Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#31•
#31
Walau merasa berat, namun Raka pun tak bisa berbuat apa-apa. “Aku tak akan pernah menceraikanmu,” ucap Raka ketika pamit pada Adhis.
Adhis mendesis kesal, “kita lihat saja nanti, karena aku yakin sekali, perceraian kita tak akan lama lagi.” Tanpa menunggu kepergian Raka, Adhis berbalik masuk ke rumah.
“Tidak, sayang, tunggu! Kumohon jangan kekanakan seperti ini.” Raka berusaha kembali mengejar Adhis, namun terhalang tubuh Dean yang seolah pasang badan agar Raka tak lagi berani mendekati Adhis.
“Kamu lagi! INI SEMUA GARA-GARA KAMU, DEAN!!” pekik Raka kesal, ia mencengkram kerah kemeja Dean, hatinya benar-benar panas membara, ia yakin sekali tak ada yang mampu memadamkan kecemburuan dalam dirinya selain Adhis sendiri.
“Semua ini bermula dari kesalahanmu sendiri, lalu kamu memutar balikkan fakta agar poligami yang kamu lakukan tak terlalu menjadi masalah.” Dean menatap tajam Raka, ia tak takut sama sekali, karena setelah hubungannya dengan Adhis berakhir. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan berubah, dan ia membuktikan hal itu dengan setiap pada Celline, hingga akhirnya palu perceraian tak mampu lagi dihindari.
“Itu pula yang hendak ku tanyakan padamu, Apa salahku padamu? Tidak, apa saja yang kamu katakan padanya selama kalian berduaan di hotel itu? Hingga kamu berhasil membuatnya bersikap seperti ini terhadapku? Tidak pernah kami bertengkar sehebat ini?” Raka hendak kembali menghantam wajah Dean, namun tubuhnya sendiri sudah kesakitan akibat menerima pukulan bertubi-tubi dari Gala.
Dean menatap Raka miris, kemudian mendekat, “dulu sekali, puluhan tahun yang lalu, aku pernah merelakan dia untukmu. Dan kamu tahu kenapa, aku lihat pancaran ketulusan di kedua matanya. Bahkan ketika kami pernah tak sengaja bertemu di rumah sakit setelah, kulihat wajahnya berseri-seri karena tak sabar menjumpaimu.” Wajah Dean muram, sesal yang dulu sempat ia ikhlaskan untuk berlalu pergi, kini kembali hinggap di hatinya.
“Karena dia … sangat mencintaimu, dan aku tahu pada saat itu aku telah kalah, karena kamu berhasil menyingkirkan aku dari hatinya.”
“Tapi, tak kusangka semua itu membuatmu terlena, kamu menyia-nyiakan ketulusan dan cintanya terhadapmu. Maka setelah ini, jangan salahkan aku jika kini aku kembali menyebutnya dalam do'a-do’aku.” Dean kembali mengambil jarak.
“Dia milikku, Dean, sampai kapanpun aku tak akan membiarkanmu merebutnya dariku!”
“Kita berdua adalah seorang Dokter, dan aku yakin kamu pun tahu, bahwa satu keputusan kita, akan sangat menentukan nasib pasien selama berada di ruang operasi. Seperti itulah kondisimu saat ini, kamu salah mengambil keputusan, jadi sekarang, nikmatilah kekalahanmu.” Dean tersenyum smirk melihat ekspresi kekalahan di wajah Raka.
Raka tak sanggup berbuat apa-apa, ia hanya mampu menahan kemarahannya, karena rupanya sang rival lebih memiliki akses menjumpai istrinya, ketimbang dirinya sebagai seorang suami.
“Breng^sek, kemari kamu! Aku belum selesai bicara!!” Raka berteriak dan kembali memaki, sementara Dean kembali masuk ke dalam pendopo.
Atas perintah Ayah Suryo, para pengawal bersusah payah memaksa Raka untuk masuk ke mobil.
•••
Setibanya di rumah, “kenapa kita kesini?” tanya Raka kesal, karena ia justru di bawa pulang ke rumah istri mudanya.
“Tidak ada yang merawatmu di sana,” jawab Bu Dewi santai.
“Sebaiknya kamu tenangkan dulu dirimu,” nasihat Ayah Suryo.
“Bagaimana aku bisa tenang, Ayah! Dia, istriku, cintaku, belahan jiwaku, tak ada yang bisa menggantikan kedudukannya di hatiku!” Sentak Raka, yang lagi-lagi membuat Anggi terluka.
Anggi sempat berbangga, karena diantara dirinya dan Adhis, hanya ia yang mampu menghadirkan seorang anak. Bahkan kemampuannya melayani Raka terbilang sempurna, tapi setelah semua kesempurnaan itu, Raka masih saja tak menganggapnya penting untuk dicintai sebesar Adhis.
