Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tujuh
Jam delapan malam, cafe kembali ramai, Aruna setelah badannya membaik dan muntahannya sudah berhenti, kembali melayani dan mengantarkan pesanan para pelanggan.
Kini Aruna tengah membawa minuman pada meja nomor 6, malam ini ramai para pemuda yang berkunjung baik mahasiswa perkuliahan atau anak siswa sekolah.
"Ini pesanannya, selamat menikmati. " Aruna menyimpan gelas minuman berjumlah empat gelas diatas meja dengan hati-hati, kepalanya yang tertunduk diangkat untuk pamit kebelakang dengan senyum manis terus tercetak di bibirnya.
Namun, senyum itu seketika menghilang saat tatapannya menatap Tama didepannya. Di meja yang tengah dirinya layani ini, mengerjapkan matanya sejenak. Aruna pamit undur diri, tidak ingin berlama-lama bertatap muka dengan Tama.
"Dia kerja disini? " itu suara Tama yang bertanya, kesadarannya sudah kembali saat kepergian Aruna.
"Yang kayak lo lihat barusan, gua juga gak tau sih kalau Aruna ternyata kerja. " Adit menimpali, sembari menyesapkan kopi susu di pesannya.
Mereka ada empat orang. Tama, Adit, Juan dan Haikal. Keduanya janjian nongkrong di sini, di cafe yang baru mereka injaki, sebenernya sudah lama juga mereka rencana janjian untuk duduk-duduk nongkrong disini karena cafe ini cukup terkenal di kalangan sekolah. Tapi baru kesampean nih malam datangnya, terlihat cafe ini psangat nyaman dan bagus untuk mereka nongkrong sambil bercerita.
"Jadi dia sekolah sambil kerja, gitu? " suara Tama kembali terdengar.
Haikal yang mendegar menyergit dahinya bingung, "Emang kenapa sih? Gua perhatian, lo sering banget kalau ada kesempatan suka banget bahas-bahas soal Aruna. Ada urusan apa lo sama tuh cewek? "
Tama gelagapan, ternyata rasa penasaran dan suka bertanya-tanya tentang Aruna pada Adit ternyata di sadari sama Haikal.
"Gak ada, gua cuman penasaran aja. Tuh cewek kan gua jarang lihat makanya gua tanya-tanya, gitu doang gak ada maksud lain gua. " kilah Tama, menyesap minumannya guna untuk mengurangi rasa gugup yang menderanya.
Haikal belum juga percaya, matanya memincing penuh kecurigaan pada Tama, "Beneran? " tanyanya memastikan.
"Ck, iyalah. Lo pada kan tau gua udah punya Alana, gak usah mikir yang aneh-aneh lah. "
Haikal mengangguk mengerti dan diikuti dengan Adit dan Juan yang memang sedari tadi menyimak, mereka tau gimana bucinnya Tama sama Alana, gak mungkin juga laki-laki itu berpaling.
"Btw, pengumuman kelulusan nanti kapan? Belum ada pemberitahuan kah dari grup? " tanya Tama, membuka obrolan lain agar temannya tidak memikirkan persoalan dirinya yang sering penasaran sekali dengan Aruna.
"Hari senin nanti pengumuman kelulusan, gua dapat bocoran dari teman gua yang adeknya anak osis. " Juan menjawab, matanya mengedar menatap seisi cafe yang begitu ramai. Mencari-cari perempuan untuk dia gombalin, Juan terkenal dengan play boy kelas kakap, pacarnya dimana-mana.
Makanya dari tadi matanya gak bisa diam, mengedar sana-sini menangkap mangsa untuk dia gombalin.
Tama mengangguk mengerti, "Terus setelah ini kalian ada rencana kuliah dimana dan ambil jurusan apa? " tanyanya kembali.
"Kuliah di universitas sini, malas gua harus pergi jauh-jauh. Orangtua gua juga gak ngijinin kuliah luar kota. " Adit menjawab, dia emang udah ada rencana kuliah di kota kelahirannya ini. Malas juga berpergian jauh-jauh. "Kalau jurusan, belum gua pikirin sih. "
"Kalau gua gak kuliah, mau langsung cari kerja aja. Gak ada duit gua mau bayar uang kuliah nanti. " Haikal yang menjawab kali ini, dari mereka berempat. Haikal emang bukan lahir dari keluarga yang mampu kayak teman-temannya, dia bisa sekolah aja karena dapat beasiswa tidak mampu.
"Emang mau kerja apaan lo?" tanya Juan, dia kembali fokus sama perbincangan teman-temannya. Udah gak minat lagi melirik perempuan, tidak ada yang sesuai seleranya.
