Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maryam Setyaningsih
Centhini melirik ke arah sang ibu yang sedang membuat kopi untuk Bapak dan Dihyan, kemudian tersenyum simpul.
“Kenapa, kok, ketawa-ketawa gitu, Cen? Semangat ya, mau ketemu saudara-saudara?” ujar Maryam mendapati anak perempuannya itu senyam-senyum sendiri.
“Semangat sih iya, Bu. Tapi bukan itu yang bikin aku senyum-senyum.”
“Terus, apa kalau gitu?”
“Ibu kok bisa cantik, ya? Padahal Ibu udah umur segini, tapi masih kurus aja, nggak ada kerutan di wajah. Ini juga baru pakai daster, kalau pakai gaun, beehh … menyala, Ibukuuh!”
“Menyala piye? Kompor? Lagian ya cantik dong, makane bapakmu itu mau sama Ibu.”
Centhini memang ngefans dengan ibunya itu. Maryam Setyaningsih, berkulit kuning langsat, sepasang mata teduh, alis yang melengkung sempurna seperti dilukis, hidung mancung dan bibir tebal dan melebar ke samping, panjang, khas Timur Tengah. Namun, yang paling membuat Centhini berdecak kagum sebagai sesama perempuan adalah tubuh ibunya yang ramping tersebut.
Centhini beberapa kali melihat ibunya berbusana selain daster, terutama kalau bepergian, atau kondangan. Dan itu, astaga, cantiknya meroket sampai ke angkasa. Maryam bukan seperti ibu-ibu pejabat, atau artis-artis ibukota yang sudah hilang pamornya. Maryam lebih terlihat seperti selebritas legendaris luar negeri, seperti Elizabeth Taylor atau Grace Kelly, anggun nan menawan.
“Aku mau kayak Ibu nanti kalau sudah tua. Malah semakin cantik,” ujar Centhini.
“Amin, amin. Makasih ya nduk atas pujiannya. Kamu itu juga udah cantik gitu, kok,” respon sang ibu.
Kadang-kadang Centhini merasakan apa yang dirasakan Dihyan. Keluarga ini penuh dengan pesona. Tidak main-main, semua orang di dalam keluarga Setiadi rupawan. Masalahnya, Dihyan yang tidak pede itu cuma nggak pernah bercermin, atau malah bercermin terlalu lama. Adiknya itu ganteng luar biasa, berlebihan malah. Harusnya Dihyan lebih memperhatikan diri sendiri dahulu, melihat kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya, baru mulai mengeluh.
Harusnya Centhini yang merasa terasing karena tidak mewarisi ciri-ciri kebulean mereka. Untungnya, Maryam yang sama-sama perempuan, memberikan kasih sayang yang begitu besar kepada Centhini sehingga membuat kecantikannya yang memang sudah ada itu tidak hilang hanya karena Centhini tidak percaya diri.
“Kalau Ibu bisa ketemu dengan kedua orang tua Ibu, Ibu juga bakal senang,” ujar Maryam kemudian.
“Hmm … memangnya Mbah Kakung dan Mbah Putri dimana sekarang? Ibu nggak pernah cerita secara detil. Sama seperti Bapak,” ujar Centhini.
Maryam seperti menghindari menatap mata sipit Centhini. “Ya, pokoknya adalah di Jawa. Ya nggak tahu sekarang gimana kabarnya, Nduk. Kapan-kapan kalau kita punya rezeki dan waktu, mungkin kita bisa coba tilik mereka.”
Pembahasan tentang orang tua Maryam berhenti disitu. Keduanya mengantarkan kopi dan membawakan sarapan ke ruang makan. Centhini pun tidak ingin bertanya lagi. Ia menghormati apapun itu. Toh sang ibu memang tidak berniat untuk melanjutkan ceritanya.
Centhini setuju dengan Dihyan, kedua orang tua mereka memang misterius. Mungkin ini adalah satu-satunya kekurangan di keluarga ini. Meskipun Centhini tidak terlalu ambil pusing. Tidak boleh setitik nila rusak susu sebelanga.
Setelah sarapan dan bersiap-siap, akhirnya Centhini dapat melihat Maryam, ibunya, kembali mengenakan pakaian non-daster. Wanita itu terlalu agung, luar biasa mempesona dan menawan. Terusan sederhana, berwarna jingga lembut hampir biasa saja bila tanpa bandana yang menghiasai rambutnya bagai wanita Amerika di tahun 70-an. Anggun dan mahal.
