Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Mau kamu ajak kemana anak saya?" Tukas Davin langsung ambil alih tangan Adel dari tangan Rumi. Jika Davin kesal, lain halnya dengan Derman, pria itu justru mentertawakan Rumi.
"Bapak kok marah-marah, sebaiknya tanya dulu sama Adel, Pak" Arumi terpaksa menjawab, heran dengan kelakuan bos yang mengedepankan emosi tanpa diselidiki lebih dulu.
Davin tidak menjawab karena Adel ngambek memukul-mukul pelan tangannya. Mata Adel mengembun karena sang papa galak pada Ate.
Sementara Rumi berpaling ke arah Derman "Bang Derman juga, kenapa tertawa begitu?" Rumi merasa Derman menari di atas penderitaannya.
"Wajah kamu kenapa Rumi? Hahaha" Derman tertawa lebih kencang.
Rumi kaget seketika ingat alisnya yang dicoret-coret Adel. Pantas saja bu Siska cengar cengir. Tanpa menjawab ia meninggalkan mereka hendak ke toilet.
"Atee... Adel ikut... hu huhuhu..." Adel menangis melepas tangan Davin kemudian mengejar Rumi merangkul dari belakang seperti Ibunya.
Davin dengan Derman hanya memandangi Rumi yang tengah berjongkok berbicara dengan Adel, entah apa yang ia katakan. Karena tidak lama kemudian Adel kembali kepada Davin.
"Papa jangan malahi Ate, Adel mau ikut Ate" Adel manyun, mata basah itu lalu dikeringkan dengan telunjuk Davin.
"Okay... Adel makan dulu ya" Davin hendak menuntun Adel.
"Adel mau makan tapi sama Ate" Adel rupanya keras kepala, Davin pun menggendong Adel ke ruangan.
Sementara Rumi di toilet syok memandangi wajahnya di depan kaca nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. "Ya Allah... Adel..." Rumi geleng-geleng ketika tampilan alisnya menyeramkan seperti Mak Lampir.
"Rumi..." panggil seorang wanita. Arumi yang hendak membasuh wajahnya urung ketika mendengar suara yang dia kenal masuk.
"Gue cari loe sampai ngubek-ubek lantai tiga ternyata disini" tutur Anjani. "Ha? Wajah loe kenapa?" Lanjut Anjani terdengar seperti kaleng rombeng di telinga Rumi.
"Ceritanya panjang" Rumi segera membasuh wajahnya. "Pensil alis kamu kok nggak bisa hilang sih?" Rumi yang tidak pernah dandan itu kebingungan karena tidak membawa sabun wajah.
"Lagian loe sok-sok-an dandan" Anjani tertawa sembari mengeluarkan pembersih, memberikan kepada sahabatnya itu. Setelah bersih, mereka lanjut ke kantin, Rumi menceritakan bahwa alisnya dicoret-coret Adel.
"Masa sih... kok bisa loe seakrab itu" Anjani kaget, dia yang bekerja selama satu tahun tidak pernah didekati Adel.
"Nggak tahu juga aku, seharian ini anak bos itu nguber-nguber terus" Rumi juga bingung, sebenarnya bukan hanya Adel ingin bermain dengannya tetapi Rumi sendiri ingin selalu dekat.
"Nguber-nguber itu apa sih?" Anjani kadang bingung karena seringkali Rumi mencampur bahasa jawa dengan bahasa Indonesia.
"Ngejar-ngejar"
"Oh... Sekarang loe dikejar-kejar Adel, lama-lama sama Bapaknya. Hahaha..." Anjani tertawa mangap, seketika kena toyoran tangan Rumi. Rumi pikir sahabatnya itu ngaco.
Tidak terasa mereka tiba di kantin kemudian memesan makan siang.
"Memang Ibunya Adel kemana An?" Arumi mulai serius.
"Kagak tahu gue, kan, kan loe mulai keppo" Anjani menunjuk wajah Rumi. "Kenapa memang, loe takut dijadikan isteri kedua? Hahaha... lagi-lagi Anjani ngablak.
"Dari tadi kamu melantur terus" Rumi berdecak kesal. Padahal yang ia maksud mengapa Adel seperti kurang kasih sayang dan perhatian.
"Nggak tahu juga gue Rum. Dahlah, kita makan dulu, loe kelihatan lapar tuh" Anjani menyeruput air putih.
"Aku bukan lapar An, tapi capek banget" Arumi menenggelamkan wajahnya di atas meja berbantalkan tangan.
"Nah, nah! Apa gue bilang? Loe itu nggak cocok bekerja seperti ini Rumi" Anjani kasihan dengan temannya yang tidak biasa bekerja kasar.
Flashback On.
"An, di kantor ada lowongan pekerjaan nggak?" Arumi ingin bekerja. Di kampus sudah tidak ada kuliah, hampir setiap hari bengong di dalam kos, sementara Anjani bekerja.
