Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Kehilangan yang Tak Terduga.
Pagi itu, sekolah masih seperti biasanya, tetapi ada sesuatu yang hilang. Suasana menjadi sedikit berbeda, ada kekosongan yang terasa, terutama bagi Nadia. Dia berjalan menuju kelas dengan perasaan cemas yang tak bisa diabaikan. Di dalam hati, dia bertanya-tanya kemana Steven. Ketidakhadiran Steven membuat hatinya agak berat, ada rasa kehilangan yang merayapi pikirannya.
Saat Nadia memasuki kelas, dia melihat Cici bersama Imel dan Dina, ketiganya tertawa terbahak-bahak. Mereka tampak lebih ceria daripada biasanya, seolah ada sesuatu yang menghibur mereka. Nadia mendekat dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya.
"Nadia, Nadia," ucap Cici dengan nada mengejek, "sudah saya bilang jangan melangkah terlalu jauh, sekarang siapa yang akan mendukungmu?" Cici tersenyum sinis, sementara Imel dan Dina terus tertawa.
Nadia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa sakit dan ketakutannya. Ia tahu bahwa Cici dan kawanannya akan semakin kejam jika mereka melihat dia menderita. Namun, perasaan terpuruk tidak bisa dihindari. Dalam sekejap, Cici dan kedua sahabatnya memulai perundungan mereka lagi.
Imel mengambil seutas tali dari tasnya, kemudian mendekati Nadia. Dengan cepat, dia mengikat leher Nadia, menariknya seperti anjing yang sedang digiring. Dina juga ikut menarik tali itu, membuat Nadia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.
"Tunggu, apa kalian gila?" teriak salah satu teman sekelas yang berusaha menghentikan aksi tersebut, yaitu Melodi. Namun, Cici menatapnya dengan tajam, membuat teman tersebut mundur ketakutan.
Cici tertawa lebar menyaksikan itu semua, merasa puas dengan penderitaan yang dialami Nadia. "Lihat, sekarang kau benar-benar seperti anjing yang hina, Nadia," ejek Cici.
Nadia mencoba bangkit dengan susah payah, rasa malu dan sakit bercampur aduk dalam hatinya. Dia tahu bahwa dia harus tetap kuat, tetapi situasinya sangat berat. Pikirannya terus berputar, mencari cara untuk melawan ketidakadilan yang dia alami.
Lonceng berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran. Cici menyelesaikan perundungan itu. Siswa-siswi segera bersiap untuk pulang.
Nadia hanya bisa terdiam dan tergeletak seperti anjing di kelas itu, berpikir kapan luka itu akan habis.
Dewi, ibu Nadia, sudah menunggu di depan gerbang sekolah dengan motornya. Dewi tahu tentang asal-usul Cici dan merasa khawatir akan keselamatan Nadia.
"Yuk sayang, naik," ucap Dewi dengan suara lembut.
"Iya Bu," balas Nadia, naik ke motor dengan lelah.
Selama perjalanan pulang, pikiran Nadia dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang rencana apa yang sedang disusun oleh Cici. "Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Cici?" ujarnya dalam hati kecil.
Setibanya di rumah, Nadia merasa lebih tenang meskipun bayang-bayang ancaman dari Cici masih mengikutinya. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya dan mencari cara untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Meskipun tekadnya untuk melawan masih kuat, dia tahu bahwa dia harus lebih berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil langkah berikutnya.
Bayang-Bayang Ketidakpastian*
Pagi berikutnya, sekolah kembali ramai dengan kegiatan. Namun, Nadia merasakan sesuatu yang ganjil, seolah ada bayang-bayang ketidakpastian yang menggantung di udara. Steven masih belum terlihat, membuat kegelisahannya semakin besar.
Di kelas, Cici dan gengnya masih menjadi pusat perhatian. Mereka duduk bersama dengan aura kemenangan, guru yang tidak kunjung datang membuat Nadia semakin khawatir. Namun, dia juga selalu berpikir terus-menerus tentang Steven, ketua OSIS, rasa cemas akan ketidakhadiran Steven dan ancaman yang mungkin datang dari Cici.
Saat istirahat, Imel mendekati Nadia dengan senyum licik. "Apa kabar, Nad? Masih merasa seperti anjing hari ini?" ejeknya, membuat beberapa siswa tertawa.
Nadia mencoba untuk tidak merespons, tetapi dalam hatinya, dia merasa sangat terhina dan marah. Namun, dia tahu bahwa menunjukkan kelemahan hanya akan membuat mereka semakin kejam.
Di sisi lain, Cici terus mengawasi setiap gerakan Nadia. Dia tahu bahwa Nadia adalah ancaman potensial bagi kekuasaannya di sekolah. Dengan penuh rencana, Cici memutuskan untuk melancarkan serangan yang lebih besar untuk memastikan Nadia tidak akan pernah berani melawannya lagi.
Cici berbisik kepada Imel dan Dina, "Jangan ganggu Nadia lagi, tapi kita akan mengganggu Melodi, yang pernah membantah kejadian hari ini."
Imel dan Dina serta Cici kembali ke kelas, meninggalkan Nadia. "Tumben mereka tidak membuat kegilaannya," ujar Nadia.
Melodi, anak beasiswa yang mulai muak akan kelakuan Cici yang sudah merajalela, bukannya membuat situasi semakin membaik, tetapi sebaliknya, dia ditarik oleh Imel dan Dina. Rambut Melodi diikat di kursi, sama seperti apa yang dilakukan mereka kepada Nadia.
Nadia memasuki kelas dan melihat kejadian itu. Sontak mata Nadia terkejut, ternyata bukan hanya dia yang bisa diperlakukan seperti itu. Melodi, anak yang pernah membantah kejadian perundungan, menjadi pengganti Nadia dirundung oleh Cici dan kedua sahabatnya itu.
Melodi yang kakinya diseret dan rambutnya diikat ke kursi sambil ditarik oleh Imel dan Dina membuat Melodi kesakitan. Siswa-siswi tidak satupun yang berani membantu, hanya menonton dan tidak berekspresi.
Di satu sisi, Nadia tidak tahu apa sebenarnya kemauan Cici. Setelah Nadia dirundung, Melodi juga dirundung.
"Apa sebenarnya cerita di balik semua ini?" ujar Cici sambil menatap kejadian perundungan yang dilakukan Cici dan kedua sahabatnya itu.
Cici sudah bosan melihat Melodi dan menyelesaikan perundungan itu. "Sudah, guys, kita kembali ke tempat masing-masing. Guru yang tidak pernah mengajar membuat kelas ini semakin banyak masalah dan teka-teki."
Nadia pulang dijemput oleh ibunya. Dia menatap kelas di atas, yaitu kelas ketua OSIS Kaka kelas nya, yang tak kunjung terlihat hari itu.
Nadia pulang dengan ibunya. Sampai di rumahnya, Nadia terasa bersedih dan pergi ke kamarnya untuk meluapkan kesedihannya karena kejadian itu.
semangat