Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28•
#28
Dengan berat hati, Raka melepas pelukannya, walau sejujurnya ia masih ingin berlama-lama melepas rasa rindunya akibat seminggu tak bisa bertemu dengan kekasih hatinya.
“Bagaimana Mas bisa masuk kesini?” tanya Adhis kesal.
“Ya tentu saja lewat pintu, sayang,” gurau Raka, mencoba mencairkan suasana.
“Gak lucu, Mas,” cetus Adhis, hingga membuat Raka menghembuskan nafas perlahan. “Kenapa Mas bisa ada di rumah ini?”
“Ayah yang meminta Mas datang,” jawab Raka santai. “Katanya sih, makan malam bersama.”
Adhis menghembuskan nafas kesal, ia buru-buru berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian ganti, sedikit risih dengan keberadaan Raka. Padahal biasanya ia memanfaatkan momen tersebut untuk menggoda Raka, begitu pula sebaliknya, begitulah hingga mereka tetap harmonis dengan cinta yang selalu hangat.
Raka benar-benar harus bisa menahan dirinya walau sangat ingin, termasuk merelakan Adhis ke kamar mandi hanya untuk berpakaian dengan pantas, karena kondisi mereka yang masih perang dingin.
Bahkan usai ganti pakaian pun, Adhis masih bersikap dingin, ia menganggap tidak ada Raka di sekitarnya. Adhis santai mendudukkan dirinya di kursi meja rias, kemudian mulai mengoles lotion di permukaan kulit, serta menyapukan make up tipis di wajahnya.
“Apa ada alasan khusus kamu berdandan secantik itu?” tanya Raka dengan aura gelap melingkupi wajahnya.
Adhis menatap jengah, ia hanya memulas bedak tabur dan lip balm tipis, begitu saja Raka sudah cemberut tak suka. Padahal Raka sendiri berani mendua di belakangnya. “Setidaknya aku tidak mendua,” sindir Adhis.
Raka berdiri dari tempatnya duduk saat ini, ia berlutut dan memutar dan memutar tubuh Adhis hingga menghadap ke arahnya. “Harus berapa kali Mas mengatakan padamu, Mas melakukannya karena terpaksa, jika tidak mana mungkin Mas tega membohongimu?”
“Tapi yang kulihat kemarin tidak seperti sebuah keterpaksaan, tapi justru Mas sangat menikmatinya.” Adhis memalingkan wajahnya, entahlah kini ia seperti tak sudi bertatap muka. Lebih lama dengan sang suami.
“Karena kamu tak ada di rumah, jadi ketika ada seseorang mendekatiku, aku mengira itu dirimu.”
“Hah, rupanya sekarang Mas menyalahkan ketiadaanku, padahal aku yakin Mas sangat paham kenapa aku tidak ada di rumah selama beberapa hari kemarin.”
Rasanya Raka sungguh ingin menggaruk aspal jalanan, ia dalam posisi sulit, berbohong salah, jujur juga salah. “Baiklah, apa yang harus Mas lakukan agar kamu mau memaafkan Mas?”
“Ceraikan aku, dan Mas bebas berbuat apa saja dengan anak dan istri muda Mas, tanpa perlu takut kehadiranku mengganggu kemesraan kalian.”
Raka kembali menggeleng, tatapannya dingin dan gelap nyaris tak terbaca. “Tidak, sampai kapanpun itu tak akan pernah terjadi, bila mungkin Mas akan mengikatmu di sisi Mas, agar kita tak akan pernah berpisah.”
Pembicaraan tersebut harus tertunda, karena Tamu mulai berdatangan. “Tante … “ Riuh suara keponakan Adhis ketika melihat Adhis keluar kamar. Mereka adalah anak-anak Gala, dunia Adhis sungguh berwarna karena kehadiran ketiga bocah tersebut.
Sementara Adhis Di kerubungi para keponakannya, Raka segera menyapa sahabat baiknya tersebut. “Lama tak jumpa pak Dokter,” sapa Gala.
“Kamu saja yang terlalu sibuk,” balas Raka. “Oh iya, mana istrimu?”
“Biasa, Ada kelas malam yang harus ia isi, nanti sepulang dari sini baru ku jemput ke kampus.” Istri Gala adalah seorang dosen di salah satu Universitas bergengsi di Yogyakarta.
Tak berselang lama tamu berikutnya datang, tamu kali ini sukses membuat wajah Raka merah padam karena cemburu. Kemarin ia melihat pria itu membawa pergi istrinya, dan malam ini Dean datang seakan-akan tidak bersalah.
