"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia dalam Cermin
Retakan-retakan cahaya di langit-langit pagoda mulai membentuk pola baru—bukan lagi seperti jaring laba-laba, tapi seperti sisik-sisik raksasa yang tumpang tindih. Kabut hitam dengan kilatan emas berputar semakin cepat, menciptakan dinding yang memisahkan Mei dan para Pengembara dari ketiga Penjaga.
"Mereka tidak memberitahumu satu hal lagi, bukan?" Liu Xian berkata lembut, suaranya kini campuran antara gadis muda dan sesuatu yang jauh lebih tua. "Tentang ibumu?"
Mei merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Dari balik dinding kabut, dia bisa mendengar suara Wei An yang mencoba berteriak sesuatu, tapi kata-katanya teredam oleh dengung yang semakin keras dari kedua Cermin.
"Apa hubungannya ibuku dengan semua ini?" Mei bertanya, meski sebagian dari dirinya takut mendengar jawabannya.
Liu Xian mengulurkan tangannya yang transparan, dan tiba-tiba, permukaan kedua Cermin beriak lebih kuat. Dalam pantulannya, Mei melihat sebuah adegan yang tidak pernah dia saksikan sebelumnya: seorang wanita muda yang mirip dengannya, duduk di sebuah ruangan yang tampak seperti ruang penyimpanan teh Madam Lian, tapi versi yang jauh lebih tua.
"Zhang Lin," Liu Xian menyebut nama yang membuat Mei tersentak. "Ibumu adalah salah satu dari kami, Mei. Salah satu Pengembara yang hampir—hampir saja—berhasil lolos."
"Tidak mungkin," Mei menggeleng. "Ibuku... dia meninggal saat melahirkanku. Itu yang selalu diceritakan padaku."
"Oleh siapa?" Liu Xian bertanya dengan nada yang tahu jawaban. "Oleh para Penjaga yang telah membimbingmu sejak lahir? Oleh orang-orang yang mengaku melindungimu tapi sebenarnya mempersiapkanmu untuk momen ini?"
Permukaan kedua Cermin kembali beriak, menampilkan adegan lain: Zhang Lin yang lebih muda, berdiri di hadapan sebuah cermin antik, tangannya menyentuh pergelangan tangan yang memiliki tanda yang sama persis dengan yang dimiliki Mei.
"Ibumu," Liu Xian melanjutkan, "adalah yang pertama berhasil menemukan celah dalam waktu yang membeku. Dia hampir berhasil meloloskan diri, kembali ke masa di mana semuanya belum terjadi. Tapi para Penjaga menemukannya tepat waktu."
"Tepat waktu untuk apa?" Mei bertanya, meski dia mulai menduga jawabannya.
"Untuk menggunakan kehamilannya sebagai kesempatan," suara lain menjawab—si cendekiawan tua yang kini berdiri di sisi lain Mei. "Untuk menciptakan jembatan baru antara dunia manusia dan dunia Naga."
Mei merasakan kakinya gemetar. "Aku? Aku adalah... jembatan itu?"
"Ya dan tidak," Liu Xian menggeleng. "Kau adalah sesuatu yang lebih dari sekadar jembatan. Kau adalah hasil dari lima ratus tahun percobaan mereka yang gagal. Ketika ibumu hamil dalam keadaan setengah terjebak dalam waktu, para Penjaga melihat kesempatan yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya."
"Kesempatan untuk menciptakan wadah sempurna," si cendekiawan menambahkan. "Seseorang yang lahir dengan satu kaki di dunia manusia dan satu kaki di celah waktu. Seseorang yang bisa menampung kekuatan Naga tanpa hancur."
Kabut hitam berkilau emas di sekeliling mereka berputar lebih cepat, dan dari kejauhan, raungan para Naga terdengar semakin dekat. Mei bisa merasakan getaran dari kedua Cermin menjadi semakin intens, seperti detak jantung makhluk purba yang mulai bangun dari tidur panjangnya.
"Tapi apa yang terjadi pada ibuku?" Mei bertanya, suaranya bergetar.
Liu Xian dan si cendekiawan bertukar pandang, dan untuk sesaat, bayangan mereka berkedip—menampakkan sosok-sosok bersisik yang tersembunyi di baliknya.
"Dia tidak mati saat melahirkanmu," Liu Xian akhirnya berkata. "Dia... terjebak. Lebih dalam dari sebelumnya. Ketika ritual yang mereka lakukan untuk memastikan kau lahir dengan tanda itu berhasil, ada harga yang harus dibayar."
"Dan ibuku yang membayarnya?"
"Ya," si cendekiawan mengangguk. "Dia menjadi seperti kami—tapi lebih buruk. Tidak bisa bergerak maju atau mundur dalam waktu. Bahkan tidak bisa muncul dalam bentuk bayangan seperti kami. Dia... ada di suatu tempat di antara detik-detik yang membeku, selamanya."
Mei merasakan air mata mengalir di pipinya. Tiba-tiba, semua kenangan tentang teh yang dia seduh selama ini memiliki makna baru—terutama teh hitam Madam Lian yang konon bisa menyembuhkan patah hati. Mungkin itu bukan sekadar teh biasa. Mungkin itu adalah cara Madam Lian memberinya kesempatan untuk merasakan kehadiran ibunya, meski hanya dalam bentuk kenangan yang mengambang di permukaan air panas.
