"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Devisi Pemasaran
3 bulan kemudian…
"Hey, Bro." kata Elnaro dengan nada sombong sambil melempar setumpuk berkas kecil ke meja gue. Mukanya kelihatan puas banget, kayak baru menang penghargaan Best Friend of the Year.
Gue langsung curiga.
Apa lagi, sih, rencana dia?
Gue buka salah satu folder, dan yang pertama gue lihat adalah CV seorang mahasiswi. "Ini apaan? Lo serius mau gue ikutan proses rekrutmen?"
Elnaro nunjuk gue pakai jari telunjuknya. "Percaya deh, bro, lo pasti bakal mau ikut campur soal yang satu ini."
Gue baca CV cewek itu sekilas.
Mahasiswi tingkat akhir.
Gue mengerutkan alis.
"Ini anak-anak magang? Lo mau gue terlibat dalam seleksi perekrutan?"
Elnaro duduk di kursi seberang meja gue, bersandar santai. "Iya."
Gue langsung nutup foldernya, terus dorong tumpukan berkas itu balik ke dia. "Gue gak ada waktu buat ini. Biar HRD aja yang ngurus, Elnaro."
Elnaro mendengus. "Lo benar-benar gak bisa nangkap kode dari gue, ya? Baiklah…" Dia terdengar frustrasi. "Buka folder berikutnya!"
Gue buka folder itu dengan malas, yakin banget Elnaro pasti punya maksud tertentu. Tapi pas mata gue jatuh ke nama di CV berikutnya, jari gue langsung berhenti di tengah jalan.
Ellaine.
Gue bengong.
Memperhatikan foto kecilnya di pojokan dokumen, nilai akademiknya, semua informasi tentang dia.
Dia mengajukan lamaran buat magang di perusahaan ini?
Gue ngerasa tersanjung, tapi juga bingung setengah mati.
Kenapa dia gak bilang apa-apa ke gue?
"Gue masih nunggu ucapan terima kasih, loh. Kalo bukan karena gue, lo gak bakal tahu sama sekali. Bisa aja dia magang di sini dan lo gak bakal nyadar, soalnya lo hampir gak pernah turun ke departemen itu."
"Dia keterima?"
Elnaro nyengir bangga. "Jelas! lihat tuh nilainya, performanya. Dia kandidat pertama yang langsung lolos."
Dan saat itu juga, gue sadar.
Ellaine gak bilang apa-apa karena dia pengen dapetin ini dengan usahanya sendiri. Dia pengen berhasil tanpa campur tangan gue.
Mungkin dia bahkan berencana kerja di sini tanpa gue sadari. Dan jujur, itu benar-benar bisa saja terjadi kalau Elnaro gak buka mulut.
"Gue benar-benar heran sama kemampuan lo buat ikut campur urusan di semua divisi perusahaan."
Dia mengedip jahil. "Bakat alami, bro."
"Dia bakal magang di departemen mana?"
Elnaro langsung ngangkat alis. "Biar lo bisa lihatin dia dari jauh kayak orang tolol?"
Gue memperhatikan dia dingin. "Enggak."
"Pertama, gue belum dengar Makasih, Elnaro. Lo emang sahabat terbaik di dunia, gue gak tahu bakal bagaimana tanpa lo. Oh tunggu, gue tahu… Gue bakal jadi balok es yang bahkan matahari pun gak bisa cairin."
Balok es…
Senyum tolol tiba-tiba muncul di bibir gue.
Elnaro langsung ngegas, "OH! DIA SENYUM, TUAN-TUAN DAN NYONYA-NYONYA!"
"Elnaro."
"Gue gak bakal kasih tahu dia bakal kerja di devisi mana."
"Kayak gue gak bisa cari tahu sendiri aja."
Elnaro nyengir licik. "Nah, di situ lo salah. Gue kenal lo. Ngapain tiba-tiba seorang CEO nanya-nanya soal anak magang tahun ini, padahal lo gak pernah peduli sebelumnya? Orang-orang bakal curiga, bro."