Benjamin berhasil melihat kekaguman Centhini. Laki-laki tersebut mendekat, kemudian menyenggol Centhini pelan. “Makanya Bapak nikahi Ibumu.”
Centhini melihat sang ayah mengangkat-angkat kedua alisnya, membuat Centhini tertawa.
Jelas, ia tidak bisa lebih setuju dibanding sang ayah. Sang ibu sedang berada dalam mode kecantikan sejatinya, yang selama ini disembunyikan di balik sosok seorang penjaga warung berdaster.
Dihyan yang menghela nafas panjang melihat persiapan keluarganya tersebut. Selain Maryam yang berbusana layaknya bintang film Amerika klasik, sang ayah yang hanya mengenakan jins dan kemeja lengan panjang yang digulung sampai ke siku itu sungguh seperti bule sungguhan, bukan indo atau campuran separuh bule. Tubuhnya yang tinggi dan masih tegap terlihat pas dengan sang ibu. Centhini di sisi lain, berbusana bak model atau bintang film Korea. Mengenakan celana pendek denim dengan kaus lengan panjang yang memamerkan kerampingan tubuhnya. Ini masih ditambah sepasang sepatu boots berwana hitam. Centhini luar biasa trendy.
Dihyan benci itu. Apalagi melihat gayanya sendiri.
“Kalian ini mau fashion show apa naik pesawat, to?” protes Dihyan.
“Wesss, guantengee anak Ibu,” respon Maryam melihat cara Dihyan berpakaian.
“Ngejek, ngejeek … iya, iya, aku ini paling jelek diantara kalian.”
“Lah, wong bener kok. Coba lihat Pak, mirip Bapak to?” ujar Maryam meminta persetujuan Benjamin.
Benjamin mengangguk. Centhini bersiul. Lalu mendekat ke arah adiknya itu dan menggandeng tangannya. “Udah, ayo, adikku sayang. Nggak usah marah-marah. Kamu keren, kok. Ayo, bantu bawa koper ke depan, kita tunggu taksi online.”
Dihyan mengenakan pakaian yang serupa dengan ayahnya. Bedanya, ia merasa beda saja. Mungkin itu masalah terbesarnya dari dulu.
Namun, sepanjang perjalanan, Centhini tak berhenti membuat Dihyan merasa nyaman dan senang. Biasanya ia membully adiknya itu, tetapi kali ini, Centhini lebih sering bercerita, baik di bandara maupun pesawat.
Hasilnya, Centhini tak sadar bahwa Dihyan berhasil mengorek banyak informasi mengenai Camelia. Centhini pun sejatinya tak tahu bahwa Camelia sungguh berada di dalam hati dan pikiran Dihyan, memenuhi relung-relungnya.
“Camelia itu one of a kind, lho,” ujar Centhini. “Kehidupan keluarganya rumit. Dia mewarisi fisik papanya, tetapi sifatnya ikut ibunya. Malah, lucunya, beda sama kamu, Yan, Camelia itu nggak suka keliatan bule gitu. Dia bilang kalau bisa operasi wajah, dia mau punya wajah nusantara. Entah Sunda, Dayak atau sekalian Manado gitu, ikut gen mamanya.”
“Memangnya dia ada masalah sama papanya, sampai nggak mau bangga sama sisi Inggrisnya itu?” tanya Dihyan, mencoba untuk tidak terlihat terlalu mencurigakan.
“Sepertinya sih gitu. Aku nggak tanya terlalu banyak, kelihatan dia nggak terlalu nyaman kalau kami bahas soal keluarganya. Makanya, aku bangga sama keluarga kita ini, Yan. Ada banyak misteri memang, aneh, tapi itu nggak terlalu penting. Camelia aja bilang kalau dia iri sama keluargaku ini, kok. Makanya, kamu itu, bangga sedikit kenapa, sih? Santai, bro, santai …”
Dihyan mengedikkan kedua bahunya, tidak berniat merespon apa-apa.
Ia mengingat-ingat wajah cantik Camelia Green dan tersipu-sipu sendiri karenanya. Ah, andai, andai saja, paling tidak sekadar di dalam mimpi, ia bisa memiliki kisah romantis bersama sang pujaan hati. Di dunia mimpi itu ia ingin menjadi sosok Dihyan yang percaya diri, yang tampan dan mempesona, yang memiliki keberanian untuk sekadar berbiara dengan Camelia mengenai kehidupannya. Di dalam mimpi, ia ingin Camelia memiliki kepercayaan yang besar kepada dirinya, sehingga ia menceritakan semua perihal kehidupan, keluarga dan kedua orang tuanya tersebut.
Namun, mana mungkin.
“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next