menceritakan seorang anak perempuan 10tahun bernama Hill, seorang manusia biasa yang tidak memiliki sihir, hill adalah anak bahagia yang selalu ceria, tetapi suatu hari sebuah tragedi terjadi, hidup nya berubah, seketika dunia menjadi kacau, kekacauan yang mengharuskan hill melakukan perjalanan jauh untuk menyelamatkan orang tua nya, mencari tau penyebab semua kekacauan dan mencari tau misteri yang ada di dunia nya dengan melewati banyak rintangan dan kekacauan dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YareYare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8. Bukit Neil
...Sudah kuduga, melukai matanya saja tidak akan cukup untuk mengalahkan monster itu. Bagaimanapun juga, memang mustahil bagi aku dan Hill untuk mengalahkannya. Dia sangat besar dan kuat. Jika dia mulai menyerang, bukan hanya kami yang akan terhempas, tetapi seluruh desa ini juga akan hancur...
Di depan Hill, Levia, dan para warga desa, muncul sosok monster yang sangat besar—monster raksasa yang sebelumnya mereka hadapi. Terlihat para warga desa mulai berlari menjauh dengan panik.
Levia pun berteriak.
"Hill! Ayok lari!"
Hill segera mulai berlari, dan mereka berdua terus menjauhi monster itu. Tak lama kemudian, monster itu menarik tangan kanannya ke belakang, lalu meneriakkan sebuah nama dengan suara mengguntur.
"Leeeeviaaa!"
"Oh tidak, dia akan menyerang!"
Seketika, monster itu menghempaskan tangan raksasanya dengan keras, menyebabkan seluruh tempat di sekitarnya hancur. Hill, Levia, dan para warga desa terhempas jauh oleh kekuatan serangan itu. Levia pun berteriak keras, terguncang oleh ledakan yang terjadi.
"Hilll".
Badan Hill terhempas hingga akhirnya menabrak sebuah pohon.
...Aahh, punggungku sakit sekali...
"Hill! Oh tidak, hal yang sama akan terjadi lagi!"
Levia segera mendekat ke arah Hill dan mencoba membantunya untuk terus berlari. Mereka berdua berlari, namun tak lama kemudian monster itu mulai bergerak dan mengejar mereka. Beberapa warga desa yang tidak sempat melarikan diri terinjak oleh monster tersebut.
"Levia, aku kesulitan berlari..."
Seketika, Levia menarik baju Hill dan mengangkatnya, membawanya terbang. Namun, gerakan Levia sangat lambat karena dia harus membawa tubuh Hill yang terjatuh.
"Levia, lepas kan aku! Jika seperti ini terus, kamu juga akan kesulitan bergerak."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu," jawab Levia dengan tegas, meski terlihat kelelahan.
Monster itu semakin dekat, berlari dengan langkah besar hingga akhirnya berada tepat di belakang Hill dan Levia. Monster itu mengangkat kakinya ke belakang, bersiap untuk menendang.
"Levia, dia akan menendang kita!"
...Sialan, sialan! Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Tidak ada waktu untuk mengambil belati Hill di dalam tasnya, dan aku juga sulit terbang cepat di tengah hujan seperti ini. Sialan! Apa yang harus ku lakukan...?
Kaki monster yang sangat besar mulai menghampiri Hill dan Levia.
"Oh tidak, kita akan mati!"
Seketika, sebuah ledakan terdengar di belakang kaki monster itu.
"Apa itu?"
"Oi, makhluk sialan! Berani-beraninya kamu menyerang desa kami yang berharga!"
Terlihat Ibu Jill dan beberapa penduduk desa yang masih tersisa berteriak ke arah monster itu sambil menahan meriam besar.
"Hill, sepertinya monster itu sedang mengalihkan perhatian ke warga desa. Ayo, kita pergi sekarang!"
"Rasakan ini, monster berengsek! Jangan remehkan kami, orang-orang tua!" Ibu Jill berteriak, lalu menekan tombol tembakan.
Suara tembakan meriam mulai terdengar, empat meriam ditembakkan ke arah kaki monster itu, namun tembakan itu tidak memberikan efek apapun bagi monster tersebut. Hill dan Levia mulai bergerak cepat menjauhi monster itu.
