Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEVEN A
Manya menatap tujuh bayinya dalam inkubator. Mereka masih kecil-kecil.
"Hai Babies," sapanya.
Dengan telaten ia membersihkan seluruh bayinya, ia mendekap dan meletakkannya di dada satu persatu. Ada seorang suster membantunya.
"Apa dokter sudah menyiapkan nama?" tanya suster itu ketika meletakan bayi terakhir di dada Manya.
"Sudah sus," jawab wanita itu dengan binaran bahagia.
"Yang pertama Abizhar Adiputra Jovan, ke dua Abimanyu Putra Dwi Jovan, ke tiga Abigail Putri Jovan, ke empat Alaina Putri Jovan, ke lima Alamsyah Putra Jovan, ke enam Ailika Putri Jovan dan terakhir Abraham putra Jovan," jawab Manya
"Wah semuanya huruf A ... halo seven A!" sapa suster cantik itu.
"Bhizar, Abi, Agil, Laina, Syah, Lika, dan Abraham," sebut Manya memanggil ketujuh anaknya.
"Ah ... kami para suster akan tetap memanggilnya dengan sebutan. seven A," sahut suster cantik itu lalu menaruh Abraham dalam inkubator.
Dua minggu paska operasi. Manya membawa tujuh bayinya pulang ke rumah, ia juga membawa empat perawat untuk membantunya. Sebuah hunian sederhana telah ia tempati selama kehamilannya.
"Ini kamar Seven A," ujarnya membuka pintu.
Tujuh bayi dalam empat stroller, mereka diletakan dalam boks dengan. Tubuh ketujuhnya sudah mulai besar dan gembul. Mereka lahap meminum susu dari ibunya maupun susu formula.
"Dok, saya sudah meletakan semua susu yang dalam kemasan ke storage khusus," lapor salah satu suster.
"Saya juga sudah menyiapkan tujuh botol susu dalam ukuran sedang di tempat penghangatnya," lapor salah satunya lagi.
"Saya sudah mengganti Abi, Alaina dan Abraham," lanjut satunya lagi.
"Kalau saya, Bhizar, Abi, Syah dan Lika," lanjut satu lagi.
"Terima kasih suster Astri, Dina, Lily dan Sari. Kalian boleh membersihkan diri dan istirahat," ujar Manya.
Mereka semua pun membersihkan diri di kamar mandi di area belakang. Rumah Manya ada lima kamar, dua kamar utama, satu kamar tamu dan dua kamar pembantu. Dalam kamar utama ada kamar mandi pribadi di dalamnya, sedang di kamar pembantu hanya ada satu kamar mandi. Para suster mandi di kamar tamu.
Manya menerapkan jika kamar mandi bayi orang dewasa tak boleh mandi di sana. Kamar mandi itu harus steril.
Sedang di tempat lain. Jovan kini berdiri di sebuah desa yang dulu pernah ia tinggali. Sudah dua kali ia ke sini. Tapi jawaban sama yang ia dapati. Kepala desa tak tau di mana Manya pindah.
"Coba kau cari di data pemerintahan bagian departemen kesehatan. Nama dokter Manya Aidila pasti bukan nama pasaran. Pasti ada data di sana dan menerangkan ada di mana dia," jawab kepala desa.
"Oh ya, sebelum anda kemari ada beberapa orang tak dikenal juga mencari keberadaan dokter Manya," jelas Anton.
"Apa benar begitu pak?"
"Ya, saya dan semua warga melindungi dokter baik itu, jadi kami bilang tidak tau. Lagian mereka cari adalah wanita yang pernah merawat anda di sini. Tentu hal itu membuat kami para warga curiga," jelas Anton lagi.
"Nak, saya mohon. Segera temui Manya, saya takut dia dilukai orang-orang yang mencarinya itu!" pinta Anton lagi.
"Tenanglah pak. Saya pasti akan mencari dan menemukannya segera," ujar Jovan..
Ini adalah ketiga kalinya Jovan datang. Akhirnya kepala desa menyerah setelah pria itu menjelaskan semuanya.
"Mestinya kau menunggunya dan bicara, tidak semestinya kau pergi begitu saja," keluh kepala desa menyayangkan sikap Jovan yang seperti tidak bertanggung jawab.
Jovan pergi dari desa lembah, tapi tidak dengan tangan kosong. Pria itu akan mencari keberadaan istrinya seperti saran dari Anton.
"Sayang ... kita akan bertemu kembali," gumamnya.
SATU TAHUN KEMUDIAN.
"Dokter Manya!"
Wanita itu menoleh. Seorang suster berlari ke arahnya. Gadis itu terengah-engah ketika sampai pada Manya.
"Tenangkan dirimu sus!" ujar Manya menepuk bahu gadis itu.
