Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siluet Dua Dunia
"Apa itu?" Shaka bergumam, berusaha mengatur napasnya yang mulai tak teratur.
Kembali ia mengintip, tetapi bayangan itu telah menghilang. Perasaan aneh menyelimuti dirinya, dan saat itu, sebuah tangan tiba-tiba memegang bahunya, membuatnya terdiam kaku, seolah waktu terhenti sejenak. Detak jantungnya semakin cepat, napasnya tak beraturan, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Dokter Shaka, kenapa ada di sini?" tanya Bilqis, suaranya mengejutkan Shaka dan membuatnya menoleh. Lega rasanya saat ia menyadari bahwa tangan yang menepuk bahunya itu adalah Bilqis.
"Aku hanya melihat-lihat saja," jawabnya seadanya, berusaha menutupi rasa takut yang masih menyelinap di relung hati.
"Ayo, Dok. Jangan kelamaan di sini. Semalam-" Bilqis berhenti, menatap Shaka dengan intensitas yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tak ingin diungkapkan. Dengan lembut, ia menarik tangan Shaka, membawanya pergi dari bangsal kosong yang angker itu.
Hari berlalu dengan cepat, dan suasana hati Shaka pun mulai tenang. Saat senja menyapa, langit berwarna jingga keemasan, Shaka akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah Suci. Perjalanan pulang membawa rasa tenang, meskipun bayangan misterius dari bangsal kosong itu masih membayangi pikiran Shaka, seakan memanggilnya untuk kembali menjelajah.
Di tengah malam yang begitu sunyi, suara binatang malam terdengar seperti bisikan alam yang membelah kesepian. Dingin merayap, menebarkan hawa yang terasa janggal, seolah-olah menyambut para makhluk gaib yang bersembunyi di balik dinding-dinding rumah sakit. Kusuma berusaha menjaga ketenangannya, menepis bayangan-bayangan samar yang seakan menari di sudut matanya.
"Bilqis pasti sedang berbahagia, Vi! Kekasih hatinya sedang berada di Tanah Suci," ucap Kusuma, tersenyum sendiri saat melihat sahabatnya yang salah tingkah.
"Pantas saja dia bertukar shift denganku hari ini," keluh Agvia dengan nada menggoda.
"Aku juga ada di sini, Kusuma! Aku selalu ada untukmu, loh! Kamu harusnya bangga punya aku!" lanjutnya bercanda, membuat Kusuma terkekeh hingga hanya menjulurkan lidah sebagai balasan.
Namun, seiring malam kian larut, Kusuma merasakan sesuatu yang mengganggu. Dia menatap Agvia, berharap mendengar jawaban yang bisa menenangkan pikirannya.
"Kamu merasa ada yang aneh di rumah sakit ini, Vi?" tanyanya perlahan.
Agvia mengangguk pelan, pandangannya menerawang ke arah bangsal kosong. "Iya, aku masih penasaran dengan bangsal itu. Seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya, meski tak terlihat."
Kusuma terdiam, matanya menelusuri bayang-bayang yang tampak berkelebat masuk ke bangsal kosong. Sejak tadi, ada sosok-sosok yang datang dan pergi, wajah-wajah tak jelas yang terasa mengintai dari balik bayangan.
"Kenapa kita harus masuk malam-malam, padahal bangsal hanya diisi sedikit pasien," Agvia bergumam, menyesali keputusannya bertugas di rumah sakit desa.
"Sabar, Vi. Pukul sepuluh juga kita pulang," jawab Kusuma menenangkan.
Namun, suasana dingin tiba-tiba terasa makin menekan, seperti udara yang mengunci. Tubuh Agvia menggigil, dan dia menghentikan kata-katanya saat matanya tertuju pada sosok gadis berwajah lusuh yang berdiri di ambang pintu.
"Kusuma, kamu lihat itu?"
Kusuma menatap ke arah yang sama, hatinya mencelos saat menyadari bahwa gadis itu tampak tidak biasa. Wajahnya pucat dan penuh luka, seperti seseorang yang baru saja mengalami tragedi.
Agvia memberanikan diri mendekat. "Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya lembut.
"Saya mencari pemilik rumah sakit ini," jawab gadis itu dengan suara yang serak, hampir seperti bisikan angin malam.
Kusuma merasakan ada yang salah. "Vi, mundur!" bisiknya tegang.
"Ah, kamu ini. Kasihan, mungkin Mbaknya sakit," Agvia masih mencoba bercanda, tapi Kusuma tahu ada yang berbeda. Ia bisa merasakan kehadiran lain yang begitu dingin, seolah-olah gadis itu datang dari dunia yang tak terlihat.
