NovelToon NovelToon
Cahaya Terakhir Senja

Cahaya Terakhir Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Allamanda Cathartica

Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.

Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.

#A Series

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13: Persepsi yang Keliru

Setelah pertandingan basket selesai, Abyan dan Fariz memutuskan untuk berkumpul di rumah Alfariel. Suasana di kamar terasa santai, hingga Alfariel tiba-tiba memecah keheningan.

"Gue tadi habis dimarahi sama Pak Dastan," ujar Alfariel membuka pembicaraan dengan nada setengah kesal.

Fariz dan Abyan spontan saling bertukar pandang, bingung mendengar pengakuan itu. Abyan bahkan terdiam mematung, matanya tidak berkedip karena terkejut. Sementara itu, Fariz dengan rasa ingin tahu yang memuncak, mencoba memastikan dia tidak salah dengar.

"Serius, Al?" tanya mereka berbarengan.

Ucapan itu membuat Alfariel tersedak tepat saat dia hendak menenggak air mineral dari gelasnya. Dia buru-buru meletakkan gelas itu di atas nakas lalu menatap kedua temannya dengan kesal.

"Gila kalian berdua!" serunya dengan nada jengkel, matanya melotot ke arah Fariz dan Abyan.

Fariz menyengir bodoh, sedangkan Abyan mengusap tengkuknya merasa bersalah.

"Kalau gue mati gara-gara tersedak, kalian mau tanggung jawab?" Alfariel kini melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kita bersyukur aja. Iya kan, By?" ucap Fariz sambil menoleh ke Abyan seolah meminta persetujuan. Kemudian, mereka bertos ria. Keduanya tidak menyadari wajah Alfariel yang semakin menunjukkan ekspresi jengkel.

Alfariel menjatuhkan dirinya ke sofa empuk, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan. Tangannya meraih gitar yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Perlahan, dia memetik senar gitar, mengiringi suaranya yang mulai bernyanyi.

Fariz yang duduk di sampingnya malah ikut bergabung. Dia bernyanyi bersama Alfariel, sampai-sampai lupa alasan sebenarnya datang ke rumah itu. Di sisi lain, Abyan hanya bisa menggeleng pasrah, melihat Fariz yang justru ikut bersenang-senang. Sementara itu, Abyan terus memutar otak. Dia mencoba mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi Alfariel. Ironisnya, Alfariel sendiri terlihat santai, seolah tidak ada masalah yang membebaninya.

PLETAK!

"Oi, Fariz, kenapa ikutan nyanyi?" Abyan mendaratkan jitakan mautnya di dahi Fariz.

Fariz memegangi dahinya. "Kenapa sih? Enak tau, By. Dibawa santai aja."

Abyan menggaruk kepalanya pasrah. "Terserah. Gue mau tidur aja." Abyan merebahkan tubuhnya di kasur empuk kepunyaan Alfariel.

"Awas aja ya kalau sampai lo ngiler. Gue suruh lo ganti kasur sama sprei yang baru," kata Alfariel yang mendapat acungan jempol dari Abyan.

“Eh, tapi serius deh, gue mau tanya, muka lo kenapa bonyok semua? Gegara berantem sama siapa, Al?” tanya Fariz. “Perasaan gue tadi pas tanding basket masih ganteng, loh.”

Alfariel berdecak kesal. “Lo tahu nggak sih, pas otw pulang tadi lewat gang belakang sekolah, tiba-tiba gue dicegat sama gengnya Kak Revan. Entah kenapa si anak monyet itu langsung ngebogem pipi gue. Ya gue nggak terima dong, jadi gue baleslah dia. Bayangin gue lawan mereka berlima sendirian Bro …. dan sialnya lagi ketahuan sama Pak Dastan, duh pasti tuh orang bakal ngadu ke bokap gue.”

“Wah, parah banget tuh orang.” ucap Abyan yang terduduk dari tidurnya dengan gerutuan.

Tok-tok-tok.

Terdengar ketukan pintu yang menghentikan obrolan mereka. Belum sempat Alfariel menyuruh orang itu untuk masuk, pintu kamar Alfariel terbuka dan menampakkan seorang perempuan dengan seragam sekolah yang persis dengan seragam dari SMA Global. Bukan persis lagi, memang itu seragam SMA Global. Logo sekolah yang berada di seragam Agisha sudah menjelaskan semuanya.

"Kak Ren, dipanggil Papa. Ditunggu di taman belakang," ucap Agisha lalu pergi meninggalkan Alfariel.

"Tunggu dulu, Ca!" perintah Alfariel.

Agisha menoleh. "Kenapa?" tanya Agisha yang bersender di pintu.

Alfariel menaruh gitarnya lalu menghampiri sang adik. Ditatapnya lekat penampilan Agisha, sesekali Alfariel mengucek matanya memastikan apa yang dilihatnya ini benar. Tetapi nihil, yang dilihatnya memang benar, Agisha memakai seragam SMA Global.

"Pindah sekolah?" tanya Alfariel yang masih tidak yakin.

"Heum," gumam Gesha.

"Sejak kapan?" Alfariel terus saja bertanya membuat Agisha merasa jengah.

"Seminggu yang lalu," jawab Agisha singkat. Dia tidak ingin berbasa-basi lagi dengan Alfariel.

