Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Cerita Nanti
Revisi
.
.
.
.
.
“Gila saja! Tunggu, sepertinya tidak hanya itu.” Puji mengingat-ingat perangai Hanung yang aneh beberapa waktu yang lalu.
“Hanung pernah ditampar juga sebelumnya.” Kata Puji kemudian.
“Benarkah? Kapan? Apa kamu punya bukti?”
“Hey! Tenanglah! Jangan terlalu bersemangat! Ingat kondisimu!” Gus Zam pun mengatur nafasnya, mendengar omelan Puji.
“Sepertinya hari terakhir Hanung di catering, kalau tidak salah. Pagi aku masih bertemu dengannya, tapi saat makan siang ia pulang. Yang aneh adalah hijabnya yang disematkan membentuk cadar. Aku sempat bertanya tetapi Hanung bilang sedang sakit dan aku tidak bertanya lebih lanjut karena aku buru-buru waktu itu. Setelah itu aku tak ada bertemu dengannya lagi. Atau mungkin aku salah?”
“Bisa saja benar. Karena sepertinya itu adalah hari dimana Hanung tidak membawa ponsel dan siangnya menghubungiku dengan nomor baru.” Gus Zam menggabungkan prasangkanya.
“Jadi, hari itu Hanung ditampar dan ponselnya rusak?” Puji ikut mengambil kesimpulan.
“Tidak tahu. Yang pasti, Hanung mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibu dan keluarga tirinya.”
“Kalau itu sepertinya benar. Setahuku pemilik catering memang orangnya yang semena-meja makanya karyawannya sering resign dan tidak ada yang mau memperpanjang kontrak.”
Gus Zam terdiam. Jika benar apa yang ia simpulkan bersama Puji. Maka itu semakin memantapkan hatinya untuk menjemput Hanung. Bagaimana pun, ia lebih berhak atas istrinya dibandingkan ibunya. Ia akan menjadi garda depan Hanung, agar istrinya tak lagi menyembunyikan sesuatu darinya.
"Kamu adalah suami Hanung, jangan biarkan ia selalu memikirkan kebaikanmu. Sudah saatnya kamu menjadi imam yang baik untuk Hanung." kata-kata Bu Nyai mengiang di kepala Gus Zam.
“Apa kamu tahu rumah Ibu Hanung?” Tanya Gus Zam.
“Tahu, tapi sepertinya Hanung tidak ada disana. Terakhir kali istrimu menghubungimu saat tidak sadarkan diri, latar yang ada di belakangnya adalah rumah kayu. Sedangkan rumah Ibunya beton. Tanyakan saja dimana dia sekarang.” Kata Puji lemah.
Ia yang sedari kemarin penasaran pun mengatakannya. Kemarin ia tak sempat bertanya dimana Hanung, jadi biarlah suaminya yang bertanya.
Gus Zam pun menghubungi Hanung. Pikirannya sudah campur aduk sekarang ini. Perlakuan Ibu Hanung, Hanung yang tidak tinggal bersama Ibunya dan bagaimana istrinya menghadapi semua itu.
“Mas sudah di penginapan?” Gus Zam mengangguk.
“Syukurlah, Mas Zam harus beristirahat. Tidak boleh berpikiran macam-macam.”
“Kamu dimana sekarang?”
“Di rumah.” Jawab Hanung santai.
“Rumah siapa?” Hanung terdiam.
Ia belum bercerita kepada Gus Zam perihal dirinya yang pergi dari rumah Surati. Hanung pun mengambil nafas dalam sebelum menceritakan semuanya.
“Sebenarnya Hanung pergi dari rumah Ibu sejak 2 hari yang lalu dan sekarang Hanung berada di rumah Pakdhe Warto dan Budhe Cici. Mereka masih saudara dengan Ibu tetapi mereka juga putus hubungan dengan Ibu. Mereka menampung Hanung beberapa hari ini. Mereka juga yang membawa Hanung jalan-jalan kepasar.”
“Kenapa tidak mengatakannya lebih awal.”
“Maafkan Hanung, Mas! Aku hanya tidak ingin membebanimu dengan masalahku. Aku tak ingin memperburuk keadaanmu.” Gus Zam hanya diam.
Ada benarnya Hanung menyembunyikan semuanya darinya. Semua karena ia tidak bisa mendapatkan stimulasi. Seperti sekarang, ia sudah mulai merasakan mual dan nafas mulai tak beraturan. Tetapi ia memaksakan keadaannya dan mencoba mengatur nafasnya. Pikirannya sudah mulai overthinking. Gus Zam pun tak ingin membuat Hanung mengkhawatirkannya.
