Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. PENGUNTIT
...“Saat mata terpejam dalam rembang,...
...Aku tak tahu kenapa hanya kau yang muncul....
...Bukan karena perkataanmu, atau tingkahmu....
...Namun pandangan rindu yang hanya seakan untukku....
...Tapi, benarkah itu utuh milikku?”...
Telingaku terus mendengarkan celotehan dari kedua temanku, membicarakan hal yang sudah sangat kutahu topiknya. Sudah satu bulan aku bekerja di Queen Magazine bersama dengan Rini dan Dini. Semua tampak lancar dan menyenangkan selama bekerja di sana. Dan beruntungnya orang-orang di sana pun baik dan ramah, tidak ada yang saling menjatuhkan atau bersikap negatif kepada yang lain. Semua seperti keluarga, dan itulah yang membuatku senang bekerja di Queen Magazine.
Tapi, ada satu hal yang mengangguku sejak beberapa minggu lalu. Aku tidak tahu siapa dan ada urusan apa, namun seseorang tampak mengikutiku. Awalnya aku tidak terlalu menyadarinya bahkan cenderung mengabaikannya. Tapi akhir-akhir ini kehadirannya beberapa kali tertangkap mataku, berdiri diam-diam dalam persembunyian kecilnya, memerhatikanku dari kejauhan. Kukira orang itu mengikuti salah satu temanku, sepertinya salah. Orang itu selalu ada terutama saat aku sendirian di luar, jelas sekali kalau ia memerhatikan gerak-gerikku.
Aku tidak bisa memberitahu kedua temanku, mereka tidak akan percaya jika aku mengatakannya tanpa ada bukti. Lalu bagaimana caranya aku mencari bukti tersebut dan melaporkannya ke pihak berwajib. Salah-salah aku yang dianggap terlalu paranoid dan mencari sensasi saja.
Namun lama kelamaan aku justru semakin khawatir dan takut kalau-kalau penguntit itu melakukan hal tak diinginkan, walau hingga saat ini ia tidak melakukan apapun. Ia hanya mengawasi, herannya apa yang membuat ia mengawasiku. Aku bukan anak orang kaya atau orang terkenal, aku bahkan berani bersumpah kalau aku tidak pernah punya musuh selama aku hidup. Tentu saja aku ketakutan ketika merasa ada yang mengikutiku tanpa aku tahu alasannya.
“Mbak Ayuni?”
Tepukan di pundakku membuatku kaget hingga tanpa sadar aku berteriak dengan suara takut.
Bisa kulihat banyak mata yang melihat ke arahku, pandangan mereka penasaran hingga cemas. Dan sepertinya responku tadi membuat Putra dari Tim Perlengkapan terkejut dan bertanya-tanya ada apa dengan sikapku ini.
“Ma-maaf, saya tadi sedikit ngelamun jadi agak kaget,” konfirmasiku kepada seluruh orang yang mendengar suara teriakanku, khususnya kepada Putra.
“Nggak apa-apa. Saya cuma mau ngasih ini dari Bobby, dia lagi ada tugas di luar jadi minta tolong saya buat ngasih berkas ini ke Mbak untuk di revisi,” jelas Putra seraya memberikan berkas yang tidak terlalu tebal di tangannya untukku.
“Oke, makasih," ujarku dengan senyum tipis.
“Mbak kalau nggak enak badan bisa isthirahat aja di ruang kesehatan, Mbak keliatan pucet,” kata Putra yang telah memasang raut khawatir dan terus menatapku seolah aku akan pingsan atau apapun yang buruk menurutnya.
“Saya nggak apa-apa, makasih sarannya," ucapku tulus. Karena aku tahu kalau pria yang lebih muda dariku ini memang adalah pria baik hati dan lembut. Sosok yang mulai jarang ditemui di era zaman sekarang kurasa.
Putra yang mendengar kepastian kalau aku baik-baik saja, pergi melanjutkan pekerjaannya di studio pemotretan. Kurasa tabiatnya memang baik dan suka memerhatikan orang-orang di sekelilingnya, terkadang membuatku berpikir bahwa orang tuanya telah berhasil mendidik anaknya menjadi sosok yang indah dari segi sifat.
“Lo sakit, Yun?” Aku kenal sekali suara itu walau tidak melihat orangnya sekali pun—Dini.
“Nggak, cuma sedikit pusing aja. Biasalah, minum obat juga ilang nanti,” ucapku yang tidak sepenuhnya dusta.
“Kirain lo sakit. Jangan banyak ngelamun. Nggak usah mikirin abang terus, Yun. Kerja, kerja,” ejek Dini padaku. Bisa kulihat di tangannya ada paper bag, dan pastilah ia baru saja kembali dari ruang arsip untuk kelanjutan pekerjaannya saat ini.
“Lagian tumben nyamperin ke sini, jarang banget loh. Kangen ya sama gue atau khawatir karena belum ngeliat gue hari ini di kantor,” balasku. Ia langsung mendelik kepadaku, sebal dikit dengan ucapan tak masuk akal yang barusan kulontarkan.
