Masihkah Ada Cinta?
Karina membuka jendela kamar hingga semua cahaya masuk ke ruangan itu. Nino yang masih terlelap, mengernyitkan dahi karena tidurnya terusik disebabkan sinar matahari yang menyoroti wajahnya.
Karina duduk di tepi ranjang, membungkukkan sedikit tubuhnya, tangannya terangkat membelai sisi wajah pria itu. Terasa bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di sekitar wajah, menimbulkan tekstur menyenangkan di telapak tangan.
"Sayang."
Nino segera membuka mata saat mendengar panggilan mesra dari Karina. Ia bergumam untuk menjawabnya.
"Besok anaknya Tante Dewi nikah, kita jadi berangkat hari ini, kan? Aku udah siapin baju sama perlengkapan lain. Jadi, nanti kita tinggal pergi."
"Iya, kamu udah ingetin itu berkali-kali dari kemarin." Nino tersenyum sambil mengelus punggung tangan wanita itu.
"Takutnya kamu mendadak lembur hari ini. Kantor kamu kan gitu, apa-apa suka mendadak."
Nino beranjak dari posisi berbaringnya. Ia menatap wajah Karina yang sedikit cemberut. Nino menarik tubuh Karina ke dalam pelukannya sampai wanita itu tersentak.
"Jangan ngambek dong, aku kerja kan demi kamu juga."
"Iya, tapi masalahnya, kadang jam kerja kamu itu gak ngotak, pulang malem, weekend kerja, aku—"
Nino membungkam omelan Karina dengan sebuah ciuman di bibir. Karina membulatkan mata karena terkejut.
"Aku udah sering dengerin omelan kamu yang ini."
Nino terkekeh melihat wajah istrinya yang bersemu merah. Kedua tangannya kembali terangkat untuk menangkup wajah Karina. Saat Nino mendekatkan lagi wajahnya, Karina memejamkan mata. Namun, Nino menghentikannya ketika bibir mereka hampir bersentuhan.
Nino menjauhkan wajah, membuang napas pelan, lalu menurunkan tangannya.
"Kita berangkat sebentar lagi."
Karina membuka mata dan menatap suaminya sampai masuk ke kamar mandi.
***
Karina bersenandung kecil ketika mendengar lagu favoritnya dari audio mobil. Sekarang mereka sudah menuju ke tempat saudara Karina yang berada di Karawang. Semua keluarganya sudah berkumpul di sana, tinggal dirinya saja yang bisa datang hari ini. Karena ia bekerja, begitu juga dengan Nino.
"Hari senin nanti, aku mau izin dulu gak masuk kerja."
Nino melirik sekilas. "Kenapa?"
"Kan kamu bilang aku harus ikut ujian praktek SIM A biar bisa bawa mobil ke kantor."
Nino meringis saat Karina mengatakan tujuannya tidak masuk kantor. "Kayaknya aku antar jemput kamu aja, deh. Itu lebih baik."
Karina menoleh menatap pria itu. "Kenapa?"
"Terakhir aku disetirin kamu, aku gak tenang. Kamu bawa mobil ugal-ugalan, kayak lagi kejar setoran, nyalip gak lihat di belakang kamu ada mobil atau enggak, ngerem mendadak. Bisa jantungan aku. Bisa-bisa kita mati muda kalau begitu." Nino mengomel panjang lebar.
Karina berdecak sambil melipat tangan di dada. "Kalau gitu, waktu itu kamu gak usah bilang aku ikut ujian, dong, Mas. Giliran aku lagi semangat malah dilarang. Lagian, perjalanan dari rumah ke kantor itu jauh banget. Kalau lagi macet, itu bisa dua jam di jalan."
Nino melirik seraya tersenyum. "Enggak apa-apa, kita bisa berangkat lebih awal kalau kamu takut macet. Aku masih khawatir lepas kamu pakai mobil sendiri."
