Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dongeng Sebelum Tidur
...Anan Batari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Gue menyengir, jijik melihat Zielle selesai dari muntahnya dan terpaksa gue harus pegang kepalanya karena dia sudah enggak bisa berdiri, duduk, apalagi rebahan dengan benar. Mengambil wajahnya dengan kedua tangan, terus gue tiup sesekali, berharap bisa membuatnya lebih baik.
Matanya setengah merem, tapi dia malah senyum-senyum kayak orang bego. “Bau rokok sama permen mint,” katanya sambil ketawa. “Lo banget...”
Gue singkirkan beberapa helai rambut yang menempel di wajahnya yang terkena keringat. Dia coba tepuk tangan gue, tapi enggak kena. Lengannya sudah enggak bisa diajak kerja sama. “Lo enggak perlu nolongin gue, Pangeran. Gue baik-baik aja.”
Gue angkat alis. “Oh ya? Coba berdiri sendiri!”
“Udah sana pergi aja, tinggalin gue di sini. Gue aman, kok.”
Masalahnya, gue enggak bisa tinggalkan dia di sini, meskipun dia orang yang paling gue benci sekarang, setelah melihatnya ciuman sama si kutu buku itu.
Jangan mikirin itu, Anan!
Ya, ujung-ujungnya gue bantu dia berdiri. Begitu dia tegak, gue jongkok sedikit terus gue angkat dia ke bahu gue kayak karung. Dia cuma bisa komat-kamit enggak jelas setelah gue berhasil melewati pintu balkon.
Gendong dia, sih enggak susah. Dia enteng banget, dan gue sudah biasa angkat beban yang lebih berat selama latihan. Gue buka satu-satunya pintu kamar yang enggak berubah jadi tempat mesum hari ini.
Bagaimana gue tahu?
Karena teman-teman gue lagi di dalem, main game sambil minum-minum.
Yang pertama gue lihat begitu masuk itu Tom.
“Coba gue tebak,” Tom pura-pura berpikir, “Zielle?”
Cewek berambut coklat yang tadi gue bawa, duduk di pangkuan Dino, terus menceletuk, “Dia siapa?”
Samir angkat tangan menyerah. “Tanya aja sama Anan, gue juga enggak ngerti permainan mereka berdua.”
Gue kasih mereka semua tatapan serius. “Keluar. Sekarang.”
Waktu mereka cabut, gue bawa Zielle ke kamar mandi, taruh dia di bak mandi. Dia duduk di situ, kepalanya bersandar ke tembok.
“Lo muntahin baju lo sendiri,” kata gue sambil mulai buka kaos putih bermotif bunga yang dia pakai. Dia protes, tapi akhirnya gue berhasil melepaskan itu dari badannya.
Dadanya terbuka, bentuknya masih sempurna, masih belum berubah, masih sama seperti yang gue ingat. Enggak terlalu besar, enggak terlalu kecil, pas banget buat badannya.
Bukan saatnya mikirin itu, Anan!
Gue turunkan roknya sampai ke mata kaki, penglihatan gue langsung mengarah ke kakinya. Dalemannya hitam, kontras banget sama kulitnya. Gue telan ludah, mencoba fokus sama apa yang lagi gue kerjakan. Gue buka keran air, dan dia langsung teriak ketika air dingin mengguyur kepalanya.
“D-d-dingin,” katanya, rambutnya yang basah terurai di kedua sisi wajahnya.
Tanpa melihat, gue perlahan menggosok sabun ke badannya, pandangan gue cuma fokus ke tembok di sebelah. Gue jadi lemah kalau ada di dekatnya, dan jujur saja, gue selalu ingin dia dekat sama gue, tapi gue enggak mau itu bakal lebih menyakitinya.
Setelah kasih dia sikat gigi biar dia bisa bersihkan mulutnya yang masih bau muntah, gue lilitkan handuk ke badannya terus angkat dia buat duduk di ranjang.
“Anan...”
“Huh?”
“Gue kedinginan.”
Ya jelas, lah, AC rumah ini menyala full karena ramai orang party. Zielle kelihatan agak mendingan setelah mandi, sekarang dia sudah bisa duduk sendiri. Gue bantu dia keringkan badan, terus gue lempar handuk basah ke lantai.
Pandangan gue enggak sengaja lari ke tubuhnya yang masih setengah telanj*ng, dan gue harus kendalikan diri.
Gue buka kancing baju gue cepat-cepat, Zielle ketawa. “Lo ngapain, sih?”
Setelah lepas baju, gue kasih ke dia, buru-buru mengancingi bajunya dan menjauh dari dia, dari godaan tubuhnya yang bisa bikin gue jadi tambah lemah. Baju gue terlihat pas banget di tubuhnya.
“Tidur aja, nanti hilang sendiri, mabuknya.”
“Gak ngantuk.” Dia menyilangkan tangan ke dada seperti anak bandel. “Dongengin gue, biar cepat tidur!”