"Dok, apa sudah tau jika rumah sakit kita diakuisisi oleh perusahaan swasta?" Manya mengangguk pelan.
"Katanya pemilik dari rumah sakit ini akan berkunjung dan mengganti jabatan kepala rumah sakit!" jelas suster itu.
"Benarkah? Aku dengar jika beliau bergelar profesor penanganan management rumah sakit?"
"Iya benar. Dokter tau sendiri kan, setelah pensiunnya kepala rumah sakit Dokter Ramlan?" Manya mengangguk.
"Kepala rumah sakit setelah beliau, Ibu Doktor Aliwiyah S. Kes membawa lari uang rumah sakit untuk membayar anaknya yang terlibat narkoba!"
"Huuuss ... pelankan suaramu!' peringat Manya.
Suster itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya..
"Maaf dok," cicitnya.
"Lalu kenapa kau mengikutiku?" tanya Manya heran.
"Mau lihat seven A dong!" sahut suster itu antusias.
"Awas ya kalau kalian kasih makan yang enggak-enggak!" ancam Manya.
"Ih, kapan sih kita kasih makan yang enggak-enggak?" sungut suster itu.
Memang Manya membawa seluruh bayinya untuk ikut kerja, ada ruangan khusus yang diperuntukkan padanya. Semua dokter dan suster menyayangi tujuh bayi cantik dan tampan itu. Terlebih mata mereka yang indah. Iris hazel seperti mata ayah mereka. Bahkan rambut mereka kemerahan seperti bule nyasar di rahim Manya yang berkulit sedikit kecoklatan.
"Seven A!" sapa suster itu.
"Pustel Lily!" sambut ketujuh bayi gemoy dan montok.
Kini semua dokter dan suster berbaris menyambut kedatangan sosok pria pengganti kepala rumah sakit. Manya berdiri di baris kedua bagian dokter umum yang ada tiga puluh orang. Bagian radiologi ada lima belas orang sedang bagian dalam dan iternist ada sepuluh orang. Management ada tiga belas orang.
"Selamat datang Tuan Muda Profesor Dinata, selamat bergabung rumah sakit Dinata Hospital!" sambut wakil kepala rumah sakit Doktor Armal Sundjaya Spd anak.
Pria dengan tinggi 188cm dengan bobot 89kg. Memakai setelan jas mahal, dengan kacamata hitam . Wajahnya dingin dan datar. Hidung mancung dengan bahu lebar.
"Terima kasih!" sahutnya datar.
Nyaris dua tahun ia mencari keberadaan istrinya, ia mengira dengan mencari di dinas kesehatan akan mempermudah jalannya menemukan sang istri. Tapi, semua birokrasi dan segala data yang hendak ia cari tak semudah membalik telapak tangan.
Pria itu melanjutkan studinya dengan basis management rumah sakit. Manya seorang dokter pasti bekerja di rumah sakit. Hanya itu pikirnya.
Otaknya yang cerdas membuat ia bergelar profesor di usia dua puluh sembilan tahun. Masih terlalu muda, tapi membuat ia tertarik mengakuisisi sebua rumah sakit yang telah dibawa lari uangnya. Padahal rumah sakit besar itu sangat baik kinerjanya.
Pria itu berjalan melewati barisan para dokter dan perawat juga staf yang membungkuk hormat padanya.
Semua nyaris menahan napas karena hawa dingin dan begitu mencekam ketika kepala rumah sakit baru itu melewati mereka.
Manya coba melirik kepala rumah sakit baru itu. Bau parfum mahal langsung terendus ketika melewatinya. Manya sudah tak mengenali pria yang berjalan di depannya. Jovan memang berubah, dari cara ia berjalan, bersikap juga bersuara. Tidak lagi lembut, sopan dan menghargai orang lain.
Jovan sekarang menjadi sosok dingin, datar dan arogan. Ia hanya bersikap biasa bagi yang bekerja benar.
"Kumpulkan semua data para dokter dan staf yang ada di rumah sakit ini!" titahnya.
"Aku ingin berkenalan langsung dengan mereka!" lanjutnya.
"Baik tuan!" sahut Praja yang masih setia di sisinya.
"Ah, maaf prof. Ada salah satu dokter yang diberi perlakuan khusus di sini," adu salah satu staf wanita.
Semua menoleh pada wanita itu. Tasya memang tak menyukai Manya secara terang-terangan, wanita itu selalu menganggap Manya adalah wanita murahan karena tak bisa membuktikan pernikahannya.
"Apa, siapa?" tanya Jovan dengan suara dingin.
"Iya ada dokter dengan tujuh anak kembarnya diperlakukan secara istimewa di sini!"
bersambung.
ah ... akhirnya!
next?
kurang ngudeng aku