Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpuruk Semakin Dalam
Hari-hari berlalu dengan atmosfer yang semakin menekan bagi Melia. Arvin semakin menjauh dan Keyla semakin sering muncul dalam percakapan, baik secara langsung maupun tidak. Hati Melia seperti diiris perlahan-lahan. Namun, ia masih mencoba bertahan, berharap ada perubahan dari Arvin.
Arvin sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan jas abu-abu favoritnya sambil mengecek ponsel. Sementara itu, Melia membuatkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan secangkir kopi, berharap setidaknya bisa memulai pagi dengan baik.
“Arvin, sarapan dulu,” kata Melia dengan suara lembut.
Arvin melirik sebentar ke meja makan lalu berkata, “Nggak sempat, Mel. Aku ada meeting pagi ini.”
“Tapi cuma sebentar kok. Kamu kan belum makan apa-apa.”
Arvin menggeleng dan langsung mengambil kunci mobilnya. “Nggak usah. Aku bisa beli di kantor.”
Melia menatap punggung Arvin yang semakin menjauh. “Arvin,” panggilnya pelan.
Arvin berhenti di ambang pintu. “Apa lagi?” tanyanya dengan nada datar.
Melia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kamu akhir-akhir ini beda banget. Bisa nggak kita ngomong serius nanti malam?”
Arvin mendesah kesal. “Mel, aku sibuk. Jangan bikin masalah di pagi hari, ya.” Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dan membanting pintu.
Melia menunduk, memandangi roti panggang yang masih utuh. Air matanya hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat mengusapnya. “Aku nggak boleh menangis. Aku harus kuat.”
Arvin tiba di kantor dengan wajah sedikit kesal. Ia melangkah cepat menuju ruangannya dan mendapati Keyla sudah menunggunya di depan pintu.
“Selamat pagi, Pak Arvin!” sapa Keyla dengan senyum manisnya yang khas.
Arvin mengangguk singkat. “Pagi, Keyla. Ada apa?”
Keyla mengangkat sebuah map berisi laporan. “Ini laporan mingguan tim marketing, Pak. Dan... saya juga bawakan kopi untuk Bapak. Saya tahu pagi ini pasti Bapak butuh energi ekstra.”
Arvin menatap Keyla sekilas, merasa sedikit lega melihat sikap perhatian itu. “Makasih, Keyla. Kamu memang paling bisa diandalkan.”
“Ah, saya cuma membantu apa yang saya bisa, Pak.” Keyla tersenyum sambil menunduk sedikit. Namun, di balik senyum itu, ada rencana licik yang mulai berjalan.
Keyla berjalan cepat menuju pantry dengan wajah yang terlihat panik. Beberapa karyawan yang melihatnya mulai berbisik-bisik.
“Ada apa dengan Mbak Keyla?” bisik salah satu pegawai.
“Nggak tahu. Tapi katanya dia dimarahi Pak Arvin tadi,” jawab yang lain.
Tidak lama, Keyla keluar dari pantry sambil menahan tangis. Di tangannya ada sebuah berkas yang sedikit kusut. Melihat itu, beberapa pegawai langsung mendekatinya.
“Mbak Keyla, kenapa?” tanya salah satu rekan kerja.
Keyla menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Ini salah saya kok. Saya tadi keliru memasukkan data di laporan, jadi Pak Arvin marah. Saya nggak sengaja...” suaranya sengaja dipelankan, seolah menahan isak.
“Oh, ya ampun. Pak Arvin memang galak banget akhir-akhir ini.”
“Sebenarnya Pak Arvin baik, kok,” ujar Keyla cepat-cepat, seolah membela Arvin. “Mungkin beliau cuma lagi stres karena banyak pekerjaan. Dan... mungkin karena ada masalah di rumah juga.”
Ucapan itu langsung membuat beberapa pegawai memasang wajah penasaran. “Masalah rumah? Maksudnya gimana, Mbak Keyla?”
Keyla tampak ragu-ragu, lalu tersenyum kecil. “Nggak, bukan apa-apa. Saya nggak enak kalau ngomongin soal pribadi atasan saya.”
Namun, kalimat itu justru membuat semua orang semakin curiga dan mulai menyebarkan gosip di antara mereka. Keyla berhasil melancarkan niatnya, perlahan tapi pasti, ia mulai menciptakan image buruk tentang Melia di mata Arvin dan orang sekitarnya.
