Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima - Habis Manis Sepah Dibuang
Amara semakin sadar, kalau dirinya tidak mimpi saat tangannya sudah memegang sesuatu yang tegak dan keras. Entah bagaimana ceritanya, Amara yang masih memejamkan matanya, tapi tangannya aktif memegangi milik Alvaro hingga Alvaro mengerang penuh kenikmatan.
“Aku tidak tahan, Ra,” bisik Varo.
Amara yang sadar suara Alvaro, ia membuka matanya perlahan. Betapa terkejutnya saat Amara mendapati tubuh suaminya yang sudah polos, pun tubuhnya juga sudah polos.
“Mas .... i—ini?”
“Aku ingin, Ra. Pahamu menggodaku,” bisik Alvaro lembut.
“Mas ... ta—tapi aku lelah .... aahhhh ....”
“Nikmati saja, Ara. Kau juga suka, bukan?”
“Mas .....” Amara mendorong dada Alvaro, tapi Alvaro semakin kuat menguasai tubuh Amara yang berada di bawahnya.
“Sebentar ya, Ra? Aku ingin sekali,” bisik Alvaro sambil membenamkan bagian inti tubuhnya pada inti tubuh Amara.
“Janji sebentar saja ya, Mas? Ahhhh ....”
Amara sudah tidak bisa menahan desahannya. Ia benar-benar menikmati permainan malam ini dengan Alvaro. Amara merasa malam ini Alvaro begitu bergairah.
^^^
Permainan mereka selesai hingga pukul dua dini hari. Tidak ada yang sebentar bagi Alvaro. Sebentarnya Alvaro itu sama dengan lima kali bermain ranjang dengan istrinya, sampai istrinya kewalahan dengan permainannya. Akan tetapi, Amara tidak bisa menolaknya, itu sudah kewajiban yang harus Amara lakukan.
Kondisi ranjang benar-benar mengenaskan. Sprei terlepas dari kasur, baju dan handuk berserakan. Bahkan baju Amara hancur tak berbentuk, karena dengan penuh gairah Alvaro merobeknya.
Amara bergegas ke kamar mandi, ia langsung membersihkan dirinya. Setelah selesai mandi Amara mengambil pakaian. Ia ambil daster tanpa lengan. Namun, dengan buru-buru Amara memakainya, karena ia merasakan lapar menghampiri perutnya. Sampai Amara lupa tidak memakai pakaian dalam.
Amara langsung menuju ke dapur untuk mencari makanan. Mungkin tadi Bi Asih sudah membuatkan makan malam, akan tetapi Amara ketiduran karena lelah, sampai melupakan jam makan malamnnya. Amara menyalakan lampu dapur, ia langsung membuka lemari yang digunakan untuk menaruh makanan. Benar Bi Asih sudah masak, dan masakannya terlihat masih utuh. Ada ayam kecap, udang sambal, dan sayur sop.
Saat mengambil piring di rak piring, Amara dikagetkan dengan seseorang yang memeluknya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Alvaro.
“Mas ....!” pekik Amara.
“Kenapa malah di dapur, sih?” tanya Alvaro.
“Aku lapar, Mas,” jawab Amara.
“Sama, aku juga sangat lapar. Sampai aku ingin memakan kamu lagi, Ra,” ucapnya sambil mengendus leher belakang Amara yang membuat bulu roma Amara berdiri, dan aliran darahnya semakin deras, ditambah Alvaro meremas kedua bukit kembar Amara yang tanpa penutupnya itu.
“Ahhh ... Mas ... tadi kan sudah lima kali?” ucap Amara dengan sedikit mendesah.
“Belum delapan kali, aku masih sangat ingin,” bisiknya. “Ayolah Amara ... lihatlah dia berdiri lagi,” ucapnya dengan terus mengusap dan meremas lembut dada Amara.
“Mas .... aku lapar, ahhh ....”
“Satu kali lagi, aku yakin kamu juga masih ingin.”
Amara tidak bisa menolaknya, sentuhan Alvaro melemahkan kerja saraf otaknya, hingga ia tidak bisa berpikir jernih lagi untuk menolak ajakan suaminya. Begitulah Alvaro saat ingin bercinta. Dia begitu lembut, manis, dan bergairah. Namun, seusai bercinta ia kembali menjadi Alvaro yang dingin, angkuh, dan cuek. Yang membuat Amara bingung dengan sikap Alvaro. Sering Amara bertanya-tanya dalam hatinya, apa suaminya itu memiliki dua kepribadian?