“Bodo amat, Yun. Gue balik kerja lagi,” katanya yang langsung bergegas pergi.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa ketika berhasil menggoda temanku satu itu. Lagipula Dini dan Rini yang mengajariku menjadi orang yang usil sekarang.
Suasana hatiku memang tidak cukup baik hingga bisa terlihat beberapa pekerjaan belum cepat kuselesaikan karena berbagai pikiran yang berkecamuk.
Dalam keadaan seperti sekarang ini aku berharap ada Andre, setidaknya ada yang bisa membuat mood-ku lebih baik dengan segala keusilannya. Memarahinya dan mengumpatinya sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. Sayangnya, Andre tidak ada karena sedang mengambil gambar di luar untuk bahan artikel yang ditulisnya.
Aku juga tidak melihat Bos Juna sejak pagi tadi, mungkin ia tidak datang ke kantor karena urusan di luar. Sedangkan Dini dan Rini sedang sibuk dan tidak mungkin aku menganggu mereka. Karyawan lain juga sama, sibuk demi mengejar deadline.
Kurasa setelah pulang kerja nanti, aku harus melaporkan penguntit itu ke polisi. Rasanya benar-benar tidak tenang, jarak yang diambil penguntit itu juga semakin dekat denganku. Semakin berani karena ia tidak melihatku mengambil tindakan serius. Aku juga takut jikalau Dini dan Rini terkena imbasnya, mengingat mereka berdua tinggal satu atap denganku.
Dengan tidak adanya Andre dan Bobby selaku satu tim denganku, mau tidak mau tugas merevisi dialihkan kepadaku oleh Mbak Dewi. Ia bahkan mengajariku beberapa pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah kukerjakan. Mungkin akan berbeda jika Andre atau Bobby ada di sini atau waktu deadline tidak dekat. Dengan sedikit malas aku harus menyelesaikan semuanya lagi, karena besok berkasnya harus diberikan kepada Tim Editing dan Tim Publish. Hari ini benar-benar sepi dengan pekerjaan yang menumpuk.
Jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh, waktu dimana biasa aku pulang. Dini dan Rini sudah pulang lebih dulu satu jam lalu, aku yang menyuruh mereka duluan mengingat aku harus pergi ke kantor polisi untuk menyelesaikan masalahku dengan sang penguntit.
“Mbak Dewi, Pak Gun, Kak Satria, saya pulang duluan, ya. Sampai jumpa besok!” seruku pada orang-orang yang tersisa di ruangan ini.
Mereka membalasnya dengan baik, sepertinya akan menyusulku pulang juga tidak lama lagi. Para Kepala Tim memang selalu pulang belakangan untuk mengecek semua berkas dan keperluan majalah. Patut dicontoh atas kerja kerasnya.
Keadaan di luar sudah gelap, bahkan para bintang sudah bertaburan memenuhi langit, hanya saja hari ini aku tidak melihat benda bulat perak yang biasanya tergantung saat malam. Angin malam ini juga jauh lebih dingin dari beberapa hari belakangan, mungkin akan turun hujan. Kuharap hujan turun setelah aku sampai di rumah nanti.
Handphone-ku berdering. Bergegas kuambil dari dalam tas selempangku dan mengangkatnya.
“Halo?”
“Ayuni? Kamu udah pulang?” suara Bos Juna. Setelah seharian entah kenapa aku senang bisa mendengar suaranya.
“Iya, Mas Juna. Saya baru pulang,” jawabku.
“Kamu dimana sekarang? Udah nyampe rumah?” tanyanya.
“Belum. Saya lagi jalan ke halte deket kantor.”
“Halte? Kenapa ke halte? Bukannya itu bukan arah kamu pulang?” Ada nada penasaran dari suaranya, terdengar amat jelas.
“Eh, itu ... saya ada urusan sedikit, Mas.” Untuk sekarang aku sudah terbiasa memanggil atasanku itu dengan panggilan informal tersebut, toh aku juga selalu dipaksa untuk tidak memanggilnya Bos ketika di luar pekerjaan. Dia bisa marah jika aku tidak menuruti kemauan anehnya itu.
“Urusan? Kemana? Biar saya anter, kebetulan saya baru sampai kantor buat ngambil barang-barang saya. Kamu tunggu di halte, perempuan nggak boleh pergi sendirian malem-malem. Tunggu saya,” perintahnya seperti biasa namun tidak terdengar seperti memerintah untukku.
“Yasudah, kalau nggak ngerepotin saya hmpp-”
“Ayuni? Ayuni?!”
Seseorang membekap mulutku, telepon genggam yang ada di tanganku jatuh ke tanah, membuat obrolanku terputus. Bisa kurasakan tubuh tinggi dan besar berdiri di belakangku, menahanku baik agar tidak berteriak atau pun bergerak untuk melarikan diri.
Si penguntit, kah?