NovelToon NovelToon
Tergila-gila Padamu

Tergila-gila Padamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: dochi_19

Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?

Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.

...

Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

si gadis naif

"Jangan terlalu naif, Maura!"

Maura terkejut dengan nada bicara Gavin. "M-maksudnya?"

Gavin terkekeh. "Hidup ini realistis, bukan buku Tuan Putri yang selalu bahagia. Kamu pikir setelah keluar SMA Harapan, masuk kuliah akan segampang itu?"

"SMA Harapan kan sekolah terbaik." Maura berkata sekenanya.

"Sepertinya kamu lupa Maura, SMA Harapan terkenal karena mayoritas muridnya berasal dari kalangan elit. Semuanya membutuhkan uang banyak. Kamu pikir Universitas di luar sana akan menawarkan kita bangku kuliah secara cuma-cuma? Naif sekali. Mana mungkin mereka melewatkan kesempatan mendapat pundi-pundi dari kalangan elit ini."

Maura tersenyum kecut. "Kamu benar, aku akui itu. Setelah mendengarnya dari kamu, aku makin yakin. Orang golongan atas seperti kalian tidak benar-benar peduli akan pendidikan sekolah."

Gavin menunggu Maura melanjutkan perkataannya.

"Bagi kalian mungkin masa depan hingga pekerjaan pun tidak usah risau. Asal punya uang, jadi lulusan dari Universitas terkenal pun semudah membalik telapak tangan. Itulah dunia gelap yang sering aku abaikan. Tapi, apa kamu tahu? Di dunia ini, selain kalian para kaum licik, masih ada setidaknya beberapa orang yang berpikiran jernih. Jujur untuk masa depan negara. Kamu pikir aku naif, tak apa. Itu adalah hal yang akan selalu aku percaya di dunia kejam ini."

"Apa kamu bahagia hidup tanpa uang?"

"Jujur untuk situasi saat ini memang sulit. Apalagi aku harus menghabiskan banyak waktu di sekolah. Meskipun uang sekolah sudah lunas, selalu ada biaya lain yang harus dikeluarkan. Jumlahnya pun seringkali sulit untuk diperkecil. Tapi selama aku bersyukur dan bersabar, menjalaninya dengan semangat dan ikhlas, semuanya menjadi mungkin. Aku dan keluarga bahagia hidup seadanya."

"Ya, andai orang lain juga mudah hidup seperti kamu." Gavin bisa merasakan adanya kemiripan antara Maura dengan dirinya dulu.

Maura tersenyum. "Orang kaya seperti kalian juga harus banyak bersyukur."

Gavin tersenyum kecil. "Tentu saja. Apa kamu lapar? Mau pesan sesuatu?"

"Apa kamu punya sesuatu yang bisa di masak? Lebih baik aku masak makanan saja daripada harus beli di luar."

"Cuma ada air minum di kulkas. Kamu mau masak air?"

"Ya gak gitu juga. Sepertinya aku baru beli mie instan tadi siang." Maura mengeluarkan tiga bungkus mie instan dari dalam tasnya. "Kita masak ini aja untuk sementara. Boleh pinjam dapurnya?"

"Silakan."

Maura pun segera menuju dapur di sana. Setelah mencari panci yang Gavin pun tidak tahu letaknya, ia mulai memasak mie dua bungkus. Tidak butuh waktu lama mie sudah matang dan Maura membaginya dalam dua mangkuk. Lalu meletakkannya di meja makan. Gavin pun ikut duduk. Bau yang tercium enak itu menggugah selera makannya. Seperti waktu memasaknya, makan pun tak butuh lama. Dua mangkuk itu sudah habis.

"Kebetulan aku tidak punya tukang masak."

"Hah?"

"Kamu mau kerja di sini?"

.

.

Safira sedang menunggu Gavin di kamar. Lelaki itu menemui Ayahnya dari satu jam yang lalu. Dia tidak pernah tahu apa yang sering mereka bicarakan. Setiap kali bertanya Gavin hanya menjawab 'obrolan mertua dan menantunya' dengan wajah jenaka. Apakah Ayahnya memarahi Gavin? Apakah Gavin akan menyerah padanya? Apakah pertunangan masih akan berlanjut? Safira gelisah. Pemandangan malam yang indah dari kacanya sama sekali tidak menarik saat ini. Tanpa sadar jamnya berbunyi. Dia harus tenang, kalau tidak mau serangan jantung.

Setelah menunggu sekian lama, lalu terdengar suara pintu yang di buka.

Safira langsung berdiri menerjang Gavin dalam pelukannya. "Kamu gak apa-apa?"

"Aku baik-baik aja. Kamu lihat sendiri."

