Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Keinginan Adiba
Setengah jam berlalu, Irfan kembali ke rumah sakit dengan membawa makan siang beserta es krim kesukaan putranya, dan tidak lupa susu kaleng untuk Naura. Adiba lekas membantu membuka wadah makanan yang dibawa putranya di meja makan.
Sebenarnya dari pihak rumah sakit sudah menyiapkan makan siang untuk pasien, namun Irfan tetap membelikan makanan tambahan untuk Naura. Dan tahukah makanan apa yang dibelikannya untuk wanita itu?
Naura menatap wadah makanan tersebut yang sudah tersaji di overbed table, ada perasaan tergelitik melihat isinya. Rupanya Irfan tidak lupa dengan makanan kesukaannya, sop iga, ikan gurame bakar dan ada sambal terasi.
“Makannya dimakan biar kamu cepat sembuh,” pinta Irfan agak ketus, lalu ia melirik putranya yang masih bersisian dengan Naura.
“Noah, ayo makan dulu sama mbak Elin,” pinta Irfan seraya mengulurkan tangannya. Ucapan Deri di restoran sungguh menganggu pikirannya, apalagi pemandangan di depan mata membuat hatinya berkecamuk
Bocah kecil itu mendongak. “Ndak au Papi, ana es klim na?” tanya Noah sembari melihat kedua tangan papinya yang kosong.
“Papi taruh di dalam kulkas dulu, sekarang Noah makan nasi dulu, setelah itu baru boleh makan es krimnya,” balas Irfan masih berusaha ingin mengangkat tubuh Noah, namun sayangnya Noah masih tidak mau, malah tangan mungilnya menepuk tangan Irfan.
“Pak Irfan, biar saya saja yang bantu suapin makannya,” ujar Naura menengahi pertikaian kecil antara anak dan ayah.
“Tidak usah, kamu sendiri sedang sakit, bagaimana bisa menyuapi Noah. Ayo ikut Papi sekarang,” pinta Irfan memaksa, dan langsung mengangkat bocah tampan itu dari atas ranjang.
“Noah ndak au Papi, Noah au na cama Ante! Noah au makan cama Ante ... Papi!” teriak Noah memberontak dalam gendongan Irfan.
Adiba terpaksa menyudahi merapikan wadah di meja makan, lantas mendekati Irfan yang masih mengendong putranya.
“Irfan, mengalah'lah sama anak sendiri. Kamu lebih senang melihat anak sendiri menangis ketimbang melihat anaknya hatinya tenang bersama Naura ... mmm,” tegur Adiba seraya mengusap punggung cucunya yang kini sudah terisak menangis.
“Bukannya begitu Mam, Elin sudah ada di sini dan biarkan Elin yang mengurus Noah, lagian Naura juga sedang sakit, mana bisa dia mengurus Noah,” tegas Irfan, sebenarnya ia berniat menjauhkan Noah dari Naura.
Adiba melirik ke arah Naura, wanita itu sejak tadi hanya melihatnya tanpa ingin ikut campur. Naura tidak tega melihat Noah menangis tapi ia tidak ada hak meminta Noah dari tangan Irfan, yang saat ini ia pikirkan.
Adiba mendesah pelan, lalu mengambil paksa Noah dari gendongan Irfan. “Turunkan ego-mu, Irfan. Ada Mama di sini yang bisa bantu Naura! Kasihan anakmu yang sudah menangis ini ... tega kamu jadi papinya!” tukas Adiba, kemudian berlalu membawa Noah kembali dengan Naura.
Lantas, lihatlah bocah kecil itu memeluk Naura. Irfan hanya bisa menarik napas kecewanya, lalu memandang lekat kedua orang tersebut. “Betul kata Deri, aku tidak bisa membiarkan mereka bersama-sama. Aku bisa kehilangan anakku,” batin Irfan mulai waspada.
Selama seharian Noah puas menemani Naura di rumah sakit, dan menjelang petang Adiba'lah yang membujuk cucunya untuk pulang karena jika Irfan yang membujuknya maka Noah pasti akan menangis lagi.
***
Malam hari di mansion Mahendra.