Karina memalingkan pandangan seraya memutar bola mata. Ia menggerutu tidak jelas. Nino hanya geleng-geleng kepala melihat istrinya kesal.
Sejak beberapa bulan yang lalu, Nino mengajarkan Karina mengemudi setiap weekend, tapi saat mencoba mengemudi di jalan raya, beberapa kali wanita itu hampir menabrak dan tidak memerhatikan kendaraan di sekitarnya. Nino lebih baik lebih baik lelah dua kali lipat daripada melepas Karina membawa kendaraan sendiri, yang ada tiap jam ia tidak bisa tenang. Wanita itu belum sepenuhnya siap berkendara sendirian.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah saudara Karina. Di sana saudaranya sudah berkumpul. Senyum Karina mengembang saat melihat seorang wanita yang sudah lama tidak bertemu dengannya.
"Mbak Lany."
Wanita yang sedang menggendong bayi berusia sekitar tiga bulan itu menoleh dan tersenyum pada Karina.
Karina yang baru saja selesai menyapa saudaranya mempercepat langkahnya menuju Lany yang berada di teras rumah.
"Ih, udah punya anak aja," seru Karina.
Lany tersenyum. "Kamu apa kabar, Na? Maaf ya, waktu kamu menikah kemarin, aku gak datang. Di pernikahan pertama kamu juga aku gak datang. Soalnya aku baru tahu kalau kamu udah menikah pas datang ke sini." Lany dan Karina tertawa.
"Gak apa-apa kok, Mbak. Aku juga baru tahu kalau Mbak Lany udah nikah sekarang. Kita gak punya kontak masing-masing, jadi kita gak tahu kabar juga." Ia mengalihkan pandangannya pada bayi perempuan di gendongan. "Lucu banget sih, cantiknya kayak mama, ya." Suara Karina dibuat imut saat menyapa bayi yang dipakaikan bando kain dengan renda lucu berbentuk bunga.
"Aku denger, dulu kamu pernah keguguran, ya?" Lany duduk di kursi rotan yang berada di teras. Karina ikut duduk di sebelahnya.
Karina merasa diingatkan kembali pada masa itu. Di pernikahan pertamanya, Karina sempat hamil, tetapi takdir berkata lain. Anaknya dipanggil lebih cepat sebelum lahir ke dunia. Ketika ia harus kehilangan anaknya, jika anaknya bisa bertahan, sekarang usianya pasti sudah lebih dari dua tahun.
Karina mengangguk seraya tersenyum kaku.
"Maaf kalau pertanyaanku sedikit mengingatkan kamu ke masa lalu. Aku turut prihatin." Lany mengelus pundak Karina sebagai bentuk dukungan untuknya. "Aku juga merasa prihatin sama apa yang udah kamu alami kemarin-kemarin. Kamu wanita kuat, setelah ini, kamu pasti menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya."
Karina mengangguk. "Iya, aku bahagia sama Mas Nino sekarang."
"Syukurlah, aku seneng dengernya."
Bayi dalam gendongan Lany menangis. Lany mencoba untuk menenangkannya, tetapi bayinya masih saja menangis. Kemudian, Lany memanggil suaminya, seorang pria jangkung keluar dari rumah dan mengambil alih bayi di gendongan Lany. Seketika, tangisannya terhenti dan Lany kembali duduk di samping Karina.
"Gimana rasanya punya bayi, Mbak?" tanya Karina. Itu bukan hanya sekadar pertanyaan biasa yang dilontarkan Karina.
"Aku gak bisa ungkapin dengan kata-kata, sih. Dikata lelah, tapi kalau lihat senyum Shayna rasa lelahku hilang. Dikata gak lelah, tapi kadang aku suka ngeluh sama suamiku kalau aku kecapekan ngurus Shayna. Semua rasa ada. Tapi, sejak ada Shayna, kebahagiaan kami terasa makin sempurna. Aku sama Sagara harus sabar selama tiga tahun nunggu dihadirkan Shayna di tengah-tengah kami." Lany menatap ayah dan anak yang sedang bercanda di taman halaman rumah.
