Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mikael
Setelah beberapa jam menyusun rencana di pusat komunikasi, malam pun tiba. Akselia melangkah keluar, mencari udara segar. Pusat kota yang sepi tampak berbeda di bawah cahaya bulan yang redup. Gemerlap lampu jalanan menciptakan bayangan panjang di antara gedung-gedung kosong, memberikan suasana melankolis yang tak bisa dihindari. Dalam keheningan itu, Akselia merasakan beban yang semakin menekan dadanya.
Langkah kaki mendekat dari belakang. Akselia menoleh dan mendapati Mikael berdiri beberapa langkah darinya, membawa dua cangkir kecil yang mengeluarkan uap hangat.
“Teh herbal,” kata Mikael sambil mengulurkan satu cangkir ke arah Akselia. “Aku tidak tahu apakah ini bisa membantu, tapi sepertinya kau butuh sesuatu untuk menenangkan pikiranmu.”
Akselia menerima cangkir itu dengan senyuman tipis. “Terima kasih,” gumamnya pelan. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”
Mikael berdiri di sampingnya, memandang langit malam yang dipenuhi bintang. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Akselia,” katanya setelah beberapa saat. “Kau sudah melakukan lebih dari yang kebanyakan orang bisa lakukan. Kau menghentikan Proyek Elysium. Kau memberikan harapan kepada orang-orang.”
Akselia menghela napas panjang. “Menghentikan Proyek Elysium hanyalah langkah pertama, Mikael. Dunia ini masih jauh dari kata pulih. Banyak yang harus diperbaiki, dan aku tidak yakin bisa melakukannya.”
Mikael menoleh, menatap Akselia dengan serius. “Kau tidak perlu melakukannya sendirian. Kau punya aku, Reina, dan semua orang yang percaya padamu. Kami ada di sini untukmu.”
Kata-kata itu membuat hati Akselia bergetar. Dia menatap Mikael, mencoba mencari kepastian di matanya. “Kau selalu mendukungku, bahkan ketika aku sendiri meragukan diriku. Kenapa, Mikael? Apa yang membuatmu begitu yakin?”
Mikael tersenyum tipis, tatapannya melembut. “Karena aku percaya padamu, Akselia. Dari semua orang yang pernah aku temui, kau adalah orang yang selalu berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Itu… menginspirasiku.”
Akselia terdiam, membiarkan kata-kata Mikael meresap. Di tengah keheningan malam, ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan hanya rasa lega karena mereka berhasil melewati rintangan besar, tapi juga kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam hatinya.
“Aku takut, Mikael,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Aku takut membuat keputusan yang salah. Aku takut mengecewakan orang-orang yang bergantung padaku.”
Mikael menatapnya dengan penuh kelembutan. “Rasa takut itu manusiawi, Akselia. Tapi kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian. Aku di sini untuk mendukungmu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap di sisimu.”
Kata-kata itu membuat Akselia merasa lebih ringan. Dia menatap Mikael, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia membiarkan dirinya tersenyum dengan tulus. “Terima kasih, Mikael,” katanya pelan.
Mikael mengangguk, lalu kembali menatap langit. “Aku selalu percaya bahwa bintang-bintang ini mengingatkan kita bahwa meskipun gelap, masih ada cahaya. Sama seperti kau, Akselia. Kau adalah cahaya bagi kami semua.”
Akselia tidak mengatakan apa-apa. Tapi di dalam hatinya, dia merasa lebih kuat. Bukan hanya karena kata-kata Mikael, tapi karena dia tahu bahwa dia tidak lagi sendirian. Di tengah semua kekacauan dan ketidakpastian, ada orang-orang yang bersedia berjalan bersamanya, melewati setiap rintangan yang ada.
Ketika angin malam bertiup lembut, Akselia menatap Mikael dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berjuang. Tidak hanya untuk dunia yang lebih baik, tapi juga untuk mereka yang percaya padanya, yang selalu ada di sisinya.
