Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Jalan Pulang yang Lain
Langit Kota Malang menjelang senja, masih dihiasi warna jingga keemasan yang bercampur dengan sisa-sisa mendung. Di depan rumah sakit, Alastar berdiri sambil melirik Kayana yang baru keluar dari pintu utama. Gadis itu sudah berganti pakaian, mengenakan jaket denim yang sedikit kebesaran dan celana hitam. Wajahnya masih pucat, tapi matanya menunjukkan tekad yang kuat.
“Kay,” panggil Alastar sambil mendekat. “Lo udah siap?”
Kayana mengangguk pelan. Tapi sebelum Alastar membantunya naik ke motor, ia berkata, “Tapi jangan ke rumah gue.”
Alastar tertegun. “Kenapa? Lo kan perlu istirahat di rumah.”
Kayana menggeleng cepat. “Gue nggak mau pulang. Lo bawa gue ke mana aja, asal jangan ke sana.”
Alastar menatapnya, mencoba membaca alasan di balik permintaan itu. “Kay, lo serius? Gue nggak ngerti, tapi...”
“Gue serius, Star. Tolong.” Suaranya bergetar, seperti memohon, membuat Alastar akhirnya mengangguk.
“Baiklah,” katanya sambil menghela napas. “Tapi gue nggak akan bawa lo keluyuran. Lo butuh tempat buat istirahat.”
****
Di atas motor Alastar, Kayana memeluk dirinya sendiri. Udara sore yang dingin menusuk kulit, tapi ia tetap bersikeras untuk tidak pulang. Alastar melaju pelan, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu ke mana harus membawa Kayana, tapi ia yakin gadis itu tidak akan bicara sampai ia merasa aman.
Akhirnya, tanpa berpikir panjang, Alastar membelokkan motornya ke arah perbukitan kecil di pinggir kota. Ia tahu ada tempat yang tenang di sana, jauh dari keramaian, di mana Kayana bisa menenangkan diri.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah taman kecil yang sepi. Tempat itu terletak di ketinggian, memberikan pemandangan luas Kota Malang di bawah mereka. Alastar memarkir motornya dan membantu Kayana turun.
“Di sini,” katanya. “Gue pikir lo butuh udara segar.”
Kayana hanya mengangguk, lalu berjalan pelan ke arah bangku kayu di tepi taman. Ia duduk, memandangi pemandangan di depannya tanpa berkata apa-apa.
****
Alastar duduk di sebelahnya, menjaga jarak agar Kayana tidak merasa tertekan. Tapi rasa ingin tahunya terus mendesak.
“Kay,” panggilnya pelan.
“Hm?” Kayana menoleh sedikit, tapi tidak sepenuhnya menatapnya.
“Kenapa lo nggak mau pulang? Ada apa di rumah lo?”
Pertanyaan itu membuat Kayana terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin keluar.
“Gue cuma... nggak mau pulang,” jawabnya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
“Kay, gue tahu ada sesuatu. Gue nggak akan maksa lo cerita kalau lo nggak siap, tapi... gue di sini buat dengerin, oke?”
Kayana menunduk, kedua tangannya saling meremas. Ia menatap lantai tanah di bawah kakinya sebelum akhirnya berbicara.
“Rumah gue... bukan tempat yang nyaman buat gue, Star. Gue nggak mau kembali ke sana dan berpura-pura semuanya baik-baik aja,” katanya lirih.
Alastar mendengar setiap kata itu dengan hati yang berat. Ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah Kayana, tapi ia bisa merasakan kesakitan yang tersembunyi di balik suara gadis itu.
“Kalau gitu, lo bisa tinggal sama gue sementara,” ujarnya tiba-tiba.
Kayana terkejut, menoleh dengan alis terangkat. “Apa?”
“Lo denger kan? Gue nggak bercanda. Kalau rumah lo nggak aman, lo bisa tinggal di tempat gue sampai lo siap balik,” ujar Alastar mantap.
Kayana tertawa kecil, meski matanya masih berkaca-kaca. “Lo gila, ya? Gue nggak mungkin ngerepotin lo kayak gitu.”
“Ngerepotin apanya? Gue udah sering direpotin sama lo dari dulu, jadi ini cuma nambah daftar panjang.”
***
Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke apartemen Alastar. Meski awalnya ragu, Kayana setuju karena ia tidak ingin kembali ke rumahnya. Di apartemen yang sederhana itu, Alastar memberikan kamar tamu untuk Kayana.
“Ini memang nggak mewah, tapi gue yakin lo bakal nyaman,” katanya sambil membuka pintu kamar.
Kayana masuk, melihat sekeliling. Ia tersenyum kecil. “Terima kasih, Star.”
“Gue nggak mau denger kata terima kasih. Gue cuma mau lo istirahat dan fokus buat sembuh,” ujar Alastar tegas.
Kayana mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang. Ia merasa lega, meski bagian dari dirinya masih merasa berat menerima kebaikan sebesar itu. Tapi ia tahu satu hal: kehadiran Alastar adalah penyelamat di tengah kekacauan hidupnya.
Sementara itu, Alastar berdiri di luar kamar, menatap pintu yang kini tertutup. Ia berjanji dalam hati untuk menjaga Kayana, apapun yang terjadi. Bagi Alastar, Kayana bukan sekadar teman, melainkan seseorang yang selalu ingin ia lindungi, bahkan jika itu berarti melawan dunia.