Memang Gavin terlihat baik-baik saja. Tapi bukan itu yang ia maksud.

Gavin pun mengerti lalu menghela napas. "Aku punya kabar baik dan buruk. Mana yang mau kamu dengar dulu?"

"Kabar baik."

"Kenapa?"

Safira membenamkan wajahnya di dada Gavin. "Karena sudah mendengar kabar baik, setidaknya aku tidak akan terlalu menyesal mendengar kabar buruknya."

"Baiklah. Kabar baiknya adalah kamu akan di operasi enam bulan lagi."

"Oke. Kabar buruknya apa?"

"Tunggu dulu." Gavin melepaskan pelukan Safira lalu menatapnya. "Kamu gak senang?"

"Aku senang. Malah terlalu senang. Tapi bukankah masih ada kabar buruk?"

"Kamu ini memang beda, ya." Gavin tertawa kecil lalu melanjutkan. "Kemungkinan besar kita akan jarang bertemu akhir-akhir ini. Tapi aku pasti akan datang saat operasinya. Aku janji."

"Kenapa? Apa ini hukuman dari Ayah?" Safira tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.

"Bukan begitu. Om memintaku untuk mempersiapkan ujian sekolah dan pengalaman bisnis dengan serius. Setelah ujian, aku akan langsung terjun di perusahaan Om. Sepertinya Beliau sudah melihat kinerjaku di perusahaan Papa selama beberapa tahun ini. Kamu tahu kan perusahaan Papa sudah stabil dalam kurun waktu yang singkat."

"Bukankah itu bagus? Kenapa menyebutnya berita buruk?"

"Aku pasti akan lebih fokus belajar, jadi tidak punya waktu fleksibel seperti sekarang. Kamu yakin akan baik-baik saja?"

Safira kembali memeluk Gavin. "Aku pasti bakal kangen banget. Tapi kalau memang itu demi kebaikan kita, aku bisa apa."

Gavin mengusap rambut Safira. "Ya, aku juga pasti kangen. Aku usahakan datang sesekali."

Safira melepaskan pelukannya. "Mau minum teh?"

"Boleh."

Safira menelpon pelayannya untuk meminta diantarkan teh. Mereka duduk di sofa sambil melihat pemandangan. Tadinya Safira bersikeras ingin minum di halaman belakang, tapi Gavin berhasil membuatnya menyerah. Safira menyandarkan kepalanya di bahu Gavin, tangan kanannya memeluk melingkari tangan Gavin.

"Berapa lama ini akan bertahan?" Safira bertanya pelan.

"Ini apanya?"

"Perjuangan kita."

"Kamu jangan khawatir. Ini akan berakhir secepatnya."

Safira tidak melepaskan pelukannya bahkan saat pelayan meminta izin masuk dan meletakkan satu set perlengkapan minum teh. Dia baru melepaskan pelukan itu saat memberikan cangkir teh pada Gavin. Dirinya ikut menyeruput teh.

"Teh apa ini? Aku baru pertama kali mencobanya."

"Hojicha. Minggu lalu Ibu membawanya dari Jepang."

"Oh." Gavin mengangguk, lalu teringat akan sesuatu. "Jangan terlalu sering minum teh! Minum air putih lebih bagus."

Safira tertawa kecil. "Siap, tuan."

.

.

Satu minggu berlalu cepat dan Safira sudah mulai masuk sekolah. Kondisi tubuhnya sangat prima hari ini. Tapi lain dengan jantungnya. Dirinya sangat gugup. Secara teknis ini adalah hari pertamanya bertemu murid-murid yang disebut 'teman sekelas'. Banyak hal yang ia khawatirkan. Apalagi ketakutan dikucilkan semua orang menghantuinya semalaman.

"Safira!"

Tuhan masih memberinya kemurahan. Buktinya ia tidak langsung serangan jantung saat Lisa tiba-tiba merangkul pundaknya dan berteriak dengan riang.

"Mau ke kelas bareng?"

Tanpa sadar Safira merespon dengan cepat. Dia mengangguk antusias.

"Ayo!" Lisa menarik tangannya masuk ke dalam kelas 1-A.

Seperti sekolah pada umumnya, meskipun kelas ini berisikan murid pintar, tetap saja hidupnya berkelompok sesuai kenyamanan masing-masing. Suasana kelas yang tadinya cukup bising karena beberapa siswa-siswi berbicara dengan nada keras, mendadak hening kala Safira dan Lisa masuk. Mereka menatap sosok yang sebenarnya menjadi perbicangan hangat tapi tak pernah terlihat wujudnya. Wajar saja jika kini mereka semua penasaran. Seperti apa rupa 'perempuan pemilik Gavin'? Juga bagaimana sosok anak Kepala Yayasan sebenarnya?