"Tembak! Tembak terus!"
"Jill, percuma saja! Ini tidak mempan sama sekali!" terdengar teriakan Ibu Jill yang putus asa.
Sementara itu, Hill dan Levia terus berlari, dan mulai memasuki hutan yang lebat. Mereka terus berlari tanpa menoleh.
"Hill, ada sebuah gua besar di sana! Mari kita kesana!"
Hill dan Levia berlari menuju gua yang terlihat di depan mereka.
"Hill, warga desa itu sepertinya sudah mati. Monster itu mulai bergerak kemari!"
Gempa bumi mulai semakin besar, dan mereka bisa merasakan getaran kuat dari langkah monster yang semakin dekat. Monster itu sudah berada tepat di depan gua, dan kaki besar itu menempel pada mulut gua.
"Hill, ayo kita menjauh dari sini!"
Hill dan Levia segera bergerak lebih dalam ke dalam gua, berusaha menjauh dari bahaya di luar. Mereka terus berjalan, waktu seakan berjalan lebih lambat dalam kegelapan gua yang semakin dalam.
"Sepertinya kita sudah berjalan lumayan jauh..."
Hill berhenti sejenak dan membuka tasnya. Ia mengambil daging pemberian Ibu Jill dari kantong sihirnya dan membuang sebagian besar daging itu ke tanah.
"Hill, kenapa?"
"Kita harus terus berjalan."
"Baiklah."
Hill dan Levia melanjutkan perjalanan mereka lebih dalam lagi ke gua yang gelap. Di sekitar mereka, terlihat banyak batu-batu besar yang tersebar di tanah, dan tetesan air yang jatuh perlahan dari langit-langit gua. Lumut-lumut hijau menempel di setiap batu yang mereka lewati, memberikan kesan suram di dalam gua tersebut.
"Hill, pada akhirnya kita kembali melakukan perjalanan berdua lagi. Aku tidak menyangka kita harus kehilangan para warga desa. Aku masih merasa sangat sedih, kita kehilangan Yuli dan Erik."
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Seandainya aku memiliki kekuatan sihir, seandainya aku orang yang kuat, aku pasti bisa membantu mereka. Tapi aku tahu, meskipun aku belajar sihir, itu tetap mustahil. Aku tidak punya energi sihir sedikit pun."
"Hill, meskipun kamu tidak memiliki sihir, kamu adalah anak yang kuat. Kamu sudah melalui banyak hal yang berat dan masih bisa bertahan sampai sekarang."
"Omong kosong! Jika aku kuat, aku pasti bisa menyelamatkan mereka! Aku pasti bisa menghindari semua ini! Aku pasti tidak akan membuatmu terlibat dalam masalah! Kak Yuli dan Kak Erik baru saja menikah, tapi... aaaaahhh!"
Saat mereka terus berjalan, ekspresi Hill tampak penuh keputusasaan, merasa kehilangan orang-orang baik yang selama ini membantu mereka. Waktu terus berlalu. Di belakang mereka, di tempat Hill membuang daging sebelumnya, terdengar suara aneh yang bergerak di balik batu sambil mendesis.
"Gua ini panjang sekali. Kita sudah berjalan cukup lama, tapi belum juga menemukan jalan keluar. Apa sebaiknya kita kembali saja? Sepertinya monster itu sudah pergi."
"Kita harus tetap berjalan. Mungkin saja di depan sana ada jalan keluar. Kita sudah membuang banyak waktu, semoga kota Magi baik-baik saja."
Ekspresi Levia terlihat khawatir. Hill yang menyadari hal itu pun menatap wajah Levia dengan cermat. Akhirnya, ia mengajak Levia untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di atas batu besar yang ada di sana.
"Levia, sebenarnya aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Setiap kali aku membicarakan Magi, ekspresi wajahmu langsung berubah. Sebenarnya, apa yang kamu sembunyikan?"
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa kok."
"Kamu bohong, cepat katakan saja."
Levia terlihat cemas, dan ia merasa sulit untuk terus berbohong pada Hill. Dengan perasaan takut dan khawatir, akhirnya Levia mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Sebenarnya... kerajaan Magi sudah hancur. Sebulan yang lalu, muncul pohon raksasa yang merusak segalanya."