"Sementara ini belum ada Rum, nanti kalau ada gue kabarin. Ada juga lowongan pesuruh, nggak cocok untuk loe"
Anjani yakin bahwa Rumi yang berasal dari Semarang itu bukan orang biasa. Walaupun selama ini Arumi tidak pernah cerita tentang keluarganya, tetapi Anjani bisa menilai bahwa Arumi anak orang berada. Jika Arumi tinggal di kost itu karena kuliah di universitas negeri .
Tidak seperti Anjani yang hanya lulusan SMK dan bekerja di bagian produksi. Sedangkan Arumi setiap bulan mendapat kiriman uang dari orang tua. Anjani tentu tidak yakin jika Rumi mampu bekerja seperti itu.
"Nggak apa-apa An, aku mau bekerja apapun" tekat Arumi sudah bulat.
"Baiklah kalau begitu, kamu segera buat lamaran, tapi kalau terlalu lelah jangan salahkan aku" Anjani memperingatkan.
"Mudah-mudahan aku bisa An, itung-itung belajar dulu" Arumi antusias, walaupun pekerjaan tersebut tidak sesuai bidangnya, tentu ada pengalaman yang bisa dia ambil dari sana.
Flashback Off.
"Rum, kalau loe memang nggak kuat, sebaiknya berhenti saja terus cari pekerjaan yang pas untuk loe" Anjani kasihan dengan Rumi, walaupun pekerjaan dirinya juga berat tetapi Anjani memang biasa hidup susah.
"Ayo makan dulu nanti kita pikirkan lagi" Anjani mengangkat dahi Arumi begitu makanan sudah tersaji. Selesai makan, mereka melanjutkan bekerja hingga sore hari.
Hingga tiba saatnya pulang, Arumi menunggu Anjani di parkiran motor. Sudah biasa mereka pulang bersama berboncengan motor milik Arumi kecuali Anjani sedang lembur.
"Itu kan bos jutek itu? Lalu mana Adel?" Arumi memandangi Davin yang bersandar di mobil tengah mantengin handphone, tetapi tidak ada Adel.
Hingga beberapa menit kemudian, Adel muncul dengan seorang wanita dari arah berbeda entah darimana. Tangan kanan wanita itu membawa paper bag, sementara tangan kiri menuntun Adel. "Mungkin itu Mamanya Adel" Rumi membatin. Entah apa kesibukan mama Adel hingga tidak memperhatikan buah hatinya yang seharusnya mendapat perhatian khusus.
Plak!
"Hai... lihat apa loe" Anjani ternyata sudah tiba menepuk pundak Rumi, lalu menatap ke arah mana mata Arumi memandang.
"Hihihi... jadi loe memandangi Pak Davin?" Anjani tertawa ketika melihat Davin masuk mobil setelah dibukakan pintu oleh Derman.
"Dih, ngacok" Arumi mendengus lalu memasang helm sebelum naik ke atas motor, ia ingin segera pulang dan merasakan empuknya kasur.
"Sini kunci motornya biar gue yang bawa" Anjani kasihan melihat Rumi lelah. Arumi menyerahkan kunci dengan senang hati. Jika biasanya Rumi yang membawa motor, kali ini dia membonceng.
Hanya numpang tidur saja mereka di dalam kos, keesokan harinya sudah berangkat kerja lagi setelah sarapan nasi uduk yang mereka beli diluar pagar kos wanita.
"Loe yakin mau lanjut kerja" Anjani meyakinkan sebelum berangkat.
"Sudah rapi begini kok baru tanya, terlambat kamu" Arumi merasa aneh dengan sahabatnya itu, sudah mau naik motor baru bertanya. Tentu saja Arumi tidak menyerah apa lagi setiap kali ingat Adel semangatnya memuncak
"Ate... ini undangan buat Ate. Ate halus datang" Adel rupanya sudah berada di ruangan, padahal Arumi berangkat lebih awal. Ingin bersih-bersih sebelum bos galak itu datang.
"Terimakasih..." Arumi menerima kertas undangan berwarna pink gambar boneka lucu, bertuliskan Adeline Zivana.
"IsyaAllah... besok Tante datang, Adel kok pagi-pagi sekali sudah di sini?"
"Adel mau cepat-cepat ketemu Ate" polos Adel. Arumi tersenyum lebar.
"Daripada kamu selalu datang kesiangan" pria dingin di depan komputer yang menjawab ketus.
Senyum Arumi mendadak hilang, melempar tatapan tajam ke arah Davin yang memang sibuk atau pura-pura sibuk di depan komputer. Enak saja dibilang datang kesiangan padahal aturan masuk jam delapan seperti karyawan lain, sementara saat ini masih jam tujuh.
...~Bersambung~...