"Dibengkel, mau dimana lagi, lo pada kan tau gua selama ini kerja sambilan di bengkel mas Raka. " Haikal emang udah kerja sambil sekolah, uangnya lumayan buat dia jajan dan beli kebutuhan sekolah. Bapaknya kerja sebagai supir taksi, gajinya sebenarnya cukup untuk makan sehari-hari sama buat jajan Haikal.
Tapi Haikal punya ibu yang lagi sakit keras, mereka butuh uang banyak untuk membeli obat dan check up tiap bulan. Makanya dia kerja di bengkel, uangnya juga disisipkan sedikit untuk membeli obat ibunya yang terbilang cukup mahal.
"Kalau lo Juan gimana? Mau lanjut kuliah atau bagaimana?" tanya Adit pada Juan yang tengah mengisap vape. Eh, gapapa kan ngevape disini? Juan takut banget lagi enak-enaknya ngevape, malah ditegur sama pemiliknya nanti.
"Ck, gak tau pusing banget gua, belum ada mikirin apapun mau gimana nantinya. Orangtua gua maunya gua kuliah sambil kerja di perusahaan bokap, otak gua setengah gini mana bisa mikir ngurus perusahaan, ada rencana mau kuliah aja udah sujud syukur. " keluh Juan, guratan samar di dahinya menandakan laki-laki itu emang lagi pusing.
"Otak isinya cuman perempuan doang, emang mau ngarepin apalagi? Syukur-syukur tuh otak masih bisa berfungsi dengan semestinya." Adit menimpali dengan wajah julidnya, dia tau banget gimana Juan orangnya.
Masuk sekolah aja kerjanya cuman tidur saat jam pelajaran tengah berlangsung, kalau gak ya gombalin perempuan sampai mampus. Adit sampai jengah lihatnya.
"Yeee, sirik aja lo jelek. " balas Juan, tidak terima dikatai Adit. Walau semua yang dikatakan Adit emang benar adanya. Tapi Juan gak terima!
"Lo yang jelek, dasar play boy! " imbuh Adit tak mau kalah.
"Udah, hey. Kalian kayak anak kecil aja, saling ngatain gitu. " Haikal langsung melerai, kedua manusia itu emang suka banget berantem adu mulut kayak begini.
"Kalau lo gimana, Tam? Mau lanjut kuliah atau ambil alih kerjaan bokap lo? " Haikal balik bertanya pada Tama.
"Sama kayak Juan. Bokap nyuruh gua buat gantiin posisinya di perusahaan, udah tua katanya mau istirahat aja di rumah. Tapi gua maunya sambil kuliah juga, ambil jurusan bisnis. Sambil belajar-belajar juga gimana caranya ngurusin perusahaan, takutnya kalau gua yang ambil alih perusahaan tiba-tiba langsung bangkrut aja. " terkekeh kecil dengan ucapannya di akhir. Seriusan, walaupun dikenal pintar, Tama juga mau belajar bagaimana cara membangun perusahaan lebih baik lagi.
"Nohh, lo tiru tuh si Tama. Dia yang otaknya encer aja mau belajar gimana cara membangun perusahaan lebih maju, lah elo? Jangankan mikir begitu, mau lanjut kuliah aja gak ada kepikiran sama sekali kan lo?! " julidnya Adit keluar lagi, mulutnya bahkan sampai monyong-monyong kayak emak-emak yang lagi nge-gosipin anak tetangga yang kedapatan pulang malam bareng cowok.
"Berisik lo, dasar item! "
Nah kalau dikatain begitu Adit gak bisa buka moncongnya buat ngebalas Juan, dia emang kesal banget kalau dikatai item. Dari mereka berempat emang cuman Adit aja yang kulitnya lebih gelap dari ketiga temannya.
Kedengaran rasis sih jatuhnya kalau dikatain begitu, tapi beneran deh. Adit gak sampai masuk ke hati ucapan Juan, kadang dia juga suka ngatain Juan sipit karena laki-laki itu emang ada turunan China dari mamanya, sedangkan Adit ada campuran Afrika dari bapaknya.
"Yeee, dasar sipit. " balas Adit, tapi suaranya pelan banget. Merajuk maksudnya.
"Kalian berdua kalau berantem mulu, lama-lama gua nikahin yeee. " ujar Haikal sudah kepalang jengkel sama dua curut yang suka banget berantem.
"Naj*s!! " balas keduanya serempak, seketika Adit dan Juan saling bertatap dengan tatapan sengit penuh kemusuhan.
"Hm, hm. Tatap terus sampai bolong tu mata lama-lama, beneran gua nikahin ya lo bedua nanti. " ancaman Haikal lagi, kedua laki-laki itu sontak membuang muka.
Tama yang melihat sontak tertawa kencang, "Beneran cocok lo bedua. " imbuhnya dengan tawa yang masih keluar dari mulutnya.
"Naj*ng! "
"Amit-amit, bangs*t! "
•
•
•