Hill terdiam mendengar pengakuan itu. Keterkejutan tampak jelas di wajahnya.
"Hill, sebenarnya aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi aku tahu kamu pasti akan memaksakan diri untuk pergi meskipun kamu belum sembuh total. Aku menunggu waktu yang tepat untuk memberi tahu, tapi semakin lama semakin sulit, maafkan aku, Hill."
Hill tetap diam sejenak, merenung.
"Hill, maafkan aku."
Akhirnya, Hill pun berbicara, suara terdengar tenang.
"Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak bersalah."
"Hill, kamu terlihat tenang. Apakah ini tidak masalah?"
"Sebenarnya aku sedikit kesal, tapi aku sudah belajar beberapa hal sejak aku dekat dengan Kak Yuli dan Kak Erik. Aku tidak bisa selalu egois. Aku menghargai perasaan khawatirmu."
"Hill, kamu sudah berkembang. Aku jadi terharu."
"Jadi, sekarang sudah sebulan berlalu sejak kita keluar dari dataran hijau itu, dan raja kota Magi dibunuh, lalu kota itu hancur?"
"Iya, aku sebenarnya tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi menurut cerita Yuli, itulah yang terjadi."
"Mungkin kita akan mendapatkan petunjuk di perjalanan nanti. Jika Magi hancur, mungkin pengguna sihir teleportasi sudah tidak ada di sana."
"Mungkin saja."
"Kita tidak akan tahu sampai melihatnya sendiri. Untuk sekarang, kita tetap harus kembali ke kota Magi. Tapi sebelum itu, ada satu kota yang ingin aku datangi. Jika kota itu tidak berlawanan arah dengan Magi, kita harus mampir ke sana."
"Kota apa itu?"
"Kemarin aku bermimpi, aku mendengar suara seorang wanita yang menyuruhku untuk pergi ke kota bernama Disha. Apakah kamu tahu kota itu?"
"Aku tahu kota itu. Kota Disha terletak di sebelah timur kerajaan Magi. Itu hanya kota kecil yang tidak sebesar Magi, lebih seperti kota perdagangan. Saat ini, aku tidak tahu di mana kita berada. Selama kita berada di dalam gua ini, aku kesulitan menebaknya. Apakah nanti kita bisa melewati Disha atau tidak, kita lihat saja."
"Apakah kita akan tahu di mana letak kerajaan Magi?"
"Mungkin. Sepertinya pohon besar yang kamu sebut itu bisa dilihat dari seluruh dunia. Jadi, kalau kita mengikuti pohon itu, kita akan sampai ke Magi. Pohon itu tidak terlalu jauh dari kerajaan Magi. Kita juga bisa mencari peta nanti. Aku bisa membaca peta."
"Baguslah kalau begitu. Sudah sebulan berlalu, semoga saja di luar sana perang sudah berakhir."
"Ya, semoga saja. Tapi Hill, apakah kamu tidak keberatan dengan hal ini? Kita saat ini jauh dari kota Magi. Ibu Jill pernah mengatakan bahwa perjalanan ke sana dengan kereta kuda memakan waktu sekitar satu bulan."
"Tidak apa-apa."
"Hill, entah kenapa kamu terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya, kamu selalu buru-buru untuk bertindak."
"Entahlah. Sejak berada di ruangan tempat bangsawan itu, suara wanita dalam mimpiku muncul lagi. Sejak saat itu, aku merasa ada yang berbeda. Entah itu perasaanku atau pandanganku, aku sulit menjelaskannya."
"Syukurlah kalau begitu. Mungkin pikiranmu sudah mulai dewasa. Tapi, kira-kira siapa wanita yang kamu sebutkan itu?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak mengenali suaranya. Aku belum pernah melihatnya."
Waktu pun berlalu. Hill dan Levia melanjutkan perjalanan mereka, semakin dalam memasuki gua. Mereka melewati tanjakan batu dan melompati aliran air yang mengalir. Tiba-tiba, mereka mendengar suara bergerak di belakang mereka. Dengan cepat, mereka berbalik untuk melihat apa yang ada di sana.
"Hill, apakah kamu mendengarnya?"
"Iya."
"Apakah kita perlu memeriksanya?"
