Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam pertama
Setelah pesta benar-benar usai, Yaya dan Andrian pun segera naik ke lantai 3 dimana kamar yang sudah dibooking keluarga Yaya berada. Yaya amat sangat gugup. Sesekali ia melirik Andrian yang sudah resmi menjadi suaminya. Di saat bersamaan ternyata Andrian pun sedang memperhatikannya. Yaya tertunduk malu. Meskipun ia sudah mengenal dekat Andrian sejak dua tahun yang lalu, tapi mereka tidak pernah benar-benar pacaran. Mereka hanya saling mengenal. Andrian kerap mengajaknya ketemuan di luar. Mereka kerap makan, nonton, dan jalan berdua.
Namun sejak setahun yang lalu, mereka sudah tidak pernah jalan berdua lagi. Sejak kemunculan Marissa, setiap bertemu, maka Andrian pasti akan membawa Tania. Yaya tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi setelah tahu nasib bocah yang kini berusia 3 tahun itu sudah ditinggalkan ayahnya yang menikah lagi dengan perempuan lain. Yaya yang memang sudah iba, ikut merasakan kesedihan Tania. Oleh sebab itu, Yaya tidak mempermasalahkan kehadiran Tania di antara mereka sama sekali.
Bahkan saat Andrian melamarnya beberapa bulan yang lalu pun, gadis kecil itu turut serta bersama ibunya. Yaya yang memang sudah menaruh hati pada Andrian pun segera menerima lamaran itu. Dua tahun saling mengenal satu sama lain, baginya sudah cukup untuk menjadi alasan pernikahan mereka. Meskipun tidak pernah tercetus secara langsung kata cinta itu, namun kedekatan mereka sudah selayaknya sepasang kekasih. Maka melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, bukankah merupakan sesuatu yang lebih mulia daripada sekedar pacaran.
Denting lift terdengar jelas. Mereka akhirnya sudah sampai di lantai yang dituju. Andrian pun membantu Yaya yang kesulitan melangkah karena gaunnya yang cukup panjang.
Saat masuk ke kamar, degup jantung Yaya jauh lebih kencang. Meskipun mereka sudah begitu dekat, tapi mereka tidak pernah melakukan interaksi lebih apalagi intim. Jadi wajar 'kan kalau Yaya gugup setengah mati saat ini.
"Mas mau mandi dulu apa aku duluan?" tanya Yaya lembut.
"Kamu aja dulu. Aku masih mau merokok. Mulutku masam sekali. Sudah sejak tadi belum merokok. Nggak papa 'kan?" ujar Andrian.
"Nggak papa, Mas. Kalau begitu, Yaya ke kamar mandi dulu ya."
Andrian mengangguk. Yaya pun segera menuju koper yang sudah disiapkan ibunya di kamar itu. Ia mengambil salah satu gaun tidur yang sudah dibelinya sebelumnya. Dengan tersenyum, ia mengambil gaun malam berwarna hitam berbahan satin tersebut dan membawanya ke kamar mandi. Di kamar mandi, Yaya mandi sebersih mungkin. Setelah mengenakan pakaian, pipinya memerah saat melihat penampilannya di cermin.
"Ck, kamu kok centil banget sih, Ya? Duh, gimana ya? Kok aku jadi malu sendiri?" gumam Yaya sambil mematut dirinya di depan cermin.
"Tapi kenapa harus malu? Bukankah kami sekarang sudah suami istri. Artinya apa yang ada padaku semua sudah menjadi milik Mas Rian. Semoga Mas Rian suka dengan penampilanku ini," gumamnya sambil menggigit bibir. Jantungnya bertalu-talu. Seakan ada genderang perang yang ditabuh kencang di dalam sana.
Yaya menutup tubuhnya dengan bathrobe yang tersedia di lemari kecil yang ada di dekat cermin. Setelahnya, ia keluar dan mempersilahkan suaminya mandi. Selama Andrian mandi, Yaya menyiapkan pakaian suaminya. Melihat segitiga milik Andrian, seketika membuat pipi Yaya bersemu merah. Dengan perasaan gugup luar biasa, ia mengambil salah satu segitiga yang tersimpan di dalam koper milik suaminya dan meletakkannya di atas ranjang. Tak lama kemudian, Andrian keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk putih melingkari pinggangnya. Yaya pun mengatakan kalau ia sudah menyiapkan pakaian sang suami.
"Terima kasih," ucap Andrian sambil tersenyum geli saat melihat pipi Yaya yang sudah memerah.
Andrian memakai celana pendek yang Yaya siapkan, tapi tidak dengan baju kaosnya. Dengan langkah pelan, ia mendekati Yaya yang sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah menunduk. Rasa gugup kian menjadi-jadi. Apalagi saat posisi Andrian sudah berada di hadapannya.
"Apa lantai itu terlihat lebih menarik daripada aku?" ucap Andrian.
