PLAK
Dewa menatap kaget campur kesal pada perempuan aneh yang tiba tiba menampar keras pipinya saat keluar dari ruang meeting.
Dia yang buru buru keluar duluan malah dihadiahi tamparan keras dan tatapan garang dari perempuan itu.
"Dasar laki laki genit! Mata keranjang!" makinya sebelum pergi.
Dewa sempat melongo mendengar makian itu. Beberapa staf dan rekan meetingnyaa pun terpaku melihatnya.
Kecuali Seam dan Deva.
"Ngapain dia ada di sini?" tanya Deva sambil melihat ke arah Sean.
"Harusnya kamu, kan, yang dia tampar," tukas Sran tanpa menjawab pertanyaan Deva.
Semoga suka ya... ini lanjutan my angel♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus ikut
Kembali acara kumpul 'keluarga' yang nggak pernah Emily sukai terjadi lagi malam ini.
Papanya sudah menelponnya, wajib hadir di acara makan keluarga malam ini.
Kalo telanjur ada janji, batalkan.
"Besok malam Nathan mengundang kita makan malam di hotelnya." Papanya melemparkan senyum.
"Oooh... Kalian bertiga aja, kan," ucap kakek dari pihak papanya yang kebetulan sedang berkunjung bersama neneknya.
"Berempat," sahut Juhandono tenang.
Emily langsung merasakan hawa yang ngga enak mulai menyapanya. Duduknya mulai ngga betah.
"Siapa lagi? Ngga mungkin kamu bawa dia, kan?" ujar neneknya mulai menaikkan intonasi suaranya.
Kakeknya juga menatap ngga suka.
"Pa, jangan aneh aneh," ucap istrinya mulai kesal.
Kehadiran anak suaminya di makan malam keluarga saja sudah sangat menyebalkan, apalagi nanti bakal ikut juga ketemu relasi bergengsi suaminya.
"Nathan sama Zoya yang minta agar Emiliy juga ikut."
Emily juga heran, kenapa orang tua si kembar memyebalkan itu meminta dia hadir.
Nagita ngga cukup? kesalnya dalam hati.
"Kok, bisa. Cari alasan aja, kalo Emily lagi belajar kelompok," tukas neneknya.
Emily jadi teringat lagi saat reaksi kedua laki laki itu yang menyindirnya.
Hampir saja Emily menyela, tapi papanya memberikannya isyarat agar diam saja.
"Ngga masalah, kan, mam. Anak mereka kembar."
"Tapi kasian kalo nanti ada yang mau sama Emily. Kalo sama Nagita sudah pasti sangat beruntung," kekeh neneknya merendahkan.
Emily semakin tertunduk. Dia sudah ngga tahan lagi. Hanya demi menghargai papanya saja dia tetap di sini.
"Bukan kamu yang maksa, kan, mau kenalin Emily dengan mereka?" tuduh kakeknya sinis.
"Enggak, pa. Ini inisiatif mereka. Lagi pula ngga ada salahnya Emiliy anakku juga."
"Nah, itu. Karena kamu ingin mengubah takdir anakmu, kamu sodor sodorkan dia pada Nathan dan Zoya!"
Emily semakin mengeratkan genggaman sendoknya.
SRET
Kakeknya langsung menggeser mundur kursinya.
"Selalu saja buat papa kesal."
SRET
Neneknya pun juga bangkit.
"Nenek mau tidur aja." Kemudian suami istri tua itu pergi meninggalkan meja makan.
"Kamu selalu aja buat suasana rumah ngga baik," sinis istri Juhandono sambil bangkit dari kursiya.
Tatapannya penuh benci dilayangkannya pada Emily
"Ma....." Nagita meraih tangan mamanya agar ngga pergi.
"Maaf, sayang. Mama malas banget kalo ada dia besok malam."
Nagita hanya bisa menghembuskan nafas perlahan ketika melihat mamanya tetap pergi
"Sudah Nagita, habisi saja makanannya," ucap.papanya lembut
"Iya, Pa."
Emily tetap menundukkan kepala dengan menahan rasa sakit di dadanya.
Dia juga ngga mau bertemu dengan duo tengil itu juga.
Mereka salah paham. Dia juga masih bisa cari pacar sendiri, ngga perlu dijodoh jodohkan.
*
*
*
Besoknya kembali Emiliy merasakan tatap kesal kakek, nenek dan istri papanya saat sarapan.
"Juhan, apa harus dia ikut?" suara omelan nenek memulai hari buruk Emily.
"Iya, ma, ngga masalah, kan." Juhandono melirik putrinya yang tertunduk.
Maafkan papa.
Dia menghela nafas pelan.
"Mily, kamu bisa nggak, bilang ngga bisa ikut ke papa kamu?" ucap neneknya lagi seakan memberi perintah
Emily mengangkat wajahnya dan siap membuka mulutnya untuk memberikan jawaban yang dimau neneknya.
Emily juga sudah mau menolak keinginan papanya sejak tadi malam. Tapi papanya berkeras memintanya ikut.
