Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Kopi dan Rasa yang Tak Terucap
Bab 9: Aroma Kopi dan Rasa yang Tak Terucap
Festival kopi di kedai Pak Herman terus berlanjut hingga sore. Rania dan Bintang sibuk mencicipi kopi, berbincang dengan peserta, dan sesekali membantu Pak Herman melayani pengunjung. Suasana penuh kehangatan, seperti reuni kecil bagi para pecinta kopi.
Di salah satu sudut, Bintang menemukan Rania sedang memerhatikan seorang barista yang sedang membuat kopi dengan teknik pour over. Matanya fokus, bibirnya sedikit tersenyum, seolah dia menemukan sesuatu yang menenangkan dalam proses itu.
“Menarik, ya?” Bintang mendekat sambil menyodorkan secangkir kopi yang baru saja dia beli.
Rania mengangguk. “Gue selalu kagum sama teknik ini. Rasanya kayak seni yang hidup.”
“Lo udah pernah coba bikin?”
“Belum. Tapi kayaknya seru.”
Bintang tersenyum penuh arti. “Kapan-kapan gue ajarin.”
“Deal.”
---
Sore menjelang malam, Pak Herman mengajak mereka berdua duduk di teras belakang kedai, tempat yang lebih sepi dan nyaman. Udara mulai dingin, dan aroma kopi masih terasa di sekitar mereka.
“Gimana, kalian menikmati festivalnya?” tanya Pak Herman sambil menuangkan kopi dari teko kecil.
“Banget, Pak,” jawab Rania dengan antusias. “Banyak banget hal baru yang gue pelajari.”
Pak Herman tersenyum. “Kopi itu seperti kehidupan. Semakin dalam lo gali, semakin banyak yang bisa lo temukan.”
Bintang mengangguk setuju. “Gue setuju, Pak. Dan setiap orang punya cara sendiri buat menikmati kopinya.”
“Betul. Dan ingat, Nak,” Pak Herman menatap mereka dengan serius, “kopi yang paling enak itu bukan soal rasa, tapi soal dengan siapa lo menikmatinya.”
Mereka bertiga terdiam sejenak, merenungi kata-kata itu. Rania menatap cangkir kopinya, merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar minuman ini.
---
Dalam perjalanan pulang, Rania duduk diam di belakang motor Bintang, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Ada perasaan hangat yang mengisi dadanya, campuran antara kebahagiaan dan ketenangan.
Tiba-tiba, Bintang bersuara. “Rania, lo pernah mikir nggak, kenapa kopi bisa bikin orang terhubung?”
“Mungkin karena kopi itu jujur. Dia pahit, tapi kalau lo kasih gula atau susu, dia berubah. Kayak hidup, tergantung gimana cara lo menghadapinya.”
Bintang tertawa kecil. “Puitis juga, lo.”
“Lagi terinspirasi.”
Mereka tertawa bersama, membiarkan suasana malam menemani perjalanan mereka kembali ke kota.
---
Keesokan harinya, Rania memutuskan untuk mencoba teknik pour over di kafe. Dia menyiapkan alat-alatnya dengan hati-hati, mengikuti setiap langkah yang dia ingat dari festival kemarin.
Bintang datang tepat saat Rania menuangkan air panas ke atas bubuk kopi.
“Wih, serius banget,” komentarnya sambil duduk di meja dekat bar.
“Lo jangan ganggu. Gue lagi konsentrasi.”
Bintang mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke, Mbak Barista. Gue tunggu hasilnya.”
Beberapa menit kemudian, Rania menyajikan cangkir kopi di depan Bintang. “Coba, kasih nilai.”
Bintang mengambil cangkir itu, mencium aromanya terlebih dahulu, lalu menyeruput pelan. Matanya sedikit menyipit, seolah menganalisis rasa kopi itu dengan serius.
“Hmm... ini enak. Ada rasa fruity di akhir, dan teksturnya halus. Gue kasih nilai delapan.”
Rania tertawa. “Delapan aja? Lo pelit banget.”
“Kalau mau sepuluh, lo harus bikin kopi spesial buat gue, yang cuma lo yang bisa bikin.”
Rania mengangkat alis. “Spesial? Tantangan diterima.”
---
Hari-hari berikutnya, Rania mulai bereksperimen dengan berbagai resep dan teknik. Dia mencoba mencampur berbagai jenis biji kopi, menambahkan rempah-rempah, dan bahkan membuat sirup sendiri.
Bintang selalu menjadi ‘kelinci percobaan’, mencicipi setiap kreasi baru Rania dengan sabar.
“Gue nggak tahu ini masih kopi atau ramuan sihir,” komentar Bintang suatu hari setelah mencicipi kopi dengan tambahan kayu manis dan madu.
“Lo nggak ngerti seni, Mas Pahit,” balas Rania sambil tertawa.
Namun, di balik semua eksperimen itu, Rania merasa bahwa dia menemukan lebih dari sekadar resep. Dia menemukan kebahagiaan dalam prosesnya—dalam menciptakan sesuatu yang unik, sesuatu yang memiliki cerita.
“Bintang,” kata Rania suatu malam, “gue rasa gue tahu kopi spesial apa yang bakal gue bikin buat lo.”
“Apa tuh?”
Rania tersenyum misterius. “Tunggu aja. Lo bakal tahu.”
To be continued...