Wanita paruh baya itu mengulum senyum tipisnya saat melihat beberapa helai rambut Noah dan rambut Naura yang rontok di atas ranjang sudah berada di tangannya, terbungkus rapi dalam plastik
“Maksud Mama ... Mama curiga kalau Noah ada hubungannya dengan Naura?” tanya Damar usai istrinya sudah panjang lebar menceritakan praduga setelah memperhatikan interaksi Noah dan Naura, serta kemiripan wajahnya mereka berdua.
Adiba menaruh plastik bening yang ia pegang, lalu menatap dalam wajah suaminya. “Pah, bolehkan kalau Mama sedikit curiga? Andaikan tadi Papa tidak ada meeting mungkin bisa melihat dengan jelas bagaimana sikap Noah yang begitu lengket sama Naura, dan melihat Irfan, Naura serta Noah ... wajah Noah itu perpaduan wajah Irfan dan Naura. Maka dari itu ketimbang Mama penasaran, lebih baik dengan rambut mereka berdua Mama ingin tes DNA biar lebih meyakinkan hasilnya. Mama minta bantuan Papa untuk menghubungi rumah sakit internasional yang mumpuni untuk mengeceknya,” imbuh Adiba.
Permintaan Adiba bagi Damar bukanlah hal yang sulit, hanya saja pria paruh baya itu sedang heran dengan segala kecurigaan istrinya. Dan, ia sendiri saat acara pertemuan di kantor tidak terlalu memperhatikan wajah Noah yang kata Adiba mirip dengan Naura.
Damar menghela napas kemudian menyesap kembali kopinya yang masih hangat sebelum memberikan jawabannya.
“Naura memang tidak mengakui pernah mengenal Irfan sebelumnya, dan bisa saja Irfan pun juga tidak mengakuinya kalau Mama tanyakan. Jadi jalan satu-satunya Mama ingin melakukan test DNA antara Naura dan Noah. Dan, satu lagi Mama perhatikan mata Irfan penuh kebencian saat menatap Naura. Ini sangat aneh bagi orang yang baru pertama kali bertemu. Kenapa baru bertemu bisa langsung benci?”
Barulah Damar tersadar ucapan istrinya mengenai sikap Irfan yang terlihat benci pada Naura. “Baiklah, kalau begitu yang Mama bawa sekarang besok diantar ke rumah sakit ... biar tidak penasaran, tapi ingat Mama jangan kecewa jika hasilnya tidak sesuai dengan ekspetasi,” ujar Damar pelan, setidaknya ia tidak ingin memberikan harapan besar pada Adiba.
Adiba tersenyum kecil. “Iya Pah, Mama akan siap menerima hasilnya, setidaknya Mama tidak akan terbawa curiga terus jika memang Noah tidak ada hubungannya dengan Naura. Dan, kemiripan wajah mereka mungkin hanya kebetulan saja,” balas Adiba, ia harus mulai menyiapkan hatinya.
Sementara itu di waktu yang sama, di kediaman Irfan, Noah yang baru saja bebersih dan kini menikmati makan malam bersama baby sitter di ruang utama sambil bermain tidak sengaja menabrak Sofia yang baru saja kembali entah dari mana, semua paper bag yang ada di tangannya jatuh begitu saja.
“Noah!” sentak Sofia, matanya melotot melihat semua belanjaan keluar dari paper bag, belum lagi ada satu stel pakaian yang baru dibelinya tidak sengaja terinjak oleh kaki mungil Noah.
Noah bergidik, lalu ia menurunkan pandangannya melihat apa yang ia injak. “Maafin Noah, Mami. Noah ndak cegaja,” ujar Noah sembari mengatup kedua tangannya ke dada, lalu mengangkat kedua kakinya dari pakaian Sofia.
“Dasar anak nakal! Disayangi malah tambah nakal ya, ngelunjak ya nih anak!” hardik Sofia tersulut emosi, tangannya melayang memukul salah satu kaki Noah.
“Ampun Mami, angan pukul Noah, Mami!” jerit Noah kesakitan.
Irfan yang baru saja menuruni anak tangga langsung berlarian ketika mendengar teriakan Noah.
“Sofia!” sentak Irfan terbelalak ketika menemukan sumber suaranya, lalu langsung mengendong putranya.
Bersambung ... ✍️
emang pas nikah orang tuanya ga datang??? ga di kenalin
kan ngelawak sebab ceritanya di Indonesia
kalo di luaran kan cuma kedua pengantin udah sah