"Maaf, ma. Ini memang permintaan Nathan. Coba mama sama papa nanya sama orang tua Nathan, opa Khalil dan oma Khanza."
Terdengar dengusan kesal mama dan papanya.
Juhandono memang ngga mau dan sulit dibantah.
Mereka hanya ngga mau keluarga mereka tambah malu dengan silsilah keturunan Emily.
"Kenapa Nathan ingin Emily ikut juga. Jangan jangan memang kamu yang rekomendasikan," tuduh papanya lagi dengan nada kejam.
"Sebenarnya Nathan tau Emily karena desainnya digunakan dalam proyek."
"Desainnya tanpa namamu ngga bakal ada yang mau ngelirik," dengus neneknya lagi meremehkan
"Nathan sangat perfeksionis, ma. Dia pasti bisa menilai sebuah desain. Mama percaya aja, Emily ngga akan memalukan keluarga kita," bela Juhandono lagi.
Kembali dengusan meremehkan terdengar.
*
*
*
"Hei, nona muda yang ngga pernah dianggap. Jalan jangan sambil melamun."
Emily yang sedang jalan menunduk, reflek menoleh pada laki laki muda yang barusan menegurnya.
Senyum cengengesannya sedang dia pamerkan di wajah bule tampannya.
"Hei, Laron, mengganggu aja," sinis Emily. Setelah dua kali secara berturut turut direndahkan dalam waktu singkat, mental Emily kena juga.
Bule bermata biru itu masih cengengesan. Dia pun ngga marah namanya diplesetkan.
"Ada apa? Hampir nabrak tiang, tuh," kekehnya sambil menunjuk tiang yang hanya beberapa langkah di depannya.
Emily baru sadar kalo.Aaron sudah menolongnya. Hampir saja dia akan membuat dirinya viral, gara gara nabrak tiang.
"Makasih."
"Sama sama, nona kesepian," kekehnya lagi sambil melangkah pergi.
Aaron, selalu cuek, kalo ke kampus hanya menggunakan sepeda gunung biasa saja. Yang Emily taksir harganya dibawah sepuluh juta.
Bukan sepeda viral yang ratusan juta.
Pakaiannya juga biasa aja, tapi anehnya bisa kuliah di kampus ini yang semesterannya minimal di atas tiga puluh juta. Apalagi dia calon dokter, pasti semesterannya di atas seratus juta.
Carmen dan Nani menilainya mungkin mendapat beasiswa.
Hanya saja ngga penampilannya yang sederhana ngga cocok dengan tampangnya.
Mubazir.
Setengah bule.
Carmen sempat kepincut tapi mundur teratur karena melihat tongkrongannya.
Hanya sepeda gunung biasa.
"Aku kasian kalo dia nanti akan membelikan aku lipstik. Uang beasiswanya bisa habis, malah mungkin tekor," tawa Carmen saat itu.
"Walaupun tampan, setengah bule sekalipun, kalo ngga kaya, ya, susah Mily. Hidup harus realistis," prinsip Carmen.
"Materialistis," ralat Emily
"Bener tuh. Realistis sebanding dengan materialistis," sambung Nani setuju.
"Kamu nggak naksir dia, kan?" tanya Carmen curiga.
Emily hanya tertawa.
'Enggaklah."
Dia mengenal Aaron saat orientasi.
Si bule itu sempat menghiburnya ketika dia sedang menyendiri di bagian belakang perpus akibat bulian kakak tingkat.
Identitasnya sudah lama terbuka jelas dan menggegerkan ketika Emily kelas tiga SMA. Karena papanya memilih jadi pejabat negara. Dan lawan politiklah yang membukanya untuk menjatuhkan karir papanya.
Sayangnya malah banyak yang bersimpati dengan papanya, karena papanya dianggap laki laki yang bertanggungjawab. Istri papanya pun dipuja puja karena berjiwa besar mau mengasuh anak suaminya dari wanita lain.
Sasaran bulian malah mengarah padanya. Sebagai pemberi badai keluarga baik baik.
Para perempuan baik baik merasa tersaingi karena dia adalah anak perempuan penggoda. Mereka merasa terancam.
Emily dibuly habis habisan karenanya.
"Kirain. Lagian dia ngga mungkin bisa ngajak kamu cepat cepat nikah biar bisa keluar dari rumah. Kuliah kedokteran itu lama," tambah Nani menasehati.
"Iya, tau," tawa Emily berderai.
Dia memang butuh laki laki buat dia nikahi. Tapi ngga random juga milihnyà.
rasakan kau Baron.. sekarang rasakan akibatnya mengusik calon istrinya Dewa... 😫😫
sudah tahu bakal besan juhan orang berkuasa mlh cari masalah muluk baron
kalau mereka ketemu gimana ya...
DinDut Itu Pacarku ngasih iklan
atau nanti Agni juga ikut-ikutan bersandiwara... buat ngetes calon menantu... he he he he ..
DinDut Itu Pacarku ngasih iklan