Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Curhatan Naura
Dua jam kemudian, Naura baru saja tiba di rumah setelah sebelumnya mampir ke mall untuk membeli beberapa makanan favoritnya, rencananya ia akan makan bersama dengan sahabatnya yang selama ini menemaninya pindah ke Jakarta karena ibunya tidak bisa ikut ke Jakarta karena masih mengurus usaha batiknya yang selama ini ia jalankan semenjak masih muda.
Dengan uang sisa dari Irfan serta tabungan yang ia sisihkan dari gaji selama dua tahun sejak awal bekerja di Grup Mahesa, Naura bisa membeli rumah kecil di pinggiran Jakarta. Meski kecil tapi rumah sendiri. Ada untungnya ia bekerja sebagai sekretaris Presdir, gajinya dua digit jadi cukup membantu saat ia ingin membeli rumah, ketimbang terus-terusan ngontrak atau ngekost bersama Alma. kebetulan ada orang jual butuh jadi sungguh beruntungnya Naura.
“Loh, Naura ... tumben kamu sudah pulang? Biasanya malam baru pulang?” tanya Alma saat membukakan pintu untuk Naura.
Naura bergegas masuk ke dalam, dan menaruh semua belanjaannya ke atas meja, lalu ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.
“Ada sesuatu di kantor Al, makanya aku mending pulang saja,” jawab Naura dengan raut wajah lelahnya, tangannya langsung membuka blazer yang ia kenakan nya.
“Sebentar aku ambil minum buat kamu dulu,” balas Alma bergegas ke dapur mengambil air dingin, dan membawanya untuk Naura.
“Thanks, Al.” Naura langsung menjenguk air dingin itu, tenggorokannya terasa adem.
Sementara Alma mengintip belanjaan Naura dengan senyuman sumringahnya, kemudian ia kembali menatap sahabatnya. “Naura, tumben kamu beli makanan sebanyak ini? Habis dapat bonus ya? Atau jangan-jangan kamu ada masalah?” tebak Alma dengan tatapan curiganya.
Naura tak bisa tersenyum, ia pun mencondongkan tubuhnya ke depan lalu mengeluarkan belanjaannya dari plastik. “Kita makan berdua ya, aku pengen nikmati hidup,” balas Naura.
Alma sangat paham akan sikap Naura kalau sudah begini, lantas ia pindah duduk ke samping Naura. “Apa yang terjadi? Cerita lah? Aku tahu kalau wajahmu sudah murung begini dan banyak makanan begini, pasti ada sesuatu,” tebak Alma to the point.
Naura menghentikan kegiatannya tersebut, tangannya kini beralih mengusap ujung matanya. “A-aku bertemu dengannya, Al. Hatiku sesak, Al,” ungkap Naura terbata-bata, lantas tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya meluncur bebas.
Alma memeluknya dengan rasa penasarannya. “Maksud kamu siapa?” tanya Alma sembari mengusap lembut punggung sahabatnya.
“Mas Irfan, Al,” jawab Naura begitu lirihnya.
“APA!!” Alma terkejut, lantas ia mengurai pelukannya, kemudian menatap Naura. “Kamu bertemu dengan pria brengsek itu! Astagfirullah!” seru Alma, lalu ia kembali memeluk Naura, dan membiarkan wanita itu menumpahkan kesedihannya dalam beberapa saat. Setelah Naura tenang, barulah Alma menanyakan kejadiannya. Dan, semakin terkejut lah Alma dengan cerita Naura.
“Astagfirullah!” Alma jadi ikutan meneteskan air mata, ada rasa tak percaya namun nyata dan telah terjadi pada sahabatnya.
“Saat itu ternyata Mas Irfan telah menikah Al, a-aku ditipunya. Dan orang tuanya masih hidup, bapaknya adalah atasanku, Al. Sakit hatiku, Al,” ungkap Naura dibalik isak tangisnya. Rasa sakit Naura juga dirasakan oleh Alma yang turut bersedih.
“Aku setuju dengan keputusanmu, sebaiknya mengundurkan diri. Aku takut depresi kamu kambuh lagi. Tapi kamu ada uang untuk bayar penaltinya? Aku ada sedikit tabungan jika kamu butuh, pakai saja,” ujar Alma sembari mengusap pipinya.