"Sebaiknya tidak."
Mereka melanjutkan perjalanan, namun tak lama setelah itu, suara itu terdengar lagi. Mereka menoleh ke belakang, tetapi hanya melihat batu-batu besar yang ada di sekitar mereka. Tanpa ada apa-apa yang tampak mencurigakan, mereka pun kembali berjalan. Namun, setelah beberapa langkah, Levia tiba-tiba berteriak.
"Hill, awas! Menghindarlah!"
Hill langsung menghindar, dan terkejut melihat sosok ular besar dan panjang berwarna hitam yang muncul di belakang mereka. Ular itu hanya diam, memperhatikan mereka dengan tajam. Hill dan Levia terdiam sejenak, terkejut oleh kehadiran makhluk itu. Perlahan, Levia berbicara kepada Hill.
"Hill, kita harus menjauh. Mundur perlahan."
Hill dan Levia mulai mundur perlahan, berusaha menjauh dari ular besar yang masih diam memandangi mereka. Namun, tanpa sengaja, Hill menginjak sebuah batu kecil. Suara langkahnya terdengar jelas di dalam gua yang sunyi, membuat ular itu bereaksi. Tanpa ampun, ular itu mulai bergerak cepat mengejar mereka.
"Hill, ular itu semakin mendekat! Awas, hindarilah!"
Saat ular itu mencoba menggigit Hill, gigitan tersebut meleset karena Hill berhasil menghindar dengan cepat. Mereka terus berlari, berusaha menjauh dari makhluk besar itu. Levia terbang rendah, mencari batu untuk digunakan sebagai senjata. Dia mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke arah ular, tetapi lemparannya selalu meleset.
Tak lama setelah itu, ular itu membuka mulutnya dan mengeluarkan cairan berwarna ungu, meludahkannya ke arah Hill. Hill yang sedang berlari melihat sebuah batu agak besar di depannya dan melompatinya. Cairan ungu itu mengenai batu tersebut, dan seketika batu itu mulai meleleh, menunjukkan betapa berbahayanya cairan tersebut.
Hill dan Levia terus bergerak dengan cepat, namun Hill sudah mulai kelelahan. Saat itu, sebuah cahaya terlihat di depan mereka.
"Hill, itu jalan keluar! Sedikit lagi!"
Kecepatan Hill mulai melambat, dan tubuhnya terasa semakin berat karena kelelahan.
"Hill, bertahanlah! Kita hampir sampai! Jalan keluar sudah dekat!"
Tapi Hill merasa sangat lelah, dan ketika ular itu semakin mendekat, ia mencoba menggigit tubuh Hill. Tiba-tiba, suara geraman yang sangat keras terdengar dari luar gua. Seiring dengan suara itu, langit yang semula cerah tiba-tiba menjadi gelap karena sebuah bayangan besar melintas. Geraman itu terus menggema di sekitar mereka, dan ular itu, ketakutan, langsung mundur dan melarikan diri.
Hill dan Levia terdiam sejenak, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ular itu semakin menjauh, dan suasana kembali menjadi lebih tenang.
"Hill, syukurlah kamu tidak apa-apa."
"Apa itu tadi?"
"Aku tidak tahu. Tapi suara itu sudah mulai menghilang, sepertinya makhluk itu sudah pergi. Ayo, kita keluar sekarang!"
Dunia luar yang cerah terbentang di depan Hill dan Levia. Mereka terus berjalan keluar dari gua, dan saat Hill melangkah pertama kali, sebuah angin sepoi-sepoi berhembus, membuat rambutnya tergerai di samping wajah. Hill merasakan udara yang begitu segar, matanya memandang luas pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tanpa disadari, senyum lebar mulai muncul di wajahnya. Itu adalah senyum yang ceria, seperti saat dia bersama orang tuanya.
"Indah sekali... Saat ini aku berada di sebuah bukit yang tinggi dan luas. Ada banyak batu, dari yang kecil hingga besar. Beberapa rumput kuning tampak di sana sini, hanya ada sedikit pohon, tapi pemandangannya luar biasa. Aku bisa melihat gunung-gunung di kejauhan mengelilingi tempat ini. Langit begitu dekat, awan terasa seperti bisa kugapai. Inilah dunia luar. Apakah ada tempat lain yang lebih indah dari ini?"
