Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 10
"Apa yang membuatmu tidak bahagia?" Efran bertanya seraya memperbaiki selang infus Adeline, namun Adeline hanya menatap bingung ke arah pria yang kini berada disisinya. "Ray bilang kalau seseorang jatuh sakit itu artinya tidak bahagia, jadi apa yang membuatmu tidak bahagia?" Cecarnya yang kembali duduk.
"Aku hanya merindukan ayah dan ibuku," gumam Adeline yang menundukkan wajahnya.
"Hanya itu?" Adeline mengangguk pelan menanggapi pertanyaan sahabatnya. "Lalu, apa benar kau akan menikah dalam waktu dekat ini?" Lagi-lagi Adeline menatap Efran dengan penuh tanya.
Efran menghela napasnya dengan kasar dan beranjak dari duduknya untuk mengambil kupasan buah yang sudah dibuka sebelumnya.
"Maaf tadi aku tidak sengaja mendengarnya," gumamnya seraya menyuapkan apel ke mulut Adeline.
"Kakek kak Rafa menginginkan pernikahan itu,"
"Bagaimana denganmu? Apa kamu tidak menginginkannya? Mengingat kamu sangat menyukai pria itu."
Lagi, Adeline terdiam. Memang benar ia begitu menyukai Rafael, cinta pertamanya yang semakin hari rasa itu tumbuh semakin besar meski Rafael tidak pernah mengindahkan perasaannya sedikit pun.
"Apa tidak sebaiknya kau pikirkan dulu? Apa kau bisa menjalani pernikahan dengan cinta sepihakmu itu? Bagaimana dengan Rafael? Dia hanya akan terus mencintai wanita itu meskipun dia telah tiada, dan kau yang akan tersiksa disini."
"Bukankah sebuah batu yang keras saja bisa hancur jika terus menerus terkena air? Anggap saja hati Rafael seperti batu yang keras itu, dan biarlah aku yang menjadi airnya. Lagi pula, bukankah cinta itu datang karena sering bersama?"
"Tapi bagaimana jika upayamu sia-sia?"
Diam. Adeline tidak menjawab pertanyaan tersebut, karena sejujurnya dia pun tidak yakin dengan apa yang sudah keluar dari mulutnya itu. Bagaimana pun dia sudah mengenal Rafael sejak lama, dengan begitu dia tahu bagaimana karakter dan juga watak pria yang sangat dipujanya.
"Aku hanya bisa mendukungmu dan menjagamu jika kamu memang tetap menyetujui pernikahan itu."
**
**
Pernikahan nan megah digelar disalah satu gedung mewah, pernikahan tersebut dihadiri oleh banyak kolega perusahaan, kerabat dari keluarga Wilbur dan juga beberapa rekan kerja rumah sakit Adeline.
Terdengar suara yang tidak mengenakkan ditelinga Adeline saat ia sedang menyapa beberapa tamunya, sehingga dia pun berjalan menghampiri orang-orang yang menyebalkan menurutnya.
“Mudah sekali ya tuan muda Wilbur menggantikan pasangannya yang telah tiada, bahkan dia membuat pernikahannya dihari dimana seharusnya dia menikah dengan mendiang kekasihnya,” tukas salah seorang wanita—Tania, yang tengah menatap Rafael jauh didepan sana.
“Benar sekali, padahal kelihatannya dia sangat mencintai mendiang kekasihnya.” Riana membalas seraya memutar-mutar gelas yang berisikan minuman.
“Ah namanya juga laki-laki.” Celetuk Evelyn
“Hei nyonya-nyonya, apa tidak bisa kalian menjaga ucapan kalian? Memang kenapa jika dia menikah dengan pasangan yang berbeda? Apa salah? Apa ada yang melarang?” Sambar Adeline yang masih memegangi gaunnya.
“Lalu apa salah juga kalau kami mengomentarinya? Kau itu mungkin hanya dinikahi karena urusan politik perusahaan, ‘kan?” Evelyn menatap sinis Adeline seraya berdecih kecil.