“Tapi kamu sendiri yang berulah, dengan mengabulkan permintaan Ibumu, jadi sangat wajar jika sekarang Ayah mertuamu murka!”
“Wis toh, Kang Mas, Raka itu gak salah. Dia cuma berusaha mewujudkan keinginan kita untuk memiliki seorang cucu! Harusnya kita bersyukur Raka memilih Anggi.” Bu Dewi tetap keukeuh dengan pendapatnya, hal itu membuat Ayah Suryo semakin kesal saja. Karena sejak bertahun-tahun lamanya, istrinya ini selalu saja punya cara untuk membantah setiap ucapannya.
“Jika aku yang terpaksa menikah lagi, demi menuruti kemauan ibuku untuk memiliki seorang cucu, apakah kamu masih bisa bersikap seangkuh ini?” desis Ayah Suryo.
“Ini bukan tentang kita, Mas! Tapi tentang Raka dan Adhis!”
“Lantas Apa bedanya!?” suara lantang ayah Suryo kembali menggema, membuat bu Dewi diam, tak berani lagi buka suara.
“Pantas saja wanita tadi mengatakan kamu sama sekali tak punya rasa empati. Karena sepertinya memang begitu, terhadap wanita yang sudah mendampingi Raka selama 10 tahun saja, kamu masih bersikap seolah tak tahu berterima kasih.”
“Buat apa Ibu berterima kasih? Wong selama ini dia juga sudah menikmati semua fasilitas dan uang Raka.”
“Jangan lupa bahwa menantumu juga seorang yang berpenghasilan tidak sedikit, bahkan keluarganya bukan keluarga miskin, yang butuh suntikan dana segar. Jangan lupa, Putra Arandhana Narendra dan Chandra Wulan itu, benar-benar mewarisi bakat Ayahnya dalam mengelola harta kekayaan yang mereka miliki. Lihat saja sekarang, aset yang semula hanya tersisa tak seberapa, kini bisa kembali dalam jumlah puluhan bahkan entah berapa ratus kali lipat di tangan Pak Bima. Jangan sombong dengan kekayaan kita yang tak seberapa, Bu.”
Agaknya,perkataan ayah Suryo cukup menohok, karena Bu Dewi berhasil dibuat terdiam, walau ia masih menggerutu kesal.
•••
Bukan hanya di rumah Anggi saja perbincangan kembali berlanjut, tapi di rumah Ayah Bima pun pembahasan kembali berlanjut.
Kali ini Adhis dan Dean sebagai tersangka utama. “Sekarang giliran kalian yang menjelaskan perihal foto-foto ini.” Daddy Andre buka suara, sementara jari telunjuknya mengetuk lembaran foto yang ada di atas meja.
Dean menarik nafas, ia tahu, bahwa cepat atau lambat, masalah ini akan muncul ke permukaan. “Kami tak sengaja bertemu disana.”
“Kamu yakin, bukan sengaja menemuinya?” Mommy Bella yang sudah sangat mengenal track record putranya, kembali bertanya.
“Tentu saja, mom, harus berapa kali kukatakan, aku tidak bohong.”
“Tenang dulu, Bell, biarkan Dean bercerita.” Ayah Bima menengahi.
“Kulihat Adhis muram, jadi aku mengajaknya bicara, tapi kami justru terjebak kabut tebal kaliurang, dan petugas disana menyarankan pada kami untuk menginap.”
“Aku membawa Adhis ke hotel tempatku menginap, tapi aku berani bersumpah kami berbeda kamar.” Dean mengangkat telapak tangannya.
“Dan foto ini diambil ketika aku mengantarkan Adhis masuk ke kamarnya, hanya itu. Dan kami bertemu 5 hari kemudian, karena setelah memiliki nomor ponsel Adhis pun, aku tak bisa menghubunginya, karena dia mematikan ponselnya.” Dean mengakhiri penjelasannya.
“Lalu?” Kembali mommy Bella bertanya.
“Setelah 5 hari, aku mengantarkannya pulang, hanya itu mom, jika Mommy bertanya foto ini, ini adalah saat ketika kami kebetulan mampir untuk sarapan.” Dean kembali menunjuk foto dirinya tengah tertawa lepas bersama Adhis di meja makan.
“Hanya itu?” kembali mommy Bella memastikan.
Dean dan Adhis mengangguk bersamaan, “Jika Mommy tak percaya, Mommy bisa melihat bukti tagihan hotelnya.” Dean kembali menunjukkan bukti bahwa ia tak berbohong.
Mommy Bella bernafas lega. “Terima kasih, Nak, Mommy senang sekali karena kamu mampu menjaga kepercayaan Mommy.” Mommy Bella mengusap kepala Dean dengan sayang.