Gue ngelirik dia tajam. "Lagi doyan main game, ya, hari ini?"
"Selalu. Dan jujur aja, gue rasa Ellaine gak bilang ke lo gara-gara itu juga. Dia gak mau dapet perlakuan yang spesial di kantor, kalo lo tahu lebih awal."
"Gue gak…"
"Antari, coba bilang ke gue lo gak kepikiran buat bikin hidup dia lebih gampang dan nyaman di perusahaan ini begitu lo tahu dia bakal kerja di sini."
Gue diam.
Karena dia benar.
Gue gak bisa nahan buat mikirin bagaimana caranya bikin Ellaine betah. Gue pengen kasih dia kantor sendiri, biar dia bisa ngatur ruangannya sesuka hati.
Gue pengen beliin dia peralatan kerja paling canggih biar dia bisa ngerjain tugasnya dengan lancar. Gue pengen lihat ekspresi senangnya waktu dia duduk di belakang mejanya sendiri.
Tapi gue tahu, anak magang gak dapet kantor. Mereka cuma dapet kursi di meja kerja bersama, bareng anak-anak magang lainnya.
"Gue gak bisa bohong. Tapi gue juga hormatin dia, Elnaro. Dia pengen mulai dari nol. Dia pengen dapet semuanya atas kerja kerasnya sendiri. Kalo gue tiba-tiba turun tangan dan bikin segalanya lebih gampang buat dia, itu sama aja kayak ngehina kemampuan dan usahanya sendiri."
"SIAL, cewek ini benar-benar bikin lo kena mental."
Gue mendelik. "Dan lo benar-benar kurang kerjaan."
"Ayolah, bro, ini hari Jumat!" Elnaro ngangkat-ngangkat alisnya kayak orang ngajak nakal. "Lo gak kepengen minum whisky? Kita harus ke bar lo, gue mulai suka tuh sama ruangan lilin-lilin itu."
Gue melotot. "Terus ngingetin gue soal malam di mana lo nyaris nyosor Ellaine, itu bukan ide bagus, Elnaro.
Dia nyengir santai. "Ayolah, move on. Mana gue tahu kalo itu Ellaine? Harusnya lo bersyukur gue sadar duluan sebelum terjadi lebih jauh. Lagi pula, berkat gue kasih kode, lo bisa dateng ke bar dan nyoba menggoda dia. Dan sekali lagi, lo belum ucapin terima kasih. Gue ngerasa gak dihargai sebagai teman."
Gue mendesah. "Oh, gue harus bilang apa? Makasih, Elnaro, karena gak nempelin lidah lo di tenggorokan cewek gue?"
Begitu kata-kata itu keluar, gue langsung diam.
Cewek gue.
Brengsek.
Dia bukan cewek gue.
Elnaro langsung senyum lebar, matanya berbinar-binar. "Cewek lo, ya?"
"Lo gak dengar apa-apa."
"Semua orang di perusahaan ini takut sama lo. Tiap lo lewat, auranya dingin, serius, penuh wibawa. Tapi kalo mereka tahu aslinya lo itu lembek banget di dalam, kayak…"
"Jangan bilang."
"Tai."
"Minggat, Elnaro. Kerja. Gue potong gaji lo."
"Ini hari Jumat, men. Dan sekarang…" dia lihat jam tangannya, " jam 5 sore. Kantor tutup jam 4. Jadi lo harusnya udah ngendurin dasi lo dan nemenin gue ke bar lo."
Gue cubit pangkal hidung, ngerasa capek sendiri.
"Denger ya Elnaro, tenggelam di whisky bukan prioritas gue sekarang. Gue lagi sibuk sama proyek baru, banyak dokumen yang harus gue tanda tangan dan keputusan yang harus gue ambil.
Elnaro ngecek HP-nya, terus tiba-tiba bersiul.
"Gila, coba cek Instagram, tunangan lo lagi having fun banget di… Paris? Gue kira dia di Amerika."
"Dia udah keliling Eropa sebulan ini."
"Kapan terakhir kali lo ketemu dia?"