"Kalian bilang aku bisa membebaskan para Pengembara," Mei berkata perlahan. "Apa itu berarti... aku juga bisa membebaskan ibuku?"
"Ya," Liu Xian menjawab. "Tapi ada harganya."
"Selalu ada harganya," si cendekiawan menambahkan dengan nada getir.
Sebelum Mei bisa bertanya lebih jauh, retakan di langit-langit pagoda tiba-tiba melebar. Cahaya keemasan memancar lebih terang, dan dalam kilauannya, Mei bisa melihat bayangan-bayangan besar bergerak di atas sana—seperti ikan raksasa berenang di bawah permukaan air yang membeku.
"Para Naga," Liu Xian berbisik, dan untuk pertama kalinya, ada ketakutan dalam suaranya. "Mereka sudah sangat dekat sekarang."
"Tapi bukankah itu yang kalian inginkan?" Mei bertanya, kebingungan. "Bukankah kalian ingin para Naga bebas untuk membalas dendam?"
Liu Xian dan si cendekiawan kembali bertukar pandang, dan kali ini, ketika bayangan mereka berkedip, Mei melihat sesuatu yang berbeda dalam sosok bersisik mereka—sesuatu yang lebih... manusiawi.
"Kami ingin bebas," Liu Xian mengakui. "Tapi kebebasan dan pembalasan dendam adalah dua hal yang berbeda. Dan setelah lima ratus tahun terjebak di sini, kami mulai mengerti bahwa ada hal-hal yang lebih buruk dari kutukan para Penjaga."
"Seperti apa?" Mei bertanya, meski getaran kedua Cermin di tangannya mulai memberi petunjuk akan jawabannya.
"Seperti menjadi sesuatu yang bukan dirimu," si cendekiawan menjawab. "Kami sudah terlalu lama berada di sini, Mei. Terlalu lama terpapar kekuatan yang tidak seharusnya ada di dunia manusia. Dan sekarang..." Dia mengangkat tangannya yang transparan, dan untuk sesaat, Mei melihat sisik-sisik keemasan berkilau di balik kabut yang membentuk sosoknya.
"Kami tidak sepenuhnya manusia lagi," Liu Xian menyelesaikan. "Dan tidak juga sepenuhnya Naga. Kami adalah sesuatu di antaranya—seperti kau, tapi dalam cara yang sangat berbeda."
Retakan di langit-langit semakin melebar, dan kali ini, Mei bisa melihat dengan jelas apa yang bergerak di atasnya: lima sosok raksasa dengan sisik berkilau dalam warna yang berbeda-beda—emas, perak, jade, lazuli, dan merah darah. Para Naga Lima Elemen, akhirnya terbangun dari tidur panjang mereka.
"Jadi apa yang harus kulakukan?" Mei bertanya, suaranya hampir tenggelam dalam raungan yang semakin keras dari atas. "Bagaimana aku bisa membebaskan kalian—membebaskan ibuku—tanpa membiarkan para Naga membalas dendam?"
"Kau adalah kunci," Liu Xian berkata. "Tapi juga gembok. Penjara sekaligus pembebas." Dia menunjuk pada kedua Cermin di tangan Mei. "Cermin-cermin itu tidak hanya memantulkan gambar atau waktu. Mereka memantulkan esensi—jiwa dari segala sesuatu yang mereka tangkap."
"Dan karena kau lahir di antara dua dunia," si cendekiawan melanjutkan, "kau bisa menggunakan mereka untuk membuka jalan baru—bukan ke masa lalu atau masa depan, tapi ke suatu tempat di antaranya. Suatu tempat di mana kami bisa ada tanpa terjebak, di mana para Naga bisa bebas tanpa menghancurkan."
"Tapi bagaimana?" Mei bertanya frustrasi. "Aku bahkan tidak tahu cara menggunakan kedua Cermin ini!"
"Kau tahu," Liu Xian tersenyum, dan untuk pertama kalinya, senyumnya tampak sepenuhnya manusiawi. "Kau selalu tahu. Dalam setiap cangkir teh yang kau seduh, dalam setiap kenangan yang kau baca dari permukaannya. Kau telah melakukannya sepanjang hidupmu—menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini melalui aroma dan rasa."
Mei menatap kedua Cermin di tangannya, mengamati bagaimana permukaan mereka beriak seperti air dalam cangkir teh yang baru diseduh. Mungkinkah semudah itu? Mungkinkah jawabannya telah ada di hadapannya sejak awal?
Tapi sebelum dia bisa mencoba apapun, raungan dari atas berubah menjadi lebih keras dan lebih marah. Retakan di langit-langit akhirnya mencapai batasnya, dan dalam ledakan cahaya keemasan yang membutakan, lima sosok raksasa menerobos masuk ke dalam pagoda.
Para Naga Lima Elemen telah bangkit sepenuhnya, dan bersama mereka, rahasia-rahasia yang telah terkubur selama lima ratus tahun siap untuk terungkap.