“Tentu, Mom. Mommy pernah bilang padaku bahwa Adhis adalah anak gadis Mommy, maka bagiku, dia kini juga adikku.” Dean mengaku. “Dan … maaf, untuk masa lalu yang tak mungkin bisa ku perbaiki.”
Kali ini Daddy Andre mengusap punggung putra sulungnya, semoga saat ini benar-benar menjadi awal baru kehidupan seorang Dean.
•••
Sebulan berlalu, tak ada tanda-tanda Raka keputusan baik dari Raka, padahal Adhis masih sangat berharap Raka memilih bercerai dari Anggi, dan kembali memperbaiki hubungannya dengan Adhis.
Adhis sempat mendengar percakapan orang-orang yang ayah Bima percayai menjaga pintu gerbang rumahnya. Bahwasannya Raka sering datang, dan memohon izin untuk bertemu dirinya, namun ayah Bima tetap kukuh dalam pertahanannya.
Sejak dulu ayah Bima selalu berprinsip bahwa, orang lain boleh saja merendahkan dirinya dan asal-usulnya. Tapi jika menyenggol harga dirinya, disanalah ia akan melawan.
Begitu pula dengan kasus yang saat ini menimpa rumah tangga Adhis. Penghinaan yang diberikan keluarga besannya benar-benar melukai harga dirinya.
Karena itulah, ayah Bima tetap kukuh ingin Adhis berpisah dari Raka, seberapapun kerasnya keinginan Raka menolak keputusannya.
Ayah Bima bahkan rela menggelontorkan banyak dana, bila perlu melibatkan koneksinya agar keinginannya segera terwujud.
Dan Adhis kini harus mulai bisa merelakan Raka secara perlahan, termasuk berhenti menyebut Raka dalam sujud panjangnya.
“Jangan terlalu bersedih, ini semua bukan kesalahanmu.” hibur bunda Sherin yang kini menemani Adhis duduk santai di gazebo belakang.
Adhis terisak, “Tapi aku masih mencintainya, Bund. Apa salah kalau aku berharap dia bersedia memilihku saja untuk menjadi istrinya?”
“kenyataannya, dia tak memilihmu, kan?” Bunda Sherin mengusap rambut panjang Adhis. “Dan kamu juga tak bisa bertahan dengan poligami yang terjadi diantara kalian, kan?”
Adhis mengangguk lemah, wajah cantiknya kini semakin tirus, Adhis benar-benar kehilangan semangat hidupnya. Benar kiranya bahwa dalam agama tak melarang poligami, tapi sepertinya Adhis bukan salah satu dari wanita yang bisa menjalani biduk rumah tangga demikian. Yang mana ada satu nahkoda di dua kapal yang berbeda, terlebih karena selama ini Adhis merasa dicurangi dengan ketidakjujuran Raka. Walau alasan kekurangan dirinya menjadi landasan utama perbuatan Raka.
•••
Pagi hari di rumah Anggi.
Pagi ini, seperti biasa, Anggi membantu Raka bersiap. Raka sudah kembali bekerja minggu yang lalu, dan kini ia hanya pulang ke rumah Anggi, karena ia terlalu merindukan Adhis jika pulang ke rumah yang biasa ia tempati bersama Adhis.
Meski Raka pulang ke rumah Anggi, tapi pria itu tak pernah bersikap manis terhadap istri mudanya tersebut, sebaliknya Raka bisa meledak marah jika Anggi tanpa sengaja melakukan kesalahan kecil. Hanya terhadap Qiran saja Raka bisa tersenyum manis.
“Wajahmu, terlihat pucat?” tanya Raka, walau sering meluapkan emosi, tapi rupanya Raka tetap bisa melihat, Anggita sedang tak baik-baik saja.
“Tidak papa, Mas,” jawab Anggi mengelak dari pertanyaan Raka.
“Jangan bohong, aku tahu belakangan ini aku sering memarahimu, tapi tolong mengertilah, aku sedang dalam masalah berat.”
“Aku tahu, Mas, aku mengerti posisiku bukan apa-apa bagimu.” Anggi kembali melanjutkan aktivitasnya membereskan tempat tidur.
“Tapi kamu juga tetap harus sehat, karena Qiran membutuhkanmu.”
Anggi terdiam, yah, hanya Qiranlah yang membutuhkan dirinya. “Iya, hanya Qiranlah yang membutuhkanku.”
Anggi kembali berbalik, ia mengambil sesuatu dari dalam laci meja riasnya, kemudian menunjukkannya pada Raka. “Tapi, maaf, Mas, karena kini ada satu nyawa lagi yang membutuhkan aku, dan juga perhatian darimu.”
Anggi menunjukkan alat test kehamilan, yang menjadi petunjuk, bahwa ada satu nyawa yang kini bergantung hidup padanya.