“Mas..” panggil Hanung yang berhasil membuyarkan pikiran Gus Zam.
“Ya.” Jawab Gus Zam dengan suara bergetar.
“Tol…” suara Hanung terputus karena sambungan mereka tiba-tiba berakhir.
Gus Zam mencoba berpikiran positif dengan beranggapan baterai ponsel istrinya habis. Ia mulai mengatur nafasnya. Puji yang sedari tadi memperhatikan pura-pura memainkan game di ponselnya. Ia hanya memantau karena masalah ini harus mereka selesaikan sendiri. Ia akan ikut campur saat waktunya tepat.
Tak lama kemudian, ponsel Gus Zam berdering dan muncul nama “Humairaku”.
“Maaf, Mas. Paket datanya tadi habis.”
“Jadi, kamu punya dua ponsel?” Tanya Gus Zam.
“Iya. Hanung beli lagi karena ponsel yang ini pernah disita Ibu.” Jujur Hanung.
“Jadi bukan karena ingin ganti nomor?” Itu adalah alasan Hanung sebelumnya.
“Maaf..” cicit Hanung.
“Tak apa. Tapi kenapa disita?” Hanung kembali bungkam.
Bagaimana caranya menceritakan perihal Alung dan rencana Surati? Hanung tak tahu harus mulai dari mana dan kemungkinan terburuknya, Gus Zam akan murka dan kumat lagi. Ia pun mengatakan akan menceritakannya lain kali saat mereka bertemu. Gus Zam menurut. Ia juga ingin menanyakan perihal kecurigaan Puji dan dirinya, tetapi Ia tak mau memaksa Hanung. Akhirnya mereka mengakhiri panggilan karena sudah masuk waktu sholat dzuhur.
“Kenapa tidak jujur saja?” Tanya Budhe Cici yang sedari tadi hanya diam di samping Hanung.
“Mas Zam belum siap mendengarnya Budhe.”
“Separah apa traumanya?”
“Hanung juga tidak tahu, yang pasti tidak ada yang tahu bagaimana Mas Zam mendapatkan trauma itu karena yang membuatnya trauma sudah tiada dan Mas Zam tidak mau bercerita.”
“Sabarlah, semoga dengan ada kamu diam sampingnya ia bisa sembuh. Jalan kalian masih panjang.”
Hanung pun mengalihkan pikirannya dengan membantu memberi makan ayam Pakdhe Warto karena beliau yang bertugas ke warung hari ini. Budhe Cici sengaja di rumah karena takut Hanung merasa kesepian.
Selesai memberi makan ayam, Hanung mencari kegiatan dengan menyapu halaman. Tak lama setelah ia selesai menyapu, ponselnya berdering. Hanung sempat ragu untuk mengangkatnya karena ia tak mengenal nomor tersebut. Tetapi karena nomor tersebut menghubunginya sampai 3 kali, Hanung pun mengangkat panggilan tersebut.
“Akhirnya kamu angkat juga!” Seru seseorang diujung telepon.
“Lala?” Tebak Hanung.
“Ya! Masih ingat dengan suaraku ternyata!”
“Kenapa, La?”
“Kamu kemana saja? Aku mencarimu kemana-kemana tapi tak ketemu! Bagaimana keadaanmu? Pulanglah, Ayah sudah melembut.”
“Alhamdulillah aku baik-baik saja. Maaf aku tidak bisa kembali karena aku sudah memutuskan untuk pergi dan tidak akan kembali lagi kesana.”
“Kamu dimana sekarang?”
“Tidak penting aku dimana, yang penting itu selamat atas pernikahannya dengan laki-laki pujaan.”
“Kamu mengejek ku?”
“Tentu saja tidak!”
“Hanung, kamu masih di sekitar sini kan? Kamu dimana?” Hanung tetap tidak ingin menjawab.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab. Hanung, Kak Alung menikahiku karena tuntutan Ayah, dia tidak mencintaiku. Aku harus bagaimana menghadapinya?”
“Jalani saja, La. Allah sudah memberikan kamu jalan untuk menikah dengan laki-laki pujaanmu, tinggal kamu yang menjalaninya bagaimana. Terlepas dari bagaimana cara kalian menikah dan tidak adanya cinta, semua itu bisa diusahakan. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan PR kamu adalah menjadi istri yang baik. Hilangkan sifat semena-menamu itu!” Goda Hanung.
“Terima kasih, Hanung. Aku akan mencobanya. Mampirlah ke acara kami jika sempat. Aku akan mengirimkan undangannya nanti.” Hanung tersenyum sambil mengangguk.