Karina menatap Lany sejenak. Sorot matanya menyiratkan kebahagiaan yang teramat sangat. Penantian mereka tidak sia-sia. Lalu, ia mengikuti arah pandang wanita itu. Karina mendadak membayangkan, betapa bahagianya jika ada malaikat kecil yang hadir di antara kehidupan bahagianya bersama Nino.
"Kamu lagi promil, Na?" tanya Lany menyadarkan Karina yang sedang berada dalam lamunannya.
Karina menggeleng. "Aku … menunda kehamilan, Mbak. Aku … masih pengen kerja." Karina sedikit terbata menjawab pertanyaan Lany.
"Oh." Lany mengangguk mengerti. "Kalian baru nikah juga, kan. Gak perlu buru-burulah, nikmati masa berdua dulu. Katanya, kalian juga cuma pacaran beberapa bulan, kan? Terus mutusin buat nikah." Lany tertawa.
Karina hanya tertawa sekadarnya dengan terpaksa. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan, sebenarnya bukan itu alasan sebenarnya.
Enam bulan menikah bersama Nino, ia memang bahagia. Pria itu memberikan semua cinta dan kasih sayangnya. Karina tidak menampik semua yang diberikan oleh pria itu dan Nino memang sangat mencintainya, sehingga Karina juga memberikan hal yang sama pada Nino. Karina mencintai pria itu sebanyak yang ia bisa. Hanya saja, selama mereka menikah, Nino belum pernah menyentuhnya sama sekali.
Mereka tidak pernah melakukan lebih dari sekadar berciuman. Nino tidak pernah menyentuhnya lebih dari itu. Karina sempat bertanya-tanya, tetapi tidak pernah ada satu pun yang terlontar dari mulutnya untuk bertanya 'kenapa?' pada Nino.
Awalnya, Karina membiarkan saja dan tidak pernah ambil pusing. Ia merasa tidak masalah jika pernikahannya tidak diseratai dengan hubungan intim di antara mereka. Namun, sebagai manusia normal, ada masanya Karina merasa tersiksa. Hanya saja, ia masih bisa terlihat biasa saja.
Karina mulai mempertanyakan, apa yang terjadi pada suaminya? Namun, ia tidak ingin berprasangka buruk dulu, bisa saja dia belum siap melakukannya atau mungkin ada faktor lain. Apa Nino mengidap suatu penyakit? Karina menggeleng pelan. Selama ini Karina tidak pernah melihat tanda-tanda Nino sakit. Dia terlihat sehat, bahkan dia termasuk orang yang rutin olahraga.
Lalu, Karina merasa terenyak karena pikirannya sendiri, apa jangan-jangan Nino merasa terganggu dengan masa lalu Karina? Karena Karina pernah melakukannya dengan mantan suaminya, apa itu sebab Nino tidak ingin memberikan sentuhan yang lebih padanya? Pikiran itu membuat Karina tidak nyaman. Apa ini saatnya, ia bertanya pada Nino?
***
Setelah mengobrol dengan Lany, Karina lebih banyak diam. Nino merasakan kejanggalan itu. Namun, ia memerhatikan ekspresi Karina saat menatap suami Lany yang sedang menggendong Shayna. Ada sebuah pengharapan di sorot matanya. Apa Karina menginginkan Nino seperti Sagara? Apa Karina ingin Nino menjadi seorang ayah?
Nino menghampiri Karina yang sedang duduk di tepi ranjang. Wanita itu menoleh pada Nino. Sorot matanya tampak serius.
"Mas, apa kita bisa punya anak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Haraa Boo
bantu suport-nya juga kak, di novelku "Istri Sewaan Tuan Muda" 🥰🙏
2024-12-08
0
Umrida Dongoran
Mantap kk, Sukses somoga ya thor
2024-12-02
0