Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istriku di tangkap
"Mas Dias?" ucap Eva, seolah bertanya kepada ku, pada kami semua. Sungguh dia tidak tahu bahwa dia sudah meninggal.
"Dek." panggilku, segera ku peluk tubuh Eva yang bergetar, ku rasakan jantungnya berdegup kencang, wajahnya memanas penuh emosi yang tak bisa diungkapkan.
"Mas Dias meninggal?" ulangnya.
Ku kecup telinganya pelan lalu ku jawab. "Iya. Sudah hampir seminggu." jawabku.
"Gak mungkin! Kemarin malam dia ada di depan! Dia ada di depan dan..."
"Ku rasa kamu sudah gila setelah menghabisi suamiku!" Lusia berkata dengan sinis, dia menatap penuh kebencian pada Eva.
"Jangan menuduh istriku, dia tidak mungkin melakukan hal itu pada Dias!" bentakku.
"Heh! Kau membelanya? Kau sudah buta Seno, kau pikir dia adalah istri yang setia dan bahagia bersamamu? Dia itu sudah selingkuh dengan Dias di belakang kita Seno!"
"Tidak mungkin Lusia! Kau jangan mengada-ada!"
"Aku tidak mengada-ada, aku sering memergoki kasur di rumahmu kusut berantakan kalau aku sedang tidak ada di rumah. Dia juga mengacuhkan ku, dia bahkan masih menyimpan apapun yang berhubungan dengan dia! Dia itu pe-la-cur!"
"Diam! Tutup mulutmu itu Lusia. Kau lupa ketika kau datang kemari, bahkan sengaja untuk mengajak Dias tidur bersama." aku menunjuk wajahnya dengan penuh amanah, gigiku sampai gemeratak.
Lusia bungkam, namun sejenak kemudian dia tersenyum sinis. "Dan dia mendatangi suamiku diam-diam, berselingkuh setelah menikah dengan mu." kata Lusia.
Ya Allah, benarkah itu?
"Aku tidak selingkuh Mas." kata Eva ,kini dia terisak sedih. Air matanya mengalir deras hingga tangan halusnya mengusap berulang kali.
"Aku punya buktinya." kata Lusia, menunjukkan sebuah kunciran rambut di dalam kantong plastik bening. "Ini milikmu kan?" kata Lusia menyeringai.
"Itu milikku, tapi aku tidak membunuh Dias Mbak, aku tidak pernah menemui Dias setelah terakhir...."
"Terakhir apa?" Kata Lusia, tersenyum menang.
"Nggak Mas, aku tidak melakukannya. Aku tidak membunuh, aku tidak selingkuh. Sumpah Mas, kamu harus percaya aku." kata Eva, memegang lenganku.
"Mbak, tenang lah. Demi kebaikan bersama sebaiknya mbak ikut kami kekantor." pinta Gerry.
"Nggak! Aku nggak salah Ger!" tangis Eva.
"Iya Mbak, tapi alangkah baiknya semua di jelaskan di kantor. Agar lebih tenang dan kita bisa memecahkan kasus ini secepatnya." kata Gerry.
"Gerry!" aku menepis tangan Gerry, tidak rela istriku dibawa oleh mereka.
"Mas, mas temani mbak Eva ke kantor. Kita akan membahasnya di sana."
"Mas...." rengek Eva, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Pergilah Mas. Aku akan menjaga Seina." kata Andin.
Ku peluk istriku sangat erat, sungguh aku tidak percaya jika istriku selingkuh. Mana mungkin istriku selingkuh sementara dia ada bersama ku setiap malam. Apakah siang hari? Itu juga tak mungkin, tak dapat ku percaya.
"Mas, Mas Dias benar-benar meninggal?" tanya Eva di tengah perjalanan. Kami duduk berdua di bangku tengah, sementara Gerry dan temannya menyetir, dan satu di belakang.
"Benar Sayang. Itu sebabnya aku bingung ketika kau bilang melihat dia di depan rumah kita." jawabku.
Eva terus menangis, hingga sampailah di kantor polisi.
Mereka memberikan Eva banyak sekali pertanyaan. Aku sangat gelisah karena hari sudah malam, dan istriku belum juga boleh pulang.
Tak lama kemudian pintu ruangan Gerry terbuka, tampaklah istriku berjalan dengan dua orang dibelakangnya.
"Sayang." panggilku, harap-harap cemas, berharap istriku bisa pulang.