Gadis itu menunjuk ke dalam bangsal, wajahnya yang penuh luka tampak semakin jelas dalam cahaya redup. "Dia ada di sana…" suaranya melayang-layang, membuat Agvia merinding.
Tanpa sadar, Agvia mundur dan berlari ke arah Kusuma, detak jantungnya kian berpacu. "Kusuma, kenapa kamu gak bilang!"
"Masuklah, dan ceritakan padaku siapa kamu? Mengapa kamu mencari Dokter Lista di sini?" Suara Kusuma terdengar bergetar di keheningan, sementara keingintahuannya menggelegak seperti gelombang yang menghantam tepi pantai.
"Sungguh kalian bisa melihatku? Aku hanya ingin disempurnakan. Dapatkah kalian menolongku?" bisik sosok itu, suaranya seolah dihembuskan angin yang mengusap dinding-dinding kosong.
"Aku.. aku tak bisa membantumu! Tapi apa urusan ini dengan Dokter Lista?" tanya Kusuma, suara penasaran yang tiba-tiba hilang bersama sosok tersebut, lenyap seperti asap yang dihembuskan angin malam.
"Huh, dasar hantu gak punya akhlak!" kelakar Agvia, menghela napas lega meski jengkel. "Dan kamu, kenapa nggak kasih tahu dari awal kalau itu demit!" sergahnya.
Kusuma hanya tersenyum simpul, sambil mengatur berkas-berkas di meja yang berantakan seperti puzzle yang menunggu disusun.
"Saya pulang dulu ya, Dik!" seru Mbak Leli, satu-satunya apoteker di rumah sakit itu.
"Oh, sudah waktunya pulang, ya, Mbak! Hati-hati di jalan," balas Agvia.
"Ayo, cepat kita pulang, Kusuma. Tempat ini bikin bulu kudukku berdiri."
Saat mereka beranjak keluar, Kusuma melihat sekilas sosok Dokter Lista di ujung bangsal kosong, siluetnya berdiri kaku di dalam bayangan. Tapi ia diam saja, tidak ingin menambah ketakutan Agvia.
**
"Vi, lebih baik kamu tidur," kata Shaka, menguap sambil merapikan selimut, matanya sudah setengah terpejam melihat Agvia masih sibuk dengan ponselnya.
"Iya, sebentar lagi, Dok," sahut Agvia, enggan beranjak.
Namun, bayangan hitam tiba-tiba melesat di depan wajahnya, membuat tubuhnya kaku. Seketika udara menjadi lebih dingin, kabut tipis menyusup, menghembuskan hawa yang menelusup hingga ke tulang. Ketakutannya kian terasa nyata.
"Dokter, sudah tidur?" panggilnya, suaranya bergetar saat melihat Shaka sudah tertidur lelap.
Tak ada sahutan. Agvia semakin cemas saat bayangan hitam itu muncul lagi, kali ini lebih dekat, berkelebat cepat seperti ranting pohon yang dicambuk angin. Sosok seorang wanita dengan tubuh hangus dan asap yang masih membumbung muncul tepat di hadapannya. Mata wanita itu tampak kosong, seakan menatap Agvia namun dari kedalaman dunia lain.
Tubuh Agvia membeku, suara tertahan, sementara sosok itu mendekat, memperlihatkan wajahnya yang mengerikan. Tiba-tiba, bola mata wanita itu terlepas dan menggelinding pelan ke arah kaki Agvia. Senyum miring dan tawa melengking keluar dari mulut wanita itu, menggema di sekitar ruangan.
"Kumohon, Dokter Shaka, bangunlah! Tolong aku!" ucap Agvia dalam hati, seperti sehelai daun yang terombang-ambing dalam badai, tubuhnya terkunci dalam kegelapan yang mencekam.
Perlahan, sosok itu mendekat, seperti kabut yang menyelimuti. Agvia merasa kesadarannya menipis, seakan-akan tubuhnya disusupi es dingin yang menelusup ke tulang. Bola mata Agvia berubah menjadi merah, bibirnya berbisik kata-kata tak jelas berulang-ulang. Kini, wanita itu telah mengambil alih tubuhnya, seolah Agvia hanya cangkang kosong yang digunakan untuk menebar rasa takut. Dengan tatapan kosong, Agvia mendekati ranjang Shaka, duduk perlahan di tepinya. Tangan dinginnya menyentuh wajah Shaka yang tertidur dengan damai.