"Hill, hati-hati! Jangan terlalu dekat dengan jurang, nanti kamu bisa jatuh!"
Levia yang terbang di dekat Hill memperingatkannya.
"Levia, apakah kamu tahu tempat ini?"
"Ya, ini adalah Bukit Neil. Bukit ini terletak di bagian timur Kerajaan Magi. Dari sini, kita bisa mampir ke Kota Disha nanti. Lihat ke sana, Hill, pohon raksasa yang kamu panggil, kita bisa melihatnya dari sini."
Hill menatap pohon raksasa yang terlihat jauh di kejauhan. Pandangannya penuh rasa takjub.
"Indah sekali..."
Levia tersenyum melihat Hill. Wajah Hill tampak lebih ceria dan tenang, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Meskipun Levia tak pernah mengungkapkan perasaannya, dia merasa senang bisa melihat Hill seperti ini, penuh harapan dan kebahagiaan.
"Levia, aku ingin melihat tempat ini di malam hari. Mungkin kita bisa bermalam di sini."
Levia menghapus air mata yang perlahan jatuh dari matanya dan menjawab dengan riang, meskipun ada perasaan sedih yang ia tahan.
"Ya, baiklah, Hill."
Waktu berlalu, dan menjelang sore, burung-burung terbang tinggi di langit, sementara Hill dan Levia duduk bersama di atas batu, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung. Mereka menikmati buah-buahan yang mereka bawa dari Desa Intilasi, berbincang ringan dan menikmati pemandangan yang begitu indah.
Malam pun tiba. Mereka berbaring di tanah yang dipenuhi rumput kuning, memandangi langit yang penuh dengan bintang-bintang. Hill merasa seolah-olah dia berada di dunia yang berbeda, di tempat yang sangat damai.
"Banyak sekali bintang di langit malam ini. Di antara bintang-bintang itu, ada satu garis besar berwarna pink yang sangat indah. Bulan sangat terang, dan cahaya bulan serta bintang membuat tempat ini tak begitu gelap. Ini sangat indah."
Saat mereka berbaring, Hill mengangkat tangannya dan menunjuk salah satu bintang di langit. Perlahan, air mata mulai mengalir di wajahnya.
"Levia, di antara banyak bintang yang terang itu, apakah ayahku berada di sana saat ini?"
Levia menatap Hill, hati terasa sesak mendengar pertanyaan itu.
"Hill..."
"Aku merasa seperti ayahku sedang tersenyum kepadaku dari sana, dari antara bintang-bintang yang terang itu."
Hill terdiam sejenak, kemudian suara isaknya mulai terdengar, dan dia mulai menangis.
"Seandainya... Seandainya aku bisa melihat pemandangan ini bersama ayah dan ibu. Aku... aku ingin duduk di sini bersama mereka. Ayah bercanda bersamaku, ibu menyiapkan makanan, dan kami semua duduk bersama sambil menikmati pemandangan ini."
Levia yang mendengar itu tidak bisa lagi menahan tangisannya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya, tetapi air matanya terus mengalir. Hill melanjutkan, dengan suara yang terisak.
"Ayah... ibu... aku merindukan kalian. Aku ingin memeluk kalian. Aku ingin tidur bersama kalian lagi, aku ingin kalian memelukku ketika aku bermimpi buruk di malam hari."
Levia yang tak bisa menahan perasaan lagi, ikut menangis. Namun, ia berusaha untuk menghibur Hill.
"Hey, Levia, kenapa kamu ikut menangis?"
"Hill... jangan khawatir, sekarang ada aku. Aku bisa memelukmu, jika kamu bermimpi buruk, aku akan segera memelukmu. Meskipun tubuhku kecil, aku hanya bisa memeluk wajahmu."
Hill mengusap air matanya dan tersenyum, meskipun masih ada kesedihan di matanya.
"Aku tidak mau kamu memeluk wajahku, itu terasa aneh."
Levia, meski masih menangis, tersenyum tipis.
"Hill, kamu jahat."
Akhirnya, mereka berdua tertidur di bawah langit yang penuh bintang. Kepala mereka saling bersentuhan.