Alvaro mengangkat tubuh Amara setelah berhasil melepaskan daster yang Amara gunakan dan melemparnya sembarangan. Alvaro tidak ragu untuk bercinta dengan istrinya di dapur, karena semua asisten rumah tangganya sudah tidak berada di rumahnya. Mereka sudah meninggalkan rumah Alvaro sejak pukul sepuluh malam. Semua asistennya tinggal di rumah sebelah milik Alvaro, karena Alvaro sengaja membuatkan rumah tinggal untuk mereka.
Alvaro menggendong tubuh Amara di depan, dan menyuruh Amara menggerakkan tubuhnya maju mundur. “Ya begitu, Amara .... Good, Amara, aku suka,” racau Alvaro saat Amara menggerakkan tubuhnya di depan dengan posisi digendong Alvaro.
“Shit .... kamu membuatku gila, Ara! Kau hebat!” erangnya.
Alvaro menaruh tubuh Amara di atas meja makan. Ia langsung menyatukan permainan lagi dengan begitu bergairah. Kurang lebih satu jam mereka baru menyelesaikan permainannya itu.
Alvaro membersihkan sisa-sisa permainan panasnya di area inti miliknya dan milik Amara dengan menggunakan tissue. Setelahnya ia mendudukkan Amara di kursi, lalu menyiapkan makanan untuk dirinya dan Amara.
“Kamu pasti sudah sangat lapar, aku juga lapar, kita makan dulu,” ucap Alvaro setelah mengambilkan makanan untuk Amara.
Mereka makan dalam kesunyian, hanya denting alat makan yang sedikit terdengar. Di saat sedang menikmati makanan mereka, terdengar getaran ponsel milik Alvaro. Alvaro segera meraih ponselnya itu, lalu melihat layar poselnya, siapa yang menelefonnya.
“Ya, hallo! Ada apa?”
“.....”
“Hmmm ... aku akan ke sana sekarang, kamu jangan ke mana-mana, tetap berada di dalam rumah, jangan sekali pun kamu membuka pintu! Aku ke sana sekarang!”
Alvaro terlihat begitu khawatir saat menjawab penelepon itu. Entah siapa, Amara tidak berani bertanya, tapi ia paksakan tanya pada Alvaro siapa yang menelefon suaminya tengah malam.
“Siapa?”
“Cindi. Aku akan ke rumahnya, setelah selesai makan kamu tidurlah,” jawab Alvaro.
Amara tersenyum getir. Bisa-bisanya suaminya sekhawatir itu pada perempuan lain yang bukan siapa-siapanya, sampai di bela-belain akan ke rumahnya sekarang juga.
“Mau apa ke sana? Jangan ke sana!” ucap Amara.
Entah keberanian dari mana, Amara bisa melontarkan kata larangan itu pada suaminya.
“Cindi sedang membutuhkan aku. Aku sebentar saja. Kamu lebih baik tidur setelah ini.”
Setelah itu Alvaro bergegas ke kamar untuk memakai pakaiannya. Amara hanya menatap punggung Alvaro yang berjalan meninggalkannya. Tak lama kemudia, Alvaro kembali menghampiri Amara dengan tangannya terlihat sedang memegang kunci mobilnya.
“Aku pergi dulu, Ra,” pamitnya.
“Aku tidak mengizinkamu, Mas!” tegas Amara.
“Dia membutuhkan aku, Ra!”
“Apa baik seorang pria beristri, menghampiri seorang perempuan di rumahnya tengah malam begini?” ucap Amara dengan nada tinggi.
“Kamu jangan kekanak-kanakkan gini dong, Ra! Aku hanya bantu dia, dia itu lagi butuh aku, Ra!” ucap Alvaro tak kalah serunya.
“Oh kamu anggap aku kekanak-kanakkan gitu? Ya sudah sana pergi, dan setelah ini aku tak akan melarangmu lagi, terserah kamu mau apa, aku tidak akan pernah melarangmu lagi. Lakukan apa pun sesuka hatimu!” ucap Amara.
Ucapan Amara membuat Alvaro diam sejenak, tapi hanya sejenak. Setalah melihat lagi ada panggilan masuk dari Cindi, ia langsung melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan Amara yang sedang menangis di depan meja makan.
“Baik, kalau ini memang pilihan kamu, Mas,” lirih Amara.
Habis manis sepah dibuang. Itu yang Amara rasakan saat ini. Miris sekali hidupnya. Ia hanya menjadi pelampiasan hasrat suaminya saja. Setelah itu dibuang begitu saja.