“Maaf nyonya, jika Anda tidak tahu alasan sebenarnya, bukankah sebaiknya Anda tidak mengatakan hal demikian?” Efran membuka suaranya ketika mendengar sesuatu yang sangat tidak disetujui olehnya, dia bahkan geram ketika mendengar ucapan wanita dihadapannya.
“Ha Ha. Jadi benar ya pernikahan ini hanya digunakan untuk politik dan tidak ada cinta antara kalian.” Ucap Tania dan disambut tawa oleh dua wanita yang berada disisinya.
Mendengar ucapan itu membuat Adeline mengeratkan pegangannya pada gaun yang masih ia genggam sejak tadi. “Kalian….” Suara Adeline meninggi dan Efran sedikit terkejut karena itu pertama kalinya ia mendengar Adeline meninggikan suaranya dihadapan orang lain, bahkan dihadapan orang yang lebih tua darinya.
“Hei, kau memang menikah dengan tuan muda Wilbur, tapi kau tidak berhak meninggikan suaramu dihadapan kami, apa kau tidak tahu siapa kami? Kami ini istri dari kolega salah satu perusahaan tuan muda Wilbur, dan..”
“… lalu siapa nama suami kalian dan dari perusahaan mana?” Rafael tiba-tiba datang tanpa tahu kapan ia sudah berada disana. Kedua matanya menatap tajam ke arah tiga wanita dihadapannya saat ini dan membuat ketiga wanita itu merasa terintimidasi.
Ketika tiga wanita itu diam tak bergeming, mereka seharusnya merasa bersyukur karena ada seorang pria yang mungkin bisa dikatakan menyelamatkan mereka dari bahayanya seorang Rafael Wilbur.
Seorang pria berparas tampan, bertubuh jangkung dengan senyuman manisnya menyapa Adeline seraya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan padanya.
Tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan pria dihadapannya membuat Adeline mengernyitkan keningnya, entah siapa pria tersebut, namun saat melihatnya, ia merasakan kehangatan dalam hatinya.
"Dia adalah presdir utama dari tempat kita bekerja, Del." Bisik Efran dan seketika ekspresi Adeline berubah.
“Tampaknya kalimat presdir terlalu berlebihan untukku, aku hanya pemegang sementara sampai pemegang aslinya datang,” tukas pria yang berada dihadapan mereka setelah mendengar bisikkan Efran pada wanita disisinya.
"Selamat malam tuan... tuan..." Adeline tergagap karena dia tidak tahu siapa nama pria dihadapannya saat ini. "...siapa namanya? Beritahu aku." Bisik Adeline pada Efran yang masih berdiri disisinya.
"Henry Linston," belum menjawab pertanyaan Adeline, pria dihadapannya justru sudah memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, dia bahkan tersenyum lembut pada Adeline.
"Adeline Genevra." Balasnya seraya menjabat tangan Henry, saat tangan itu menyentuhnya entah kenapa hatinya bergetar. "Terima kasih tuan karena telah hadir di acara pernikahan saya," tambahnya seraya tersenyum ramah.
"Bagaimana aku tidak hadir? Sedangkan tuan muda Wilbur saja sudah menjadikan dirinya sebagai donatur tetap di Escort Hospital, bukankah akan terdengar tidak sopan jika aku tidak menghadirinya?" Henry terus tersenyum ramah.
"Senyumnya terlihat mirip dengan milik ayah," gumam Adeline pelan.
"Maaf?" Tampaknya telinga Henry masih menangkap suara gumaman Adeline saat itu.
"Tidak-tidak. Maafkan aku tuan, aku harus ke toilet sebentar, selamat menikmati hidangannya dan sekali lagi terima kasih karena sudah hadir," ucap Adeline yang langsung meninggalkan ketiga pria itu.
