Rina melotot, jelas dia nggak siap buat balik ke tempat yang bikin bulu kuduknya berdiri. “Pak, serius? Kita harus balik ke sana?”
“Serius, Rina. Ini bukan cuma liputan, kita harus pastiin gedung itu aman buat warga sekitar. Kalau ada hal-hal aneh kayak kemarin, kita harus lapor lebih lanjut biar bisa ditangani dengan serius,” jawab Pak Anton tegas.
Lila diem sebentar. Bagian dari dirinya pengen lari jauh-jauh dari gedung itu, tapi ada sesuatu yang bikin dia ngerasa harus balik. “Oke, Pak. Gue siap ikut lagi.”
Rina melirik Lila dengan tatapan nggak percaya. “Lo yakin, Lil?”
Lila ngangguk. “Gue harus tau apa yang sebenarnya terjadi.”
...****************...
Beberapa jam kemudian, mereka udah di perjalanan menuju gedung tua itu lagi. Kali ini suasananya lebih tegang. Rina duduk di samping Lila di mobil, mukanya pucat dan cemas. Sementara Pak Anton yang biasanya suka nyetel radio atau ngobrol di perjalanan, kali ini juga diem aja.
Lila ngeliat ke luar jendela, pikirannya masih kacau. Di kepalanya cuma ada bayangan hitam itu, dan gimana rasanya waktu dia ngerasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar penampakan. Ada kekuatan gelap yang seolah menunggu mereka buat balik ke sana.
Setelah beberapa saat, akhirnya mereka sampai lagi di depan gedung itu. Sama seperti kemarin, gedung itu berdiri dengan aura kelam yang nggak biasa. Matahari udah mulai turun, bikin bayangan gedung makin panjang dan menakutkan.
“Nggak ada jalan lain,” Pak Anton ngomong sambil menarik napas panjang. “Kita harus masuk lagi.”
Rina terlihat ragu, tapi dia tetap ngikutin langkah Pak Anton dan Lila. Mereka bertiga mulai masuk ke gedung tua itu lagi, kali ini dengan perasaan yang lebih berat. Lila bisa ngerasain udara di dalam gedung makin dingin, dan rasanya kayak ada yang ngawasin mereka.
Langkah mereka semakin masuk ke dalam gedung, ke ruangan yang sama di mana mereka liat bayangan hitam kemarin. Lila udah ngerasain kehadiran itu lagi, makin kuat seiring mereka mendekat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar lagi. Tapi kali ini, bukan cuma satu langkah, melainkan banyak. Lila langsung berhenti, ngerasain darahnya membeku.
“Lo denger itu?” Rina berbisik, suaranya gemetar.
“Iya, denger,” jawab Lila pelan, matanya terus melirik ke sekeliling.
Pak Anton nyorotkan senter ke arah suara itu, tapi nggak ada yang kelihatan. Hanya ruangan kosong yang gelap dan penuh debu. Tapi suara langkah kaki itu makin deket, makin jelas.
Seketika, bayangan hitam muncul lagi, tapi kali ini nggak cuma satu. Ada beberapa bayangan hitam, berdiri di ujung ruangan, menatap mereka. Aura mereka jauh lebih menyeramkan, lebih berat dari sebelumnya.
Lila merasa lututnya lemas. Ini terlalu banyak, terlalu cepat. Dia mencoba menarik napas panjang, tapi udara di sekitarnya terasa dingin dan berat.
“Kita harus keluar dari sini,” Pak Anton ngomong dengan suara tegas, tapi jelas kelihatan kalau dia juga mulai panik.
Mereka bertiga mundur perlahan, tapi bayangan-bayangan itu nggak bergerak. Mereka hanya berdiri di sana, menatap tanpa mata, tanpa wajah. Tapi auranya terus menekan, bikin suasana makin nggak nyaman.
Ketika mereka sampai di pintu keluar, Lila ngerasa tubuhnya mendadak kaku. Ada sesuatu yang menariknya buat balik lagi ke dalam gedung. Tapi Pak Anton dan Rina udah di depan, nunggu dia.
“Lil, cepet!” Rina teriak.
Lila berusaha ngelawan rasa takutnya, dan akhirnya dia berhasil keluar dari gedung itu lagi. Tapi saat dia melirik ke belakang, bayangan hitam itu masih berdiri di sana, seolah menunggu mereka balik lagi.
“Ini belum selesai,” gumam Lila pelan, ngerasa kalau ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...