Gue angkat bahu. "Gak tahu. Dua bulan yang lalu, mungkin?"
"Lo nggak kelihatan kayak tunangannya, beneran."
"Gue lagi sibuk, itu aja."
Elnaro ngelirik gue, "Gimana caranya lo bertahan tanpa seks?"
"Gimana caranya lo bertahan hidup sambil nanya hal kayak gitu?"
Elnaro ngedipin mata lagi. "Lo boleh protes sepuasnya, tapi lo juga tahu lo gak bisa hidup tanpa gue."
Gue pura-pura senyum. "Gue pengen banget ngebuktiin itu."
Elnaro nunjukin jari tengah ke gue.
Dan tiba-tiba gue keingat malam di bulan Desember, tiga bulan lalu, waktu Ellaine juga ngelakuin hal yang sama setelah nantangin gue di kolam renang.
Kata-katanya masih nempel di kepala gue, bikin gue jaga jarak. Seharusnya gitu, karena dia benar, gue gak punya hak buat dekati atau ngegodain dia kalau gue sendiri gak tahu mau ngapain setelahnya.
Lagian, walaupun hubungan gue sama Maurice cuma pura-pura, secara resmi kita masih bareng. Jadi gue gak bakal naruh Ellaine dalam situasi yang gak nyaman.
"Lo gak ngerasa aneh, Maurice punya banyak banget foto sama cowok ini?"
Elnaro menyodorkan HP, nunjukin foto di Instagram. Di situ Maurice berdiri sebelah cowok tinggi, berjanggut, pakai kacamata hitam. Ada banyak foto mereka di berbagai tempat di Eropa.
"Bagus lah dia senang. Dia emang butuh liburan."
Elnaro mengerutkan alis. "Antari."
"Apa?"
"Lo bisa kasih tahu gue, apa yang sebenarnya terjadi? Tunangan lo asik-asikan sama cowok di tempat-tempat keren di Eropa, dan lo bahkan gak bereaksi sama sekali."
Gue hembuskan napas. "Gue bukan orang yang gampang cemburu, lo juga tahu itu."
"Oh, jelas." Elnaro ngangguk. "Lo gak cemburuan, tapi lo pernah mukulin adek lo sendiri dan hampir mukulin gue juga waktu tahu gue hampir aja kepancing sama Ellaine. Ini gak masuk akal, bro."
"Ellaine… itu… rumit."
"Oke, gue bakal ngurusin kekacauan ini." Elnaro hari ini lagi super nyebelin. "Lo gak peduli tunangan lo mungkin aja selingkuh sekarang, tapi lo jadi buas tiap ada orang yang bernapas di dekat Ellaine. Kesimpulannya. Lo itu jatuh cinta sama Ellaine dan gak ngerasa apa-apa sama tunangan lo."
Gue mendengus. "Jatuh cinta? Yaelah, Elnaro."
"Yang gue gak ngerti, kenapa lo masih sama Maurice kalau jelas-jelas lo maunya sama Ellaine?"
"Lo tuh perlu pacar, biar berhenti ngurusin hidup gue terus."
"Nah." Senyum Elnaro langsung ilang. "Gue gak mau yang serius."
"Elnaro…"
"Jangan kasih gue tatapan sok bijak itu."
"Udah berbulan-bulan, lo butuh lembaran baru."
"Belum, gue..." Dia menjilat bibir bawahnya, suaranya hampir gak kedengaran. "Dia udah merusak bagian dari diri gue yang gue gak tahu, bisa gue perbaikin lagi atau nggak."
"Dia selingkuh, El. Dia gak punya hak buat merusak lo. Jangan kasih dia kuasa sebesar itu atas diri lo."
Elnaro langsung berdiri. "Sip. Kalo niat lo buat ngusir gue, lo berhasil."
"Elnaro, tunggu. Gue nggak maksud…"
Dia kasih senyum setengah hati. "Gue ke bar lo. Mabok dan main di ruangan lilin. Btw, ide yang keren."
Gue menyipitkan mata. "Itu bukan ide gue."