Lisa membawa Safira ke kursi kosong di tengah kelas. Seakan sengaja membuatnya jadi pusat perhatian.

"Teman-teman ini Safira. Dia sudah sembuh sejak sakit minggu lalu. Mulai hari ini dia akan belajar bersama kita." Lisa membantu memperkenalkannya. Semakin memudahkan pekerjaan Safira yang sebenarnya tidak berniat maju ke depan kelas.

Beberapa orang antusias berkenalan dengannya dan sisanya tidak berniat mendekatinya sedikit pun. Mereka hanya mengeluarkan bisikan cukup keras seperti 'tampang biasa gitu ko bisa dapet Gavin' dan 'palingan cuma modal status keluarga doang'. Tapi Safira tak ambil pusing karna yang mendekatinya sudah lebih dari cukup untuk menemani kehidupan sekolahnya.

Setelah selesai mengerumuni Safira, kondisi kembali seperti semula. Kembali bersama kelompok masing-masing. Safira tidak sedih, Lisa ada di kursi di depannya.

"Safira kenalin, yang duduk di sebelah kanan kamu Ester. Dan sebelah kiri Frisca." Lisa menunjuk dua orang yang kini tersenyum itu.

Perkenalan mereka berlangsung singkat karna bel tanda jam pertama dimulai. Safira awalnya ragu akan kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah, tapi ternyata tidak jauh berbeda dengan homeschooling dulu. Bahkan ia mampu menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan guru.

Waktu bergerak cepat hingga tak terasa sudah tiga pelajaran berlalu dan waktunya istirahat. Lisa langsung mengajaknya ke kantin bersama Ester dan Frisca.

Saat di kantin, Safira membayarkan makanan milik ketiga teman barunya. Mereka pun memilih duduk di tempat yang nyaman dan menghindari tatapan mayoritas murid di sana. Tatapan haus akan rasa penasaran pada sosok Safira.

"Jangan ambil hati, nanti juga mereka bosen." Frisca berbicara menenangkan Safira.

"Iya, mereka cuma penasaran aja. Setelah melihat Safira sekarang, mana ada cewek yang berani deket kak Gavin. Makin ciut nyali mereka." Ester ikut berbicara.

Safira hanya mengangguk dan tersenyum. Ia tahu mereka sengaja mencari muka. Toh, yang dikatakan mereka tidak ada salahnya.

"Kalian salah. Justru kak Gavin yang takut kehilangan Safira, iya gak?" Lisa memberikan senyum penuh arti.

"Masa sih? Aku pikir kak Gavin orangnya cuek." Tanya Frisca ingin tahu.

"Aku juga mikirnya gitu. Reza sering cerita soal kak Gavin yang bucin, tapi aku gak percaya. Pas lihat langsung kebucinannya, dijamin bakal iri." Lisa menjawab penuh antusias.

Mata Ester berbinar. "Wah, aku jadi penasaran."

"Aku juga." Frisca ikut menimpali.

Safira tersenyum. "Aku sudah selesai makan. Kalian sudah beres?"

"Udah. Yuk balik ke kelas!" Ajak Lisa.

Mereka berempat pun beranjak dari kursi. Mereka berjalan beriringan melewati murid lain yang belum bosan melirik sejak awal. Di luar mereka melihat Gavin dan sahabat-sahabatnya yang sedang berjalan ke arah kantin. Sepertinya Gavin dan yang lain belum menyadari kehadiran Safira karna mereka sibuk tertawa bersama.

"Re—" Safira menahan tangan Lisa yang hendak menghampiri pacarnya.

"Kenapa?" Tanya Lisa bingung.

"Siapa dia?" Safira menunjuk gadis di samping Gavin.

"Oh, kak Maura. Bukannya kamu kenal?"

Safira menggeleng.

Lisa heran. "Padahal kak Maura udah beberapa hari gabung sama mereka. Aku pikir kak Gavin sering cerita sama kamu."

"Mungkin aku lupa. Ayo ke kelas!"

Lisa tadinya ingin menghampiri Reza tapi melihat tatapan Safira yang berubah tajam ia pun mengurungkan niatnya. Mereka berempat pun pergi dari sana.

Sementara Safira terus merekam sosok Maura dalam kepalanya. Dia tidak tahu kalau Gavin bisa sampai sedekat itu dengan perempuan lain. Dia pikir akan selamanya begitu, ternyata selalu ada pengecualian dalam setiap tindakan. Hatinya sakit, tapi sebisa mungkin ia tahan.

.

.

TBC

1
hayalan indah🍂
bagus
Dochi19_new: makasih kak, pantengin terus ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!