"Selamat atas pernikahanmu tuan muda Wilbur." Henry menjabat tangan Rafael. "Saya bisa pastikan jika kau tidak akan menyesal sudah memilihnya, dia wanita yang cerdas, mandiri, gigih, pekerja keras dan hebat." Timpalnya lagi.
"Tampaknya Anda sangat mengenali Adel? Saat melihat ekspresinya, aku rasa kalian belum pernah bertegur sapa." Rafael menatap Henry penuh dengan selidik.
"Bagaimana pun aku adalah pemilik rumah sakit, dan sebagai presdir bukankah aku harus tahu bagaimana cara karyawanku bekerja? Lalu apa saja pencapaiannya? Aku rasa Anda sebagai seorang CEO juga mengerti maksudnya," Henry tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya.
"Mungkin iya," jawab Rafael sekenanya.
"Jika begitu bolehkah aku menikmati hidangan disini?"
"Silahkan,"
Saat acara selesai Adeline ikut bersama dengan Rafael untuk pergi ke rumah yang seharusnya ia berikan untuk pujaan hatinya. Sayang, takdir berkata lain. "Seharusnya ini menjadi rumah kita dan menciptakan keluarga kecil yang bahagia," Rafael bergumam didalam hati ketika langkah kakinya memasuki rumah itu.
Sedangkan Daren hanya menatap punggung Rafael dengan sedikit rasa iba. Bagaimana pun mereka tahu seterpaksa apa Rafael untuk bisa menyetujui pernikahan tersebut.
Jika ada Rafael yang di sayangkan takdirnya oleh Daren, ada Alvaro juga yang merasa kasihan dengan Adeline, bahkan wanita itu masih berada dalam mobil.
"Adel dimana? Apa dia belum keluar mobil?" Suara bass itu terdengar mendekat dan membuat Daren menatap Alvaro, sedangkan Alvaro segera membukakan pintu mobil agar Adeline mau keluar.
"Apa tidak sebaiknya aku tinggal di apartement ku saja, kak Al?" Ucap Adeline dengan suara pelannya, Alvaro justru tersenyum lembut padanya.
"Akan lebih baik jika seorang istri tinggal bersama suaminya, dengan begitu kau bisa lebih banyak waktu dengannya dan kau akan memiliki banyak kesempatan untuk bisa merebut hatinya," bujuknya dengan senyum lembut serta menyodorkan tangannya. "Tenang saja, meski kita baru kenal, aku akan berusaha mendukung dan melindungimu," tambahnya lagi.
Merasa dilindungi, Adeline turun dari mobil dan seakan nyalinya menjadi ciut saat menatap Rafael yang tengah berdiri diteras rumah.
Rafael membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam rumah itu, Adeline mengerti bahasa tubuhnya dan menyusul Rafael masuk. Sedangkan Daren dan Alvaro sengaja dimintai tolong oleh Rafael untuk membawa barangnya ke rumah tersebut.
"Kamarmu ada disebelah kanan, Del. Kamarku ada di atas, jika terjadi sesuatu atau kau membutuhkan sesuatu panggil aku aja."
"Kita pisah kamar?" Tanya Adeline polos.
"Maafkan aku Del, tapi bukankah aku sudah bilang kalau ini bukan pernikahan yang sesungguhnya? Pernikahan ini hanya sebuah status dan demi kakek. Kau akan terus menjadi adikku sampai kapanpun."
"Begitu ya,"
Bagaikan ditusuk ratusan pedang, hati Adeline merasakan sakit ketika mendengar kalimat yang keluar dari bibir pria yang begitu ia idam-idamkan sejak kecil.
Tanpa mengatakan apapun lagi, ia langsung pergi ke kamar yang telah ditunjuk oleh Rafael. "Ah iya, aku juga sudah minta tolong Alva untuk bawa barang kamu," ucap Rafael saat melihat Adeline memasuki kamar.
"Terima kasih," balas Adeline sesaat sebelum benar-benar masuk kedalam kamarnya.