Agisha membanting pintu dengan keras saat dia keluar dari kamar Alfariel. Fariz terkejut mendengar suara dentuman itu, begitu juga Abyan yang ikut tersentak mendengar bunyi yang berasal dari pintu kamar Alfariel. Alfariel hanya menggeleng-gelengkan kepala, merasa tidak percaya bahwa Agisha bisa melakukan hal seperti itu kepadanya. Ada yang aneh pada diri Agisha.

'Masa bodoh! Gue nggak peduli,' batin Alfariel.

Alfariel bergegas menuju taman belakang. Tumben sekali Gio memanggil Alfariel, di taman belakang pula, pasti ada sesuatu penting yang mau Gio sampaikan kepada Alfariel. Sesampainya disana, Alfariel melihat Gio yang sudah menunggunya. Dari ekspresi Gio yang semrawut, Alfariel langsung bisa merasakan bahwa masalah yang dihadapi papanya sangat serius. Apa mungkin ini soal perusahaan? Sebelum ini, perusahaan tampak berjalan dengan baik-baik saja, tetapi masalah bisa saja muncul mendadak.

"Duduk, Ren!" titah sang Papa dengan nada tegas.

Alfariel menurut dan duduk di sebelah Gio.

"Apa maksudmu?" tanya Gio tanpa menatap Alfariel. Tatapan matanya hanya mengarah ke awan abu-abu yang memenuhi langit siang.

Alfariel mengerutkan kening, bingung. "Maksud dari apa, Pa?"

"Jangan kira Papa tidak tahu, Ren," ucap Gio sambil memberi kode dengan suara tegas.

Alfariel sedikit mengingat-ingat. Pikirannya mulai terarah pada kejadian tadi yang akhirnya membuat semuanya jelas. Sudah dia duga, pasti Pak Dastan melaporkan kejadian tadi kepada Gio.

"Papa itu salah paham. Jangan langsung percaya sama Pak Dastan," jawab Alfariel dengan sikap acuh.

Gio segera memegang pundak Alfariel dan memutar tubuh Alfariel agar mereka berhadapan.

"Salah paham katamu? Rendra, kamu keterlaluan, Nak." Gio mencoba mencari jawaban yang jujur dari Alfariel. Gio tidak suka jika anaknya berkata bohong.

Alfariel menunduk malas, enggan menatap wajah garang papanya.

"Ren, coba lihat Papa!" suruh Gio dengan nada tegas.

Alfariel mendongak pelan.

"Papa tahu kamu kesal sama teman-temanmu. Tapi Ren juga harus paham, kekerasan bukanlah solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Harus bicara dengan kepala dingin, Ren. Tidak boleh langsung menghakimi sendiri," jelas Gio dengan napas yang dalam, berusaha menenangkan diri. "Jangan anggap karena Papa tidak bisa selalu mengawasimu, kamu bisa  bertindak sesuka hati. Papa tahu kalau Ren belum sepenuhnya menerima kenyataan. Teta—"

"Sudahlah, Pa. Jangan bawa-bawa Mama dalam masalah ini. Iya, memang Ren yang salah. Sudah Ren akui, kan?" sela Alfariel tengah pembicaraan.

"Tidak semudah itu, Ren," jawab Gio dengan lembut namun tetap tegas.

"Lalu Ren harus bagaimana?" tanya Alfariel dengan malas.

"Ren harus minta maaf kepada temanmu," nasihat Gio dengan penuh kesabaran.

"Oke, fine. Ren akan lakukan, Pa," ujar Alfariel akhirnya, mengakhiri pembicaraan dengan sang Papa.

Alfariel yang lelah mendengar nasihat dari Gio, beranjak pergi meninggalkan Gio sendirian. Seperti biasanya, Alfariel selalu mengalihkan pembicaraannya dengan pergi dari tempat kejadian.

"Ren," panggil Gio kepada Alfariel yang meninggalkan dirinya sebelum percakapan itu berakhir.

Alfariel terus melangkah, pikirannya penuh dengan perasaan kesal dan kecewa. Setiap kata dari Gio seolah hanya terdengar seperti angin lalu, tidak benar-benar masuk ke dalam hatinya. Dia tahu, di dalam hatinya ada ketidakpuasan yang terus berkecamuk, rasa yang sulit untuk diterima begitu saja.

***

Bersambung …..

1
Oryza
/Speechless/
Hindia
nah kan bener ada backingannya
Hindia
pantes aja ya ternyata dia punya backingan
Hindia
sok sok an banget
Hindia
parah banget mita
Hindia
sumpah bu tya ini sangat mencurigakan
Hindia
lah berarti selama ini alfariel ngode gak sihh kalau emang ekskul tari itu ada sesuatu
Hindia
Alurnya ringan, sejauh ini bagusss
Hindia
Walahhh alfariel mah denial mulu kerjaannya
Hindia
Gass terus abyan
Hindia
Tumben banget nih si Fariz agak bener otaknya
Gisala Rina
🤣🤣
Gisala Rina
udah lupa ajah nih anak 🤣🤣
Gisala Rina
mungkin ada alasan yang bikin papa lu ga bicara jujur.
Gisala Rina
jangan gitu. begitu juga itu papa lu alfariel 🤬
Gisala Rina
mang eak mang eak mang eak sipaling manusia tampan 1 sekolah 😭
Gisala Rina
cowok bisa ngambek juga yaa ternyata hahaha
Gisala Rina
Kwkwkwkwk kalian kok lucu
Gea nila
mending kamu fokus ajah alfariel. emang sih bakal susah. tapi ya gimana lagi 😭
Gea nila
wkkwkwk sabar ya nasib jadi tampan ya gitu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!