Kedatangan Dean berbarengan dengan kedatangan Darren beserta istrinya. “Waaahhh, yang ditunggu sudah datang, mari silahkan masuk,” sambut Bunda Sherin.
Tanpa ada yang menyadari dua pasang mata tersebut saling menatap tajam, aura kecemburuan menguar seperti racun yang siap menyebar, merusak sel-sel syaraf kewarasan.
Dean tahu, yang dia lakukan kemarin sudah salah, yakni membawa lari istri orang dari suaminya. Tapi membiarkan Adhis terluka seorang diri, ia juga tak tega.
Walau berusaha tidak melibatkan hati dan perasaan, tapi beberapa hari membersamai Adhis, membuat perasaannya kembali kacau tak karuan. ia mulai merasa hampir gi^la, karena mendambakan istri orang.
Andai saja tak ingat ada persahabatan tulus antara kedua orangtua mereka, mungkin dirinya akan terang-terangan merebut Adhis dari suami yang tega menduakannya.
Ketiga orang tamu yang baru saja datang tersebut, bersalaman dan mulai menyapa semua yang ada di ruang tamu. “Adhis … apa kabar?” sapa Darren.
“Baik, kak, berdua saja nih? Jagoan gantengnya mana?” tanya Adhis basa-basi.
“Tidak, kami datang bertiga, loh,” jawab Darren setengah berbisik, namun masih terdengar di telinga Aya.
“Oh, bertiga … eh … iya, bertiga.” Gak menyangka Darren akan menggodanya, membuat wajah Adhis sedikit merona. Sementara Dean yang sudah paham tabiat jahil saudara sepupunya tersebut, hanya bisa diam, daripada ditanggapi yang justru akan berakibat fatal.
“Ckckckck … Abaikan dia, Dhis, kadang-kadang nada bicaranya kurang di filter,” cetus Aya. “Ryu sedang tak ingin beranjak dari rumah, terlalu sibuk dengan anak-anaknya Daniel. Entah apa yang mereka kerjakan.”
Aya membawa buah tangan berupa masakan dengan logo Catering yang sangat mereka kenali, “waahh … masakan Bunda Hilda memang tak pernah salah,” cetus bunda Sherin.
“Betul, tante, di restoran kami pun, menu ayam rica-rica masih jadi best seller, walaupun menu lain pun tak kalah laris.”
“Mommy suka tuh, apalagi dendeng parunya, bumbunya pas sekali,” timpal mommy Bella yang kini sedang membantu bunda Sherin menuang hidangan ke piring saji.
Sementara para wanita bergosip di ruang makan, para pria masih duduk dan berbincang di pendopo. Pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari urusan pekerjaan.
Hingga waktu makan malam pun tiba, Raka kembali di buat kesal karena posisi duduk Adhis yang berhadapan langsung dengan Dean. Padahal Adhis sendiri justru sibuk bercakap-cakap dengan Aya tentang banyak hal.
Tapi, bukan hanya itu masalahnya, beberapa kali Raka melihat bahwa Dean mencuri pandang ke arah Adhis. Ia tak dapat menahan rasa cemburunya jika melihat pria lain menatap bahkan mengagumi istri cantiknya. Terutama sekali Dean yang notabene mantan tunangan Adhis.
Jika menyangkut soal Dean, Raka sungguh tak akan pernah rela, mengingat bagaimana dulu Adhis berjuang dengan keras untuk melupakan Dean. Bahkan Raka pernah secara tak sengaja menemukan buku diary Adhis di gudang, sebelum akhirnya barang-barang lama tersebut dimusnahkan.
Ada lebih dari 5 buku, dan semua tentang curahan hati Adhis tentang Dean. Perasaan bahagianya, pertemuan pertama mereka, bagaimana Dean ketika berusaha meraih hatinya, kencan pertamanya, dan entah apa lagi, karena Raka tak lagi sanggup membaca kelanjutannya.
Karena kisah kasih mereka hanya seumur jagung, maka buku-buku selanjutnya, murni berisi tangisan Adhis, serta bagaimana perjuangannya melupakan Dean.
•••
Diary Adhis.
Hari ini, rumah kami kedatangan tamu, Bunda bilang tamu dari jakarta.
Mereka adalah kawan baik Ayah beserta orang tuanya.
Samar-samar aku ingat pernah bertemu mereka ketika kami kebetulan berkunjung ke Jakarta.