"Ah, ma-maksudnya?"
Degh ...
Yaya seketika salah tingkah saat Andrian menatapnya penuh arti. Ia ingin memalingkan wajahnya, tapi Andrian sudah lebih dulu menahan dagunya sehingga kini wajah mereka berhadapan.
"Kenapa? Malu?" goda Andrian membuat pipi Yaya makin memerah.
"Udah tau, nanya," jawab Yaya pelan dengan bola mata mencoba berlari ke arah lain. Andrian terkekeh mendengarnya.
"Kalau malu, gimana kita bisa melakukan malam pertama?" ucap Andrian seraya tersenyum.
"Na-namanya juga baru menikah. Jadi ... jadi wajar masih malu."
"Hm, benar juga. Bahkan dulu saat pertama aku menggenggam tanganmu pun kamu gugup sekali. Kamu tuh lucu banget tau, Ya."
"Memangnya aku badut dibilang lucu? Namanya aku baru kali itu dekat sama cowok jadi wajar 'kan gugup. Beda sama kamu yang pasti udah dekat dengan banyak perempuan. Bahkan dengan Mbak Marissa pun kalian dekat sekali. Kayak bukan sahabat aja. Kalau yang nggak kenal kalian pasti akan mengira kalian itu pasangan lho."
"Oh ya?" Yaya mengangguk. "Masih gugup?" Pertanyaan Andrian membuat Yaya ingat kembali dengan situasi saat ini. Ini merupakan malam pertama mereka. Jelas saja Yaya gugup luar biasa. Padahal tadi rasa gugupnya sempat hilang. Kini ia justru kembali gugup.
"Aku gugup lagi," ujar Yaya polos.
Andrian tergelak. "Yah, kalau gitu, kita langsung mulai aja ya? Lama kalau nunggu kamu hilang gugupnya. Kamu siap?"
Meskipun gugup luar biasa, Yaya tetap mengangguk. Lalu dengan perlahan, Andrian pun mendekatkan bibirnya dengan bibir Yaya. Awalnya hanya kecupan, tapi lambat laun kecupan itu berganti jadi lumatan. Andrian melumat bibir Yaya dengan lembut. Yaya awalnya merasa bingung bagaimana membalas lumatan Andrian, tapi Andrian dengan sabar mengajarinya. Hingga akhirnya, kini mereka pun saling beradu bibir dan lidah. Bunyi decapan mulai memenuhi kamar pengantin itu.
Andrian mencumbu Yaya sambil membimbingnya ke atas ranjang. Dibaringkannya tubuh Yaya dengan perlahan di atas sana. Tangannya pun tak tinggal diam. Ia mulai bergerilya menyentuh apa yang sudah seharusnya menjadi miliknya.
Kamar itupun semakin panas. Bahkan bathrobe Yaya sudah dilempar entah kemana. Berikut gaun malam yang Yaya pakai pun sudah tersingkap tidak karuan. Suara keduanya semakin memburu. Seiring dengan rasa panas yang kian menjalari sekujur tubuh.
Keduanya kini sudah polos tanpa busana. Momen penyatuan sudah berada di depan mata. Namun saat pusaka Andrian sudah berada di ambang pintu masuk kepunyaan Yaya, tiba-tiba ponsel Andrian berdering nyaring. Andrian yang sangat hafal dengan nada dering itupun segera beranjak tanpa melihat wajah Yaya lagi. Andrian segera mengangkat panggilan itu tanpa meminta izin pada wanita yang masih terengah di atas ranjang.
Lalu beberapa saat kemudian, Andrian pun kembali mendekat. Yaya pikir Andrian hendak melanjutkan aktivitas mereka. Namun sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi. Andrian justru mengatakan sesuatu yang sungguh tak pernah Yaya duga.
"Ya, aku harus segera pergi. Tania tiba-tiba demam. Aku harus ke sana saat ini juga," ujar Andrian cepat sambil memungut pakaian dalamnya dan mengenakannya. Setelahnya, ia berlari menuju koper dan mengambil pakaiannya.
"Tapi Mas, ini 'kan malam pertama kita? Apa tidak ada orang lain yang bisa kau suruh ke sana?" ucap Yaya pelan.
"Kita masih punya banyak waktu, Ya. Tania sedang membutuhkan aku saat ini. Aku pergi," ucapnya tanpa memiliki perasaan Yaya sama sekali.
Yaya terperangah tidak percaya. Ia pikir malam pertamanya akan berakhir indah. Siapa sangka malam pertamanya justru akan berakhir seperti ini.
Dipandanginya pintu yang sudah tertutup. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke tubuhnya yang sudah tidak tertutup sehelai benangpun. Jujur saja ia kecewa. Namun Yaya mencoba menabahkan hati.
"Sudahlah. Mungkin saat ini Tania lebih membutuhkan Mas Rian," ujarnya berusaha berpikir positif.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...