“Udah tidur aja.”
“Enggak.” Dia kelihatan tegas.
Gue paksa dia buat tiduran dan gue duduk di sebelahnya, rebahan di sandaran kasur.
“Ceritain, dongeng apa yang lo punya.” Dia nempel ke gue, pegang perut gue, peluk gue, dan gue biarkan saja, karena rasanya tenang bisa merasakan dia di dekat gue setelah lama banget enggak ada kontak.
Gue sentuh rambutnya, memikirkan dongeng apa yang harus diceritakan.
Dia enggak bakal ingat ini besok, jadi gue merasa bebas buat cerita apa pun, dan gue mulai cerita.
“Dahulu, ada seorang anak kecil yang menganggap kedua orang tuanya adalah pasangan yang sempurna, rumah mereka paling besar di dunia.” Gue senyum sendiri.
“Ciiks, polos banget, tuh, anak.”
Apa, sih, gue lagi ngomong apa?
Kenapa sama dia bisa gampang banget buat cerita ini?
Dia menempel lebih dekat, hidungnya meremas di tulang iga gue. “Terus gimana, tuh, anak?”
“Anak itu sayang banget sama ayahnya, karena ayahnya, tuh tumpuan hidupnya, panutan. Laki-laki yang kuat, sukses. Dia sempurna, mungkin terlalu sempurna. Ayahnya sering pergi jauh, ninggalin anak-anak sama istrinya di rumah sendirian.” Gue tutup mata, tarik napas dalam-dalam. “Suatu hari, anak itu pulang lebih awal dari sekolahnya, soalnya dia dapat nilai A di ujian Matematikanya, pelajaran yang paling susah. Dia lari naik ke atas buat nyari ibunya, pengen ibunya bangga sama dia. Pas dia masuk kamar ibunya...”
Selimut putih, tubuh-tubuh telanj*ng.
Gue jauhkan itu dari pikiran gue.
“...ibu anak itu, lagi sama laki-laki lain, yang bukan bapaknya. Terus dari situ, semuanya jadi jelas. Saat air matanya jatuh, itu membuatnya merasa jauh dari rumah, pikirannya udah di tempat lain, makna rumah dan keluarga yang sempurna hilang gitu aja di depan matanya. Enggak peduli lagi sama apa yang dibilang ibunya.”
Gue berhenti, berharap Zielle sudah tidur, tapi ternyata belum. “Lanjutin, gue pengen tau apa yang terjadi selanjutnya.”
“Anak kecil itu bilang ke kakaknya, dan mereka berdua nungguin ayahnya pulang buat ngasih tahu. Setelah banyak debat dan omong kosong, akhirnya sang ayah memaafkan ibunya. Dua anak itu melihat ayahnya tunduk, lupain harga dirinya, nangis tanpa bisa berhenti di ruang kerjanya. Laki-laki yang kuat, jadi tumpuan hidup mereka, kelihatan lemah dan terluka. Sejak saat itu, ayahnya terus ingetin mereka kalau jatuh cinta itu bikin orang jadi lemah. Anak itu belajar buat enggak percaya sama siapa pun, enggak dekat sama siapa pun, enggak kasih kesempatan ke siapa pun buat ngerusak dia, dan dia tumbuh jadi orang yang berharap bakal hidup sendiri selamanya. Tamat.”
Gue memperhatikan cewek di samping gue, matanya terpejam, tapi dia masih jawab. “Akhir yang menyedihkan.”
“Hidup yang sebenarnya jauh lebih menyedihkan, dari apa yang terlihat.”
“Gue enggak suka sama ending itu.” Dia menggerundel. “Gue lagi bayangin aja kalau akhirnya dia ketemu sama seseorang, terus jatuh cinta, dan hidup bahagia selamanya.”
Gue ketawa. “Pasti aja lo bakal gitu, penyihir bucin.”
“Gue ngantuk.”
“Tidur aja.”
“Anan?”
“Iya?”
“Lo pikir cinta itu yang bikin orang jadi lemah?”
Pertanyaan dia enggak bikin gue kaget. “Iya.”
“Makanya lo enggak pernah jatuh cinta?”
“Siapa bilang gue enggak pernah jatuh cinta?”
“Lo pernah?”
Gue hembuskan napas, dan menatapnya, “Kayaknya, sih, gitu.”
Pernapasan dia mulai pelan, matanya terpejam. Akhirnya dia tidur.
Gue senyum-senyum kayak orang idiot melihat dia, memperhatikan dia tidur bikin gue merasa tenang.
Apa, sih yang sudah lo lakukan sama gue, penyihir?
...✎ᝰ────ᯓᡣ...
..."Kecemasan itu ibarat pena yang ujungnya patah.Terisi dengan tinta yang begitu banyak, mengancam akan menyebar kemana-mana dan menyebabkan malapetaka di atas lembaran putih."...