"Oh iya, ide gue. Ups!"
Dia muter badan menuju pintu.
"Jangan bikin ribut di bar."
Elnaro cuma mengibaskan tangan, lalu ngeloyor pergi.
"Gue bakal berperilaku baik, kakek."
Begitu Elnaro pergi, gue baca berkas Ellaine sampai habis. Rasanya ada sesuatu yang aneh di dada gue. Dengan semua kesibukannya tiap hari, nilai-nilainya tetap bagus. Portofolionya juga benar-benar rapi dan profesional.
Lo bisa ngelakuin apa aja yang lo mau, ya, dasar bego.
Gue kagum sama dia. Dari awal dia gak punya apa-apa, tapi gak pernah nyerah, walaupun hidupnya jauh dari kata gampang. Jujur aja, dia jauh lebih pantas dihormati daripada gue.
Gue gak pernah benar-benar berjuang buat sesuatu. Semua yang gue punya, dari kecil udah disodorin di atas nampan emas. Bahkan pas kuliah, gue gak perlu belajar mati-matian buat lulus dengan predikat terbaik. Gue ngerti materi dengan gampang, jadi gak pernah merasa harus berusaha lebih.
Gue lulus, bokap langsung taruh gue di posisi puncak perusahaan ini. Gue tiba-tiba punya tanggung jawab buat sekian banyak karyawan. Gak pernah ngerasain mulai dari bawah, gak perlu susah payah buat dapetin posisi manajer. Gue langsung dikasih, gitu aja.
Mungkin terdengar gak tahu diri, tapi kadang gue suka mikir, bagaimana rasanya kalau gue mulai dari nol?
Bisa kenal sama semua divisi, tumbuh bareng mereka, sampai akhirnya jadi pemimpin mereka.
Jari gue nyentuh foto kecil Ellaine di layar. "Gue salut, Ellaine."
Bakat nyanyinya masih ada, tapi dia udah tahu pengen kuliah di jurusan periklanan dan pemasaran sejak umur 12.
Tapi kalau dipikir-pikir, dia udah jago dalam hal itu jauh sebelumnya. Gue masih ingat suatu siang, waktu kita masih bocah.
...
Sekolah ngadain bazar limun buat amal, tiap kelas disuruh jualan. Tapi dagangan kita… sama sekali gak laku.
"Coba lihat sini."
Ellaine ngambil papan pengumuman kita, nyoret harga 5000 per gelas dan nulis ulang. Sekarang cuma 4999! Plus dapet stiker gratis!
Gue memperhatikan dia, "Lo ngapain?"
Dia nyengir. "Gue punya banyak stok stiker yang gue dapet gratis, jadi gue bikin promo. Semua orang suka stiker!"
Gue mendelik. "Kita tetap gak bakal laku."
Kenyataannya?
Kita berhasil menjual semuanya....
Gue rasa, ada beberapa orang yang emang udah ditakdirkan buat profesi tertentu. Pikiran itu bikin gue keingat sama kejadian beberapa malam lalu, waktu Anan merengek ke bokap buat ngijinin dia kuliah kedokteran.
Gue kasihan sama adek gue, tapi gue gak bisa ngelawan bokap. Setiap kali gue kepikiran buat ngelawan, niat itu lenyap begitu gue berdiri di depannya.
Gue gak mau bikin dia marah. Gak mau ngecewain dia. Gak mau bikin dia sakit hati. Dan gue juga gak ngerti kenapa gue segitu setianya sama dia.
Mungkin gara-gara janji yang pernah gue buat?
Atau karena gue gak mau lihat dia sekacau malam itu lagi?
Waktu itu, ekspresi bokap, rasa sakitnya, keputusasaannya, mata merahnya yang basah sama air mata, itu semua masih jelas kebayang di kepala gue. Tapi di saat yang bersamaan, gue juga gak mau jadi penyebab kesedihan Anan.
Sepertnya hidup ini senang banget menjebak gue di tengah mereka, memaksa gue buat milih antara dua orang yang paling gue peduliin.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