Yang aku ingat dengan jelas, hanya Mommy Bella dan Om Dad, karena mereka berdua pernah mengatakan bahwa aku sudah seperti putri mereka sendiri.
Setelah semua tamu pulang, baru ku ketahui jika mereka datang karena ingin menjodohkan aku dengan anak Om Dad dan Mom Bella.
Dih, aku marah lah, sekolah aja belum bener, seenaknya aja sudah dicarikan jodoh.
Lulus SD saja belum, tapi sudah punya calon suami.
Sungguh fakta yang berhasil membuatku merinding.
•••
Halaman berikutnya.
Aku sedang mengerjakan PR ketika Ayah menyodorkan sebuah amplop ke arahku.
Ayah hanya bilang, ini kiriman untukku.
Ku lihat, dari stempel pos, amplop ini dikirim dari Jakarta.
Rasa penasaran membuatku bergegas membuka amplop tersebut.
Jantungku berdetak dengan cepat, harus kuakui, dia sangat tampan.
Bukan hanya 1 lembar foto, tapi ada lebih dari 10 lembar, foto ketika dia kanak-kanak hingga saat ini di usianya yang sudah 16 tahun.
Tapi sekali lagi aku katakan pada diriku sendiri, aku belum menginginkannya.
Jika sekedar berkenalan dan berteman, tak ada masalah, tapi bertunangan???
Aku merasa seperti wanita tua, padahal usiaku baru 11 tahun.
•••
Halaman Berikutnya
Aku sungguh kesal, karena semakin lama kurasakan mereka semakin memaksaku untuk menyetujui pertunangan tersebut.
Bahkan Ayah terkesan memohon padaku, karena ia merasa punya hutang budi pada Opa Alex yang sudah membiayai pendidikan, hingga memberinya pekerjaan yang sangat layak di masa lalu.
Ayahku bukan tipe orang yang akan mengemis belas kasihan.
Tapi, hari ini kulihat kedua matanya menatapku dengan penuh harap.
Sungguh aku tak punya pilihan.
Maka, dengan berat hati, aku pun menerima.
Dengan syarat, Kak Dean tak boleh tahu, bahwa aku adalah gadis yang dijodohkan dengannya.
Aku hanya ingin mengenal, seperti apa laki-laki itu.
Hai, Dean Alexander Geraldy, kita akan segera bertemu.
•••
Usai makan malam, semua orang berpindah tempat ke pendopo, duduk santai sambil menikmati hidangan penutup.
Semua orang tertawa lepas dan bahagia, bahkan anak-anak Gala pun terlihat akrab dengan dengan para tamu. Satu-satunya yang merasa tidak nyaman, hanyalah Raka. Pria itu bahkan semakin kesal ketika melihat Dean beberapa kali mengajak Adhis bicara.
Dan sialnya lagi, Adhis yang beberapa hari terakhir ini nyaris tak pernah tersenyum kepadanya, kini bisa tertawa lepas bersama mantan kekasihnya.
“Apa harus sejelas itu?” tanya Raka, ketika berhasil membawa Adhis menyingkir.
“Apa maksudmu?”
“Kalian berdua, kamu dan mantan kekasihmu!” Pekik Raka, yang tak bisa lagi menahan rasa cemburunya.
“Semua orang melihat, Mas, bahkan semua orang bisa mendengar, apa yang kami bicarakan. Apa itu masih belum cukup, hingga kamu salah paham?”
“Aku? Salah paham?” tanya Raka, wajahnya merah padam dengan otot-otot yang mulai menyembul ke permukaan.
“Di belakangku kamu bertemu dengannya! Dia bahkan menunggumu di depan rumah kita, aku curiga, Jangan-jangan kalian memang sudah merencanakan lari bersama.”
“CUKUP, MAS!! Adhis sudah tak tahan dengan semua tudingan Raka. “Aku tak menyangka kamu sepicik ini.”
“Picik? Aku hanya seorang suami yang pencemburu, melihatmu pergi bersama Dean, bagaimana mungkin aku tidak cemburu??!!”
“Lucu sekali, Mas yang berulah, Mas yang tidur bersama wanita murahan itu di kamar kita, tapi Mas melempar tuduhan seakan-akan aku adalah tersangka utama.”
“Adhiiis …!!” Raka memekik, dengan tangan terangkat.
Adhis reflek menundukkan kepala, sementara kedua tangannya bersiap melindungi wajahnya. Pernah satu kali menerima tamparan dari ibu mertuanya, membuat Adhis trauma akan tamparan berikutnya yang mungkin datang kembali.