The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19.) Mencari Jawaban
Chapter 19: Mencari Jawaban
Bukan tanpa alasan aku langsung memercayai semua yang diucapkan Ramona kepadaku. Dari gestur tubuhnya saat bercerita, aku bisa menangkap semua kejujuran yang berusaha disampaikannya. Dan Mas Satya serta Alreno tidak akan mungkin memberikan atensinya kepada wanita ini, jika ia hanya membual kebohongan saja.
Aku menatap tertarik perut buncit Ramona yang kini tengah diolesi gel karena akan dilakukan tindak pemeriksaan menggunakan alat USG.
“Apa bisa melihat jenis kelaminnya, dok?” tanyaku penasaran.
“Bisa, Bu.” jawab dokter tersebut seraya menggerakkan alat ditangannya pada perut Ramona.
“Nah, ini sudah kelihatan. Selamat, Bu. Anaknya cowok. Sehat dan sangat aktif sekali.”
Aku mendekat untuk melihat jelas gambar hitam putih yang tampak di layar.
“Wow. Bayi Alreno besar sekali.” ujarku takjub.
Aku beralih menatap Ramona yang tampak terharu melihat bayinya tumbuh sehat tanpa kurang suatu apapun.
“Amankah jika dilahirkan secara normal?” tanyaku khawatir dengan tubuh Ramona yang cukup mungil dan berusia cukup muda.
Ramona yang mendengar pertanyaanku juga ikut menatap dokter khawatir.
“Tenang saja, Bu. Mendekati HPL nanti mohon agar lebih peka, jika ada tanda-tanda kelahiran segera dibawa ke rumah sakit untuk berjaga-jaga apabila ingin lahiran secara normal.”
Serentak kami menghembuskan napas lega mendengar jawaban dokter tersebut. Setelah mendapat persetujuan dokter untuk pulang ke rumah, aku segera memerintahkan Sanca untuk mengurus segala administrasinya.
“Ijinkan saya tinggal di rumah ini dulu, Mbak. Setidaknya sampai anak saya lahir. Nanti setelah melahirkan, saya akan pergi dari sini.” ujar Ramona.
Aku menggeleng. “Kepemilikan rumah ini sudah atas namamu, Ramona. Kalau kamu masih tetap ingin tinggal di sini tidak ada yang melarang. Tapi kurasa keponakanku tidak layak untuk tinggal di tempat yang belum sepenuhnya terbangun ini.”
Ramona menatapku tak paham.
“Aku tidak tahu kenapa alreno menolak anaknya saat itu? Tapi aku tahu dia bukan orang yang kejam, Ramona.”
Ramona menunduk terdiam. Tak lama ia mendongak menatapku, dan mengulas senyumnya yang tampak manis.
“Mbak Kalila, terima kasih sudah menyelamatkan saya. Masalah Pak Satya itu sebenarnya kesalahan saya dengan Alreno. Bayi yang ada di kandungan saya ini adalah anak saya dengan Alreno, bukan Pak Satya. Mbak Kalila lanjutkan kebahagiaan saja dengan menikahi Pak Satya. Selamat ya, Mbak.”
“Tidak apa Ramona. Saya paham perasaan kamu. Terima kasih sudah mengklarifikasi semuanya. Saya pastikan Lareno akan bertanggung jawab kepadamu.”
Aku bertukar kontak dengan Ramona, memintanya untuk tak segan menghubungiku bila ia membutuhkan bantuan. Juga memintanya menyimpan kontak Sanca apabila nantinya aku sulit dihubungi karena ada kesibukan.
Setelah memastikan keamanan rumah Ramona yang tinggal seorang diri dalam keadaan hamil besar, aku pun berpamitan pulang.
Kulirik layar ponselku yang menampilkan pop up pesan dari Mas Satya.
Mas Satya 💍
Sayang, Mas tadi mampir ke YMB, kata anak-anak kamu ga masuk hari ini.
Kalila MA
Iya, Mas. Aku ada urusan mendesak, jadi ga ke YMB hari ini
Mas Satya 💍
Ke rumah Tante Kirana lagi?
Kalila MA
Tadi pagi…
Kalila MA
Mas sekarang dimana? Rumah dinas?
Mas Satya 💍
Bawera Palace. Kesini, Yang.
“Sanca, ke Bawera Palace.” perintahku.
Sepertinya, hari ini aku harus menyelesaikan semua ganjalan yang timbul akibat gosip perselingkuhan Mas Satya dengan orangnya dahulu. Sebelum besok meminta sang pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Mas Satya langsung memelukku setelah membuka pintu penthousenya lebar-lebar. Ia menghela tubuhku masuk menuju ruang tengah, masih dalam pelukannya yang erat.
“Berapa lama kita tidak bertemu? Kenapa Mas merasa kangen banget sama kamu?” ujarnya seraya menghirup rambutku.
“Kamu main terus ke kediaman Tante Kirana. Mas kan jadi susah kalau mau ketemu kamu.” rajuknya.
Aku mencebik mendengar rajukan Mas Satya yang mempermasalahkan kunjunganku ke rumah Ibu Kirana selama ini.