Dan dalam keheningan malam itu, ada harapan baru yang tumbuh. Bukan hanya untuk dunia mereka, tapi juga untuk hubungan yang perlahan mulai terjalin di antara dua jiwa yang saling mendukung dalam gelapnya perjalanan.
Pagi datang dengan cepat, membawa ketegangan baru. Kota mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, meskipun masih ada ketidakpastian di setiap sudut. Akselia, Mikael, dan Reina sudah bersiap untuk pertemuan dengan kelompok-kelompok perlawanan yang baru saja dihubungi. Di ruangan yang penuh dengan peta dan dokumen, mereka mencoba menyusun strategi bersama pemimpin lain yang datang dari berbagai wilayah.
Saat semua orang sibuk berbicara tentang rencana, Akselia sesekali kehilangan fokus. Malam sebelumnya terus terngiang di pikirannya—percakapan dengan Mikael, dan bagaimana kehadirannya membuat beban di hatinya terasa lebih ringan. Dia tidak tahu apakah dia harus membicarakan hal itu, atau justru menyimpannya dalam hati.
“Mengapa kau terlihat gelisah?” tanya Reina sambil melirik ke arahnya.
Akselia sedikit terkejut, tetapi dia dengan cepat menyembunyikan kegugupannya. “Tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan langkah kita selanjutnya.”
Reina mengerutkan kening, tetapi tidak mendesak lebih jauh. “Baiklah, tapi jangan terlalu memaksakan dirimu. Kita semua tahu kau selalu berusaha menjadi yang paling kuat di sini, tapi ingat, kau juga manusia.”
Sebelum Akselia sempat merespons, Mikael masuk ke ruangan dengan membawa beberapa dokumen. “Mereka setuju untuk bergabung, tapi mereka ingin kita menunjukkan rencana yang jelas,” katanya, melirik ke arah Akselia. “Apa yang kau pikirkan?”
Akselia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dari kursinya. “Kita harus mulai dengan hal-hal kecil. Membangun kembali kepercayaan masyarakat. Memberikan mereka kesempatan untuk memahami apa yang telah terjadi dan bagaimana kita bisa melangkah ke depan. Jika kita memaksakan perubahan terlalu cepat, itu hanya akan menciptakan kekacauan baru.”
Mikael mengangguk, sementara Reina tampak berpikir. “Tapi bagaimana jika mereka yang masih mendukung Proyek Elysium menyerang kita? Mereka tidak akan diam saja melihat kita mencoba membangun kembali sistem yang mereka anggap berbahaya.”
“Kita tidak akan melawan mereka dengan cara yang sama,” jawab Akselia tegas. “Kita akan menunjukkan bahwa kita bukan musuh mereka. Kita akan mengulurkan tangan, bukan mengangkat senjata.”
Mikael tersenyum tipis. “Itu terdengar seperti sesuatu yang hanya bisa dikatakan oleh seseorang sepertimu, Akselia.”
Reina memutar matanya. “Dan sesuatu yang sangat sulit dilakukan, kalau boleh aku tambahkan.”
Meski begitu, mereka semua tahu bahwa Akselia benar. Jalan yang mereka pilih memang tidak mudah, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk menciptakan dunia yang benar-benar bebas dari bayang-bayang kontrol.
---
Beberapa jam kemudian, kelompok mereka bergerak menuju salah satu desa yang masih berada di bawah pengaruh Proyek Elysium. Desa itu tampak tenang, tetapi suasana di sana penuh dengan ketegangan. Mata-mata penuh kecurigaan mengikuti setiap langkah mereka, dan bisikan-bisikan terdengar di antara penduduk.
Ketika mereka sampai di tengah desa, seorang pria tua dengan tongkat kayu mendekat. Wajahnya keras, dengan tatapan yang sulit ditebak. “Apa yang kalian inginkan di sini?” tanyanya dengan nada tajam.