"Pemeriksaannya belum selesai, akan dilanjutkan esok pagi." kata seorang polisi teman Gerry.
Ku peluk tubuh istriku dengan erat, ingin rasanya aku menggantikan posisinya saat ini.
"Apakah aku boleh menemani istriku Pak?" tanya ku.
"Maaf Mas. Tidak bisa."
Aku terpaku memandangi istriku yang di bawa ke ujung lorong yang gelap, ku iringi langkah mereka hingga istriku di masukkan ke dalam jeruji yang dingin, dia dikunci dan hanya bisa mengulurkan tangannya.
"Sayang." panggilku pelan.
"Aku tidak membu-nuh Mas. Aku tidak melakukan itu." katanya, dia menangis, wajahnya pucat dan ketakutan.
"Apakah kamu pernah menemui Dias Dek?" tanya ku, aku pun sudah tak bisa menutupi kesedihanku, hingga air mata telah menggenang menutupi penglihatan ku yang mengabur.
"Tidak pernah Mas." katanya.
Aku menjaga istriku hingga sudah pukul dua dini hari, dan aku memutuskan pulang, teringat Seina pastilah akan menangis karena aku dan Eva tidak ada di rumah.
Aku menghubungi Hanif, meminta tolong temanku itu untuk mengantarku pulang.
"Terimakasih ya Nif, maaf merepotkanmu." kataku.
"Tak apa Sen, kamu juga sudah banyak membantu ku." kata Hanif, kamipun sudah sampai di depan gang. Namun dari kejauhan aku melihat seseorang berdiri di depan rumah.
"Nif, berhenti." aku menepuk pundak Hanif.
"Ada apa Sen?" tanya Hanif.
"Kamu lihat, itu ada orang di depan Nif."
Hanif pun melihat ke arah rumahku, dia pun mengangguk memperhatikan seseorang yang berdiri, berjalan pelan di tempat yang minim cahaya.
"Ngapain dia Sen?" tanya Hanif, ia memarkirkan motornya di pinggir jalan.
"Kita lihat saja Nif." ajak ku, kamipun mulai mengendap-endap mengintai orang aneh tersebut.
Aku menyelinap melalui teras tetangga, berusaha mendekati sosok yang saat ini sudah berjalan di samping rumahku. Mau apa orang itu malam-malam begini ada di sini? Apa yang dia cari?
Semakin dekat, dia menuju jendela dapur lalu mulai mengintip. Tak lama kemudian dia mengeluarkan sebuah pisau, menyelipkan diantara celah jendela, dia akan membobol jendelanya.
Bugh!
Aku memukul punggungnya dengan dahan mangga yang kemarin ku potong, namun sial orang itu mengetahuinya dan menangkis seranganku dengan pisau yang di pegang nya.
"Kau siapa, Hah!" ucapku, terus menyerang orang itu dengan kayu di tanganku. Tak hanya itu, aku juga berhasil menendangnya hingga dia jatuh terjengkang. Aku kembali menyerangnya dengan kayu ditanganku, namun sial dia malah melempar wajahku dengan tanah.
"Arrghhh!" Aku menutup mataku, mundur kebelakang karena mataku pedih.
"Sen!" Hanif datang, tapi orang yang tadi ku serang malah kabur.
"Dia pergi Nif." kataku, ingin ku kejar tapi Hanif melarang.
"Dia bawa golok Sen, bahaya." kata Hanif. menunjuk semak belukar di belakang rumahku, bukan tak mungkin dia bersembunyi lalu menyerang tiba-tiba.
Beberapa detik kemudian terdengar suara tangis di dalam rumah. Seina anakku, pastilah terbangun.
"Assalamualaikum. Ndin!" panggilku, mengetuk-ngetuk pintu.
Tak lama kemudian Andin membuka pintu. "Syukurlah kamu pulang Mas." kata Andin mengelus dada.
"Kenapa memangnya?" tanyaku, mengajak Hanif ikut masuk.
"Aku takut Mas, seperti ada orang yang mengawasi. Seina juga nangis terus." kata Andin.
"Seina lapar mungkin Ndin." kataku.
"Nggak Mas, tadi aku kasih susu sama bubur." katannya, langsung ke dapur mengambilkan teh hangat untuk kami berdua.
"Mending untuk sementara kamu bawa anakmu pergi dari sini Sen. Aku takut mereka mengincar anakmu."
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya