Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4 Jangan Pedulikan Orang Lain
Sampai di rumah utama, Argha langsung menuju kamar Inara. Untuk melihat kondisi calon istrinya itu.
Namun, saat ia membuka pintu kamar Inara, ia terkejut melihat gadis itu sedang memakai handuk saja, berjalan tertatih karena masih merasakan sakit di pergelangan kakinya.
“AAA!” teriak Inara, ketika melihat Argha berada di dalam kamar. Jantungnya seakan ingin melompat. Beruntung ia mencengkeram handuk yang ia kenakan.
Buru-buru Argha menutup pintu kamar Inara. Pria tampan berhidung besar itu mengurut dadanya sambil menggelengkan kepala. ‘Ya Tuhan … hampir saja.’
Inara tak habis pikir, napasnya masih menderu dengan tangan yang masih pula mencengkeram handuk. Bagaimana jika handuk ini melorot? Ah, Inara tak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.
“Hiuh, bisa-bisanya dia main nyelonong masuk.” Inara buru-buru mengenakan pakaian yang telah diberikan oleh ART di rumah ini. Semua itu atas perintah Argha tentu saja.
Selesai mengenakan pakaian, Inara langsung membuka pintu, tidak enak jika atasannya itu harus menunggu lama.
Klek
Inara dan Argha sama-sama memerah. Mereka terlihat salah tingkah, apa lagi Argha yang merasa bersalah karena merasa dirinya kurang ajar, masuk tanpa permisi.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Inara membuka lebar pintu kamarnya.
“Kenapa tidak dikunci?’ omel Argha tanpa rasa bersalah.
Bukannya meminta maaf, malah protes. Ingin rasanya Inara mengumpat begitu keras. Namun, semua itu hanya tertahan di kerongkongan. Mana berani Inara mengatakan hal itu. Bisa-bisa, ia kehilangan pekerjaannya.
“Kenapa Bapak tiba-tiba datang?” Inara yakin, ada hal penting yang akan pria itu sampaikan.
“Atur waktu dengan baik untuk bertemu dengan orang tuamu. Saya dan papa saya akan datang bertemu dengan orang tuamu.”
Mata Inara mendelik sempurna. Seorang Alan Aji Winata akan berkunjung menemui orang tuanya? Bukankah sebelumnya pria tua itu menolak mentah-mentah untuk datang?
Argha menjentikkan jarinya, seketika mulut Inara yang menganga menjadi bungkam. “Kenapa ekspresi kamu begitu?”
“Punten, ini mah, Pak. Sebelumnya Pak Alan sama sekali tidak pernah menyetujui hubungan saya dengan Mas Artha, tapi kenapa—“
“Itu urusan saya. Bukan urusan kamu.”
Inara menghela napas panjang. Ia tahu, apa yang dikatakan oleh Argha memanglah benar. Semuanya adalah urusan Argha. Yang terpenting, rencana mereka akan mulus. Namun, bagaimana komentar orang tuanya atau teman-teman sekantornya? Oh, rasanya Inara belum siap dihujat.
“Apa kakimu lebih baik?”
Tatapan Inara turun pada kakinya yang dibalut oleh perban elastis. “Lumayan, Pak.”
“Bagus. Saya pikir, mengunjungi ibu kamu akan lebih baik, setelah kakimu sembuh. Kalau begitu, kamu istirahat dulu. Saya akan pergi ke kamar.”
“Eh, Pak.” Argha kembali duduk di tempat duduknya. Ia menoleh pada Inara dengan tatapan datarnya. “Saya … saya mau nanya sesuatu.”
“Satu menit.”
Inara menghela napas. Ia akan memanfaatkan waktunya dengan baik. Ia sedikit kesal karena kearoganan bosnya ini. “Bagaimana dengan pendapat orang-orang kantor mengenai ini. Saya ….”
Argha mengembuskan napas kasar, lantas menyentil kening Inara dan membuat gadis itu merintih kesakitan. “Bodoh! Kamu tidak punya kewajiban untuk menjelaskan sesuatu yang tak penting pada orang lain. Mereka tidak punya kontribusi apapun untuk hidup kamu.”
Argha pergi begitu saja, sementara itu Inara justru mengusap keningnya yang memerah.
“Kalau enggak main kekerasan apa tidak bisa, sih!” gerutu Inara seraya mengusap kening. Bibirnya sudah mengerucut karena sangking kesalnya.
.
Sementara itu, di kamar Argha tampak tersenyum tipis. Ia mengingat bagaimana ekspresi menggemaskan Inara ketika kesakitan karena ia sentil. Inara dengan segala keabsurd-annya di kantor, membuatnya memperhatikan gadis itu.
Ia merasa, kalau Artha terlalu beruntung bisa memiliki Inara. Gadis sepolos dan selugu itu harus dihianati. Namun, ia yakin, jika adiknya itu sebenarnya memang cinta mati, mengingat Artha mati-matian menentang orang tuanya. Seringaian Argha tampak jelas di pantulan kaca. Ia menatap pantulan wajahnya di sana. “Artha, kamu terlalu bodoh!”
Argha melepaskan kemejanya, memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya.
“Awas kau Inara. Kau telah mengataiku sebagai Gay. Awas saja kau,” gumam Argha dengan seringaian.
.
****
Inara merasa tidurnya sangat nyeyak. Pagi ini ia bangun dengan keadaan yang sangat segar. Ia menguap dan meregangkan otot-otot tangannya. Tidur di ranjang seempuk ini membuatnya jadi lupa diri.
“AAAA!” teriak Inara saat melihat Argha yang sudah berdiri dan bersedekap dada di sana. “Bapak ngagetin saja, deh! Untung saya gak kaya semalam.” Inara mengerucutkan bibirnya. Tinggal baru sehari, ia sudah dibuat jantungan dua kali oleh atasannya itu.
“Kamu selain teledor, ternyata juga malas. Jam berapa ini?”
“Saya harus ngantor, kah? Kaki saya masih seperti ini?” Inara memasang wajah seimut mungkin. Ya, barangkali ia akan mendapatkan kompensasi dengan beristirahat sambil menikmati fasilitas yang Argha berikan.
“Ke kantor! Kamu pikir, kamu mau lepas dari kewajiban kamu begitu saja? Mau makan gaji buta kamu? Status kamu masih jadi karyawan saya, bukan istri. Mandi dan cepat ganti baju! Saya tunggu di bawah untuk sarapan.”
Klek
Dua orang ART, Bi Ana dan Bi Darmi datang membawakan pakaian dan sepatu selop untuk Inara. Keduanya memberikan anggukan kecil.
“Bantu dia, saya mau ke bawah,” titah Argha dengan dingin, lalu pergi begitu saja.
“Baik, Pak,” jawab Bi Ana dan Bi Darmi bersamaan.
Inara mengembuskan napas kasar, ia mengacak rambutnya sendiri. Jujur, ia belum siap menghadapi Artha. Pria itu benar-benar membuatnya sakit hati. Bisa-bisanya ia bertemu dengan bajingan itu dan menjalin hubungan.
“Mari Nona, biar saya bantu.”
Inara memberikan anggukan, menerima uluran tangan dari Bi Darmi.
.
Di ruang makan, Argha masih sibuk dengan tabnya. Memeriksa pekerjaannya. Ya, bagi pria itu, kerjaan adalah segala-galanya. Argha selalu fokus dengan pencapaiannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bersenang-senang dengan perempuan di luaran sana. Padahal, banyak perempuan yang mengantre, hanya saja, sikap Argha selalu dingin. Hal ini yang membuat sang adik memiliki celah untuk bergosip, jika ia menyukai sesama jenis. Padahal, Argha hanya menghabiskan waktu dengan bekerja.
“Pak Argha.”
Argha mengangkat wajah. Terkesima dengan penampilan Inara. Gadis cantik dengan balutan gaun yang panjangnya sampai lutut, rambutnya dibuat keriting di bawah, membuat kesan gadis itu bertambah imut.
Argha bangkit dari duduknya. Membantu Inara untuk duduk. Gadis itu sama sekali tidak menyangka, jika seorang Arghantara Winata memiliki sisi kelembutan yang tidak pernah ia lihat selama ini.
“Apa masih sakit?”
Inara mengangguk, tampak sangat gugup. Entahlah, berpakaian seperti ini, membuatnya tidak percaya diri. Bukankah ini berlebihan?
“Makan, setelah ini kita berangkat ke kantor bersama-sama.”
“Bersama-sama?” beo Inara.
“Ya. Kamu calon istri saya. Memangnya kenapa?”
Inara menggelengkan kepala. Ah, ia bahkan tidak pernah membayangkan hal ini terjadi. Menjadi kekasih Artha saja seisi kantor sudah heboh, apa lagi menjadi calon istri Argha? Bagaimana pendapat orang-orang nanti? Dan hal apa yang akan dilakukan Artha? Mendadak, kepala Inara pening. Namun, detik berikutnya, ia seolah mendapatkan kesenangan sendiri. Membayangkan Artha yang kesal bukan main, karena ia secepat kilat move onnya. Walau kabar Argha adalah seorang penyuka sesama.
‘Ah, bodo amat! Mau suka sesama, kek, mau enggak, kek. Penting aku bisa balas dendam dengan Artha sialan!’
“Inara,” tegur Argha saat melihat Inara justru cengar-cengir sendiri.
“I-iya, Pak?”
“Cepat makan, kita harus ke kantor!”
“Ba-baik, Pak.”