Arvin sedang sibuk membaca laporan di mejanya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Keyla:
“Pak, maaf sebelumnya. Saya cuma mau bilang, saya nggak enak melihat Bapak akhir-akhir ini. Saya tahu mungkin Bapak sedang banyak masalah, baik di kantor maupun di rumah. Kalau Bapak butuh teman bicara, saya siap mendengarkan. :)”
Arvin menatap pesan itu lama, lalu mendesah. Ia merasa sedikit tersentuh oleh perhatian Keyla. Dalam beberapa bulan terakhir, ia memang sering merasa lelah dan tertekan, tetapi tak pernah membicarakannya dengan siapa pun, termasuk Melia.
Arvin membalas singkat: “Makasih, Keyla. Kamu baik banget. Nanti kalau ada waktu, mungkin kita bisa ngobrol.”
Di ruangan lain, Keyla membaca pesan itu sambil tersenyum puas. Permainannya berjalan dengan sempurna.
Melia duduk di meja makan, menunggu Arvin pulang seperti biasa. Kali ini, ia sengaja memasak menu sederhana tetapi penuh perhatian, sup ayam hangat dan nasi putih.
Pukul sudah menunjukkan 9 malam ketika suara pintu terbuka. Arvin masuk dengan wajah lelah dan langsung duduk di sofa.
“Kamu udah makan?” tanya Melia pelan.
“Belum,” jawab Arvin singkat.
Melia berdiri, mengambil semangkuk sup yang sudah ia siapkan. “Aku masakin sup buat kamu. Makan dulu, ya?”
Arvin hanya meliriknya sekilas. “Aku nggak lapar, Mel.”
“Tapi kamu belum makan seharian.”
“Aku bilang nggak lapar!” bentak Arvin tiba-tiba.
Melia terkejut, mangkuk sup di tangannya nyaris terjatuh. “Kenapa kamu marah?”
Arvin mendesah kasar. “Aku capek, Mel. Kamu selalu aja nanya ini itu. Bisa nggak kamu biarin aku istirahat?”
Melia menggigit bibirnya, menahan perasaan sakit di dadanya. “Aku cuma khawatir sama kamu, Arvin.”
“Ya, tapi caranya salah! Kamu bikin aku tambah stres.”
Melia menatap Arvin dengan tatapan penuh luka. “Aku yang bikin kamu stres, atau ada orang lain yang bikin kamu lebih nyaman?”
Arvin langsung menatap tajam ke arah Melia. “Maksud kamu apa? Kamu nuduh aku selingkuh? Gara-gara Keyla?”
“Aku nggak bilang begitu. Tapi jelas, kamu berubah sejak dia ada,” ujar Melia dengan suara bergetar.
Arvin berdiri dengan wajah kesal. “Terserah kamu mau mikir apa. Aku capek!” Ia berjalan menuju kamar, meninggalkan Melia sendirian di ruang makan.
Melia duduk kembali di kursinya. Tangannya gemetar, dan air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Apa salahku sampai semua ini terjadi?”
Di tempat lain, di apartemen Keyla.
Keyla duduk di sofa sambil memandangi layar ponselnya. Sebuah pesan dari Arvin masuk:
“Keyla, terima kasih udah peduli sama aku. Kamu benar, kadang aku memang butuh teman bicara. Mungkin besok kita bisa makan siang bareng?”
Keyla tersenyum puas. Ia tahu, perlahan tapi pasti, ia berhasil membuat Arvin semakin percaya padanya. Rencananya mulai membuahkan hasil.
“Sebentar lagi, Melia,” gumam Keyla dengan suara pelan. “Sebentar lagi, Arvin akan sepenuhnya jadi milikku.”
Melia semakin terpuruk dalam hubungan yang terasa semakin dingin. Arvin, yang perlahan-lahan termakan permainan Keyla, semakin menjauh darinya. Sementara itu, Keyla dengan lihai memutarbalikkan keadaan, menciptakan keretakan yang semakin lebar di antara mereka.
Namun, di kejauhan, Gabriel mulai memikirkan Melia lebih sering. Firasatnya semakin kuat bahwa Melia sedang tidak baik-baik saja. Dan tanpa Melia sadari, seseorang perlahan mendekat untuk menyelamatkannya dari kegelapan yang semakin dalam.
Permainan licik Keyla yang mulai sukses dan Melia yang terus merasa kehilangan Arvin. Situasi semakin memanas.