“Bukannya Mas yang sibuk selingkuh sampai susah ditemui?” sindirku pura-pura tidak mengetahui kebenarannya. Aku ingin mengetahui seberapa jujur Mas Satya pada calon istrinya ini.
Mas Satya melepas pelukannya. Tangannya beralih memegang kedua lenganku, mendorongnya menjauh untuk menatap wajahku dengan intens.
Kularikan mataku menghindari menatapnya secara langsung. Kukatupkan bibir kuat-kuat. Berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.
“What happen, Yang? Apa yang kamu dengar di luar sana?” tanya Mas Satya khawatir. Jarinya mengusap lembut air mataku yang menetes satu per satu.
Kutepis tangannya kasar. “Bahkan selingkuhanmu itu kini sedang mengandung anakmu. Kita batalkan saja rencana pernikahan ini.”
“Tidak ada yang harus dibatalkan, Sayang. Kamu duduk dulu. Tenangkan dirimu dan tanyakan apapun yang ingin kamu ketahui. Mas akan menjawab jujur semuanya, serta buktinya jika ada.” ujar Mas Satya masih dengan nada bicaranya yang halus dan menenangkan.
Dihelanya tubuhku untuk duduk dengan nyaman di sofa, lantas beranjak menuju pantry yang terlihat jelas dari ruang tengah ini.
Aku mengawasi setiap pergerakannya yang tengah menyeduh teh dengan serius. Ia pasti sudah sangat mengenal diriku hingga tahu jika aku hanya mau minum white tea dengan teknik seduhan khusus ketika sedang kalut.
“Terima kasih.” gumamku menerima cangkir teh yang terasa hangat permukaannya.
Kunikmati teh ini dengan tenang. Mengabaikan Mas Satya yang menatapku menyelidik.
“Ramona Elenora.” ujarku sambil lalu, masih menyesap secangkir teh ini dengan nikmatnya. “Siapa dia?”
Mas Satya menatapku tajam. “Hanya seorang wanita hamil yang malang.”
Aku balik menatapnya tajam. Menuntutnya untuk mengungkap yang sebenarnya.
“Sayangnya dia harus bersinggungan takdir dengan Mas dan Alreno.” lanjutnya.
Kuangkat satu alisku, bertanya.
“Dulu Alreno pernah menyombongkan ketahanannya pada Mas. Jadi saat ada kesempatan, Mas iseng menguji ketahanannya dengan memberikan minuman yang mengandung afrodisiak. Tapi ternyata ia hanya membual saja tentang ketahanannya itu. Mas tidak sempat mengamankan Alreno saat itu. Dan terjadilah kecelakaan itu yang melibatkan seorang gadis polos di dalamnya.”
Dengan kesadaran penuh kuayunkan telapak tanganku menampar keras pipi Mas Satya.
“Konyol.” hardikku. “Tindak kekanakan yang Mas lakukan itu sudah merusak masa depan orang lain.”
“Mas tahu kalau Mas sudah melakukan kesalahan besar, Yang. Karena itu Mas meminta ajudan Mas untuk mengikuti Ramona selama beberapa bulan.” kata Mas Satya membela diri.
“Ramona akhirnya mengandung. Mas dapat pastikan jika bayi itu memang milik Alreno. Sayangnya Alreno tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri.”
“Dan Mas berinisiatif untuk mengambil tanggung jawab atas bayi tersebut dari Ramona. Walau bagaimanapun, semua ini terjadi karena kecerobohan Mas.”
“Bagaimana caranya? Mas akan menikahi Ramona?”
Mas Satya menggeleng. “Dalam hidup ini, Mas hanya akan menikah dengan Kalila.” bantahnya.
“Mas sudah memberi pilihan yang cukup menguntungkan bagi Ramona. Begitu bayinya lahir, Mas akan mempersilahkannya untuk memulai hidup baru dimanapun Ia inginkan. Mas akan memberinya modal yang berlebih untuknya memulai kehidupan barunya. Tanpa terbayang-bayang akan masa lalunya.”
“Bagaimana dengan bayinya?”
Mas Satya menangkup kedua tanganku. “Setelah kita menikah, mas ingin jujur kepadamu tentang ini semua. Juga meminta kebesaran hatimu untuk merawat bayi ini bersama. Walau bagaimanapun, bayi ini juga keluarga kita.” bujuknya.
“Apa Alreno benar-benar tidak mau merawat anaknya sendiri?” tanyaku ragu.
Mas Satya mengangkat bahunya. “Mas kurang tahu. Mungkin dia ada pertimbangan sendiri saat itu.”
Aku berpikir sejenak. “Tapi Ibu Kirana tidak akan mungkin membiarkan cucunya terlantar begitu saja, Mas. Kurasa Ibu belum mengetahui tentang hal ini. Besok coba aku menemui Ibu untuk membicarakan hal ini.”
Mas Satya langsung menolak ideku tersebut. Ia tidak ingin sepupunya mendapat amukan dari Ibunya karena sudah melakukan sebuah kesalahan yang bukan murni kesalahannya.
Dengan gentle, ia menawarkan diri untuk mengungkapkan kebenarannya kepada tantenya secara langsung. Dan memintaku untuk membujuk Alreno saja, agar mau mengakui bayinya.