Naura menarik napasnya yang masih sesenggukan, lalu menggeleng pelan. “Tidak usah, kamu butuh uang itu buat kirim ke orang tua kamu. Nanti aku akan cari pinjaman lunak, sekalian nanti aku jual motorku dulu,” balas Naura. Di hatinya percaya ia bisa mendapatkan pinjaman sekitar 60 juta untuk bayar penaltinya.
Alma meraih tangan sahabat lalu mengusapnya. “Gak pa-pa Naura, pakai aja dulu, ibu sudah aku transfer kemarin. Dari pada kamu kesusahan cari pinjaman. Intinya aku dukung kamu resign dari sana, insyaAllah kamu pasti dapat pekerjaan baru ketimbang kamu tiap hari bertemu dengan mantan suamimu yang biadab itu,” tukas Alma penuh amarah, karena ia adalah saksi hidup Naura, bagaimana sahabatnya hancur karena Irfan.
“Makasih Al, nanti kalau aku memang kurang dapat pinjamannya baru aku pakai uang tabungan kamu. Sekarang gimana kalau kita makan dulu, perutku lapar tadi siang tidak makan nasi, cuma ngemil doang,” ajak Naura.
Hatinya memang sangat sakit dan sedih, namun Naura berusaha untuk tidak terlalu tenggelam pada perasaan sendiri setelah ia mengetahui jika pria itu telah beristri saat menikahinya. Belajar dari kejadian empat tahun yang lalu, hatinya rapuh, mentalnya kena dan yang rugi ia sendiri bukan pria itu.
Dengan pertemuan yang tidak di duga hari ini, Naura sempat meringis mengingat masa itu. Ia kesakitan sendiri, ternyata pria itu hidup bahagia dengan istri serta anaknya. Menyesali masa lalunya yang sangat terbuai dan mencintai Irfan.
Sembari menikmati makanan yang dibeli Naura, Alma baru teringat sesuatu. “Naura, sebelum kamu benar-benar meninggalkan pekerjaanmu ada baiknya kamu tanya sama mantanmu itu di mana kuburkan anakmu. Selama ini kita tidak tahukan kuburan anakmu,” saran Alma.
Naura menarik sendok dari tepi bibirnya. “Aku memang ada rencana ke sana Al, tapi kalau kamu lihat sikapnya seperti orang asing. Doakan aku bisa bertanya, aku sungguh ingin melihat makam anakku,” ujar Naura begitu lirih, jika teringat anak yang belum pernah ia lihat pasti dirinya kembali menitikkan air mata.
Alma jadi tidak enak hari, lantas ia menggeser duduknya lalu mengusap punggung sahabatnya dengan lembutnya. “Maaf ya, kalau kamu jadi sedih kembali, tapi setidaknya jika anakmu memang telah meninggal pasti ada makamnya,” ujar Alma berhati-hati berucap.
Naura mengangguk paham sembari mengusap pipinya yang kembali basah dengan air mata.
Sementara itu di Grup Mahesa, Damar sedang melakukan meeting dengan beberapa relasi bisnis. Sedangkan Irfan usai merenung seorang diri, lantas menghubungi ruangan Naura melalui line telepon, sayangnya tidak dijawab sama sekali.
“Ke mana dia, kenapa tidak diangkat teleponnya!” Irfan kembali kesal, lalu beranjak dari duduknya menuju ruangan Naura.
"Naura!" Irfan memanggilnya ketika memegang handel pintu. Begitu ia masuk ke ruangan Naura, pria itu tidak mendapati wanita itu. Akan tetapi saat ia melihat ada figuran kecil di meja kerja, pria itu melangkah masuk dan mendekati meja itu, lalu mengangkat figura tersebut. Irfan menyentuh foto Naura yang sedang tersenyum cantik, dan tanpa ia sadari matanya berkaca-kaca.
“Naura Arashya.”
Bersambung ... ✍️
emang pas nikah orang tuanya ga datang??? ga di kenalin
kan ngelawak sebab ceritanya di Indonesia
kalo di luaran kan cuma kedua pengantin udah sah