Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pagi yang indah belum tentu hari yang baik bagi Nadia.
Nadia, siswi kelas 10, memulai hari dengan perasaan yang berat. Meski sinar matahari pagi menerobos jendela kamarnya, membawa kehangatan, ada rasa takut yang tak bisa diusir dari pikirannya. Ia akan kembali bertemu dengan Cici, siswi kejam di kelasnya.
Ibunya, Dewi, mengantarnya ke sekolah pagi itu. Dewi adalah seorang wanita yang penuh kasih, selalu memastikan Nadia memulai harinya dengan semangat. "Baik-baik ya, Nak," ucap Dewi dengan lembut sambil tersenyum, mencoba memberi dukungan.
"Iya, Mom," jawab Nadia dengan nada ceria, meski ia menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya. Nadia tak ingin membuat ibunya khawatir, tetapi bayangan tentang Cici dan perlakuan buruknya terus menghantui pikiran Nadia selama perjalanan menuju sekolah.
Sesampainya di sekolah, lonceng berbunyi, menandakan seluruh siswa-siswi harus segera berkumpul di lapangan untuk upacara. Dengan perlahan, Nadia berjalan ke arah lapangan, berharap dapat melihat ketua OSIS (Ketos) yang baru memaparkan program-programnya. Ia membayangkan bagaimana program-program tersebut akan membawa perubahan positif di sekolah. Namun, khayalan itu segera pupus ketika langkahnya dihentikan oleh suara familiar.
"Mau ke mana, Nad?" ucap Cici dengan nada mengejek sambil mendekati Nadia.
Nadia terdiam, menunduk tanpa berani menatap mata Cici. Ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Cici, yang sudah terkenal sebagai siswi yang sulit dihadapi, tertawa sinis.
"Tempatmu bukan di sini, Cok. Tempatmu itu di kamar mandi!" teriak Cici sambil tertawa lebar.
Imel dan Dina, sahabat Cici yang sering ikut-ikutan, segera mendekat. Mereka tertawa senang melihat ketakutan di wajah Nadia. "Seret, masukkan dia ke tempat di mana dia bisa tidur tenang," perintah Cici dengan nada dingin.
Nadia berusaha bertahan, tetapi tubuhnya ditarik dengan kasar oleh Imel dan Dina. Rambutnya dicengkeram kuat, tubuhnya diseret mengelilingi kelas dengan cara yang sangat menyakitkan. Nadia hanya terdiam, menahan air mata. Ia tahu melawan hanya akan membuat mereka semakin menjadi-jadi.
"Udah cukup," kata Cici akhirnya. "Masukkan dia ke kamar mandi!"
Nadia yang sudah lemas, tubuhnya dijatuhkan ke lantai keramik. Rambutnya kembali ditarik dengan keras Nadia hanya bisa mendorong tubuhnya dengan kedua kakinya sambil tergeletak di kramik, berusaha melawan tangan-tangan kejam itu. Dengan kasar, mereka mendorongnya ke dalam kamar mandi dan menguncinya di sana.
Di dalam kamar mandi, Nadia duduk di lantai yang dingin. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak membiarkan air matanya jatuh. Dengan perlahan, ia merapikan seragamnya yang kusut dan berusaha membersihkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya Nadia mengalami kejadian seperti ini, tetapi rasa sakitnya tetap sama.
Saat lonceng berbunyi menandakan mata pelajaran dimulai, Nadia memberanikan diri untuk keluar dari kamar mandi. Ia berjalan menuju kelas dengan langkah yang pelan. Ketika masuk, ia langsung meminta maaf kepada guru. "Maaf, Bu, saya terlambat masuk," katanya dengan suara pelan.
"Tidak apa-apa, silakan duduk, Nak," jawab Bu Desi, guru Bahasa Indonesia sekaligus guru BK. Meski dikenal sebagai guru yang peduli, Bu Desi tidak mengetahui perundungan yang dialami Nadia karena Cici dan kawan-kawannya sangat pandai menyembunyikan perbuatan mereka.
Tak lama setelah pelajaran dimulai, pintu kelas terbuka. Steven, ketua OSIS baru yang dikenal bijaksana, masuk dengan percaya diri. "Permisi, Bu. Saya ingin menunjuk salah satu anggota OSIS dari kelas ini," ucapnya dengan nada sopan.
"Oh, iya. Silakan, tunjuk saja siapa yang mampu," jawab Bu Desi sambil tersenyum.
Steven melihat ke sekeliling kelas. Tatapannya berhenti pada Nadia, yang duduk di sudut dengan wajah lesu. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Nadia. "Saya memilih siswi yang di ujung sana," katanya tegas.
Ruangan seketika menjadi hening. Semua siswa terkejut, terutama Cici. Ia merasa dirinya lebih pantas menjadi anggota OSIS dibanding Nadia. Dengan nada merendahkan, Cici berdiri dan berkata, "Kenapa milih dia? Dia siswi lemah yang tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini."
Nadia yang biasanya diam tiba-tiba berdiri. Seluruh mata tertuju padanya. Dengan suara tenang tetapi penuh keyakinan, ia berkata, "Menjadi anggota OSIS bukan hanya tentang fisik, lemah atau kuat, tetapi bagaimana kau dapat menjadi contoh bagi orang lain. Orang yang selalu diam bukan karena dia tidak berani melawan, tetapi karena dia tahu bagaimana memanusiakan manusia."
Ruangan kembali sunyi. Kata-kata Nadia membuat semua orang terdiam, termasuk Cici. Bu Desi tersenyum bangga dan berkata, "Steven, pilihanmu tepat. Saya yakin Nadia akan menjadi anggota OSIS yang baik."
"Oh iya, Steven, Nadia jadi anggota OSIS apa?" tanya Bu Desi.
"Anggota OSIS Kedisiplinan, Bu," jawab Steven sambil tersenyum.
Lonceng istirahat berbunyi. Nadia berjalan ke kantin untuk makan. Namun, seperti biasa, ketenangannya terganggu oleh Cici. Cici mendekatinya dengan tatapan sinis.
"Jangan macam-macam ya dengan saya," ucap Cici dengan nada mengancam. "Ibu saya salah satu donatur beasiswa terbesar di sekolah ini. Kau bisa saja dikeluarkan dari sini, gadis lugu."
Nadia tidak mampu melawan. Ancaman itu terlalu besar baginya. Ia hanya menunduk, membiarkan Cici pergi dengan senyum puas.
Hari itu berlalu dengan berat bagi Nadia. Meski telah menjadi anggota OSIS, ia tahu jalan ke depan masih penuh tantangan. Namun, dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya mampu. Ia ingin menunjukkan kepada semua orang, termasuk Cici, bahwa kekuatan sejati tidak diukur dari fisik atau kekuasaan, tetapi dari keberanian untuk tetap berdiri meski terus dijatuhkan.
Saat pulang sekolah, Nadia kembali diantar oleh ibunya. Dalam perjalanan, ia merenungkan apa yang telah terjadi hari itu. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya, tetapi sebuah awal untuk menjadi lebih kuat.
Malam itu, Nadia tertidur dengan kelelahan. Namun, di dalam hatinya ada harapan baru, harapan bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi pribadi yang bisa menghentikan siklus kejam ini dan memberi contoh baik bagi orang lain.
semangat