Akselia maju selangkah, menatap pria itu dengan tenang. “Kami datang untuk berbicara, bukan untuk memaksakan apa pun. Kami ingin mendengar apa yang kalian pikirkan tentang dunia yang sedang berubah ini.”
Pria itu mendengus. “Dunia yang berubah? Yang kami tahu, kalian adalah penyebab kekacauan ini. Sistem yang dulu melindungi kami sekarang hilang. Apa yang kalian tawarkan untuk menggantinya?”
Suasana menjadi semakin tegang. Penduduk desa mulai berkumpul, memperhatikan dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Mikael tampak bersiap jika situasi memburuk, sementara Reina berdiri di belakang Akselia, waspada terhadap segala kemungkinan.
Namun, Akselia tetap tenang. “Kami tidak akan menawarkan janji kosong. Kami hanya menawarkan satu hal—kebebasan untuk memilih jalan kalian sendiri. Kami tahu itu tidak mudah, dan kami tidak berharap kalian langsung mempercayai kami. Tapi kami di sini untuk mendengarkan dan membantu jika kalian menginginkannya.”
Pria tua itu terdiam, memandang Akselia dengan tatapan tajam. “Kebebasan? Apa yang bisa dilakukan dengan kebebasan kalau tidak ada kepastian? Kau mungkin berpikir itu adalah hak, tapi bagi kami, itu adalah sesuatu yang menakutkan.”
Akselia merasa hatinya tergerak mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa banyak orang seperti pria ini—mereka yang telah begitu lama hidup di bawah kontrol, hingga kebebasan terasa seperti beban. “Aku mengerti rasa takut kalian,” katanya lembut. “Aku juga pernah merasa takut. Tapi percayalah, kalian lebih kuat dari yang kalian pikirkan. Dunia ini tidak sempurna, tetapi kita bisa membangunnya bersama-sama.”
Penduduk mulai berbisik, beberapa dari mereka tampak ragu, sementara yang lain mulai menunjukkan tanda-tanda harapan. Mikael melangkah mendekat, berdiri di sisi Akselia. “Kami tidak meminta kalian percaya pada kami hari ini,” tambahnya. “Tapi beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa kami ada di sini untuk membantu, bukan untuk mengontrol.”
Pria tua itu akhirnya mengangguk perlahan. “Baiklah. Kita lihat apa yang bisa kalian lakukan. Tapi ingat, kepercayaan kami tidak mudah didapat.”
Ketegangan perlahan mereda, dan Akselia merasa lega. Ini hanyalah langkah kecil, tetapi itu adalah awal. Mereka meninggalkan desa itu dengan harapan bahwa suatu hari, mereka bisa benar-benar memenangkan hati orang-orang seperti pria tua tadi.
Saat mereka berjalan kembali ke kendaraan mereka, Mikael melirik Akselia. “Kau luar biasa,” katanya tiba-tiba.
Akselia menoleh, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
“Cara kau berbicara dengan mereka. Kau tidak hanya berbicara dari pikiranmu, tapi juga dari hatimu. Itu yang membuatmu berbeda,” kata Mikael, senyumnya lembut.
Akselia merasakan pipinya sedikit memanas, tetapi dia hanya tersenyum tipis. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar.”
Mikael menatapnya lebih lama dari biasanya, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi dia memilih untuk diam. Reina, yang berjalan di belakang mereka, memperhatikan percakapan itu dengan senyuman kecil di sudut bibirnya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Dalam perjalanan pulang, Akselia merasa ada kehangatan yang baru tumbuh di antara mereka. Di tengah semua ketegangan dan perjuangan, dia mulai menyadari bahwa dia tidak hanya menemukan teman-teman yang setia, tetapi mungkin juga sesuatu yang lebih. Namun, dia tahu, perasaan itu harus menunggu. Dunia membutuhkan dia lebih dari apa pun saat ini.