Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Jangan Sampai Saya Hilang Rasa..
Dirga menuntun Gista untuk keluar dari ruangan Richard. Gadis itu menurut karena tidak ingin menganggu Renatta dan suaminya.
“Jangan ganggu kak Richard sampai mereka yang keluar sendiri.” Ucap Dirga di depan meja kerja Melissa.
Wanita itu hanya mengangguk patuh. Namun dalam hatinya sangat kesal. Renatta sudah bisa meluluhkan hati Richard.
Dirga kemudian berjalan lebih dulu, dan Gista pun mengikutinya. Gadis itu sebenarnya ingin kabur saja. Tetapi ia merasa tidak enak hati meninggalkan Renatta.
“Masuk.” Ucap Dirga yang telah membuka pintu ruang kerjanya dengan lebar.
Dengan ragu Gista melangkah masuk. Tangannya bahkan meremat tali tas selempang yang menggantung di pundaknya.
Dirga mencebikkan bibirnya, kemudian menutup pintu dengan rapat.
“Apa yang pak Dirga lakukan?” Gista terlonjak saat Dirga memeluknya dari belakang,
“Jangan berpura - pura lugu, Anggista.” Ucap pria itu.
“Lepaskan saya, pak. Ini di kantor.” Ronta gadis itu.
“Memangnya kenapa? Hanya kita berdua disini .” Dirga pun mengeratkan pelukannya.
“Tapi ini di luar apartemen. Ingat perjanjian kita.” Sentak Gista dengan kuat, dan membuat belitan tangan Dirga terlepas.
“Ingat, bapak sendiri yang membuat pernyataan. Di luar apartemen, kita hanya sekedar atasan dan bawahan. Tidak lebih.” Imbuh gadis itu lagi.
Ia mundur secara perlahan. Masuk lebih dalam ke ruangan kerja pria itu. Yang luasnya hampir sama dengan ruangan Richard.
Dirga menyeringai. Ia mendekat secara perlahan juga, membuat Gista semakin mundur.
“Kita hanya berdua disini, Anggista.” Ucap pria itu lagi.
Kepala Gista menggeleng pelan. “Apapun itu, intinya kita sudah memiliki perjanjian. Dan jangan sampai saya hilang rasa pada pak Dirga karena hal ini.”
“Memangnya kamu memiliki rasa apa pada saya?” Tanya pria itu kemudian.
Gista memalingkan wajah. Jangan sampai Dirga dapat membaca isi hatinya saat ini.
“Saya kagum pada pak Dirga. Kebaikan, kemandirian, kasih sayang pada keluarga. Jangan sampai citra pak Dirga berubah buruk di mata saya.” Jelas gadis itu.
Dirga berdecak kesal. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, sembari memijat pangkal hidungnya.
Ia merasa kesal. Perjanjian yang ia buat dengan Gista, menjadi Boomerang untuk dirinya sendiri.
“Duduklah, Anggista.” Ucap pria itu kemudian.
Gista menghela nafas pelan. Ia menarik sebuah kursi, yang ada di depan meja kerja Dirga kemudian mendudukinya.
“Kenapa jauh sekali? Kamu tidak mau duduk bersama saya di atas sofa ini?” Tanya Dirga sembari memicingkan matanya.
Kepala Gista menggeleng pelan.
Dirga kembali berdecak. Sikap gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat. Saat di apartemen, ia akan sangat penurut dan agresif. Dan saat ini, gadis itu terlihat lugu dan polos.
“Saya tidak akan melakukan apapun pada kamu, Anggista.” Ucap Dirga kemudian.
Pria itu pun bangkit dari atas sofa. Berjalan ke arah mini pantry yang ada di sudut ruangan.
“Minumlah.” Dirga meletakkan sebotol soft drink rasa jeruk di atas meja kerjanya. Pria itu kemudian duduk di atas kursi kebesarannya.
Gista tidak langsung menerima. Ia pandangi botol minuman itu, dan Dirga secara bergantian.
“Apa kamu mengira saya mencampur obat di dalam minuman itu?” Tanya sang pria dewasa setelah melihat tatapan gadis itu.
Gista menggeleng pelan. Ia kemudian meraih botol minuman itu.
Dirga menyunggingkan sudut bibirnya. Tak lama kemudian interkom di atas meja berdering.
“Ya.”
“Om, tolong antar Gista kembali ke ruangan suamiku.” Suara nyaring Renatta terdengar.
Tanpa menanggapi, Dirga pun menutup panggilan singkat itu.
“Ayo. Urusan suami istri itu sudah selesai.”
Dirga mengulurkan tangannya, namun Gista menolak begitu saja.
‘Awas nanti kamu di apartemen, Anggista.’
\~\~\~
Dirga memicingkan mata, menatap Richard dan Renatta penuh selidik. Pasangan suami istri itu sedang duduk berdampingan di atas sofa. Dan tidak ada yang aneh dari penampilan mereka.
“Kenapa melihat kami seperti itu?” Sang kakak sepupu melemparkan pertanyaan.
“Cepat sekali urusan kalian selesai. Apa kakak mengalami gangguan — Dirga tidak melanjutkan ucapannya, ketika Renatta mendelik tajam.
“Kami tidak melakukan apa yang ada di dalam pikiran om itu.” Ketus Renatta.
Dirga mengedikan bahunya. Tanpa sadar ia menarik satu kursi yang ada di seberang meja kerja Richard. Dan meminta Gista untuk duduk.
“Duduklah, Anggista.”
Gista tidak langsung menanggapi, ia menatap pria dewasa itu sejenak. Dirga memberi isyarat melalui tatapan mata.
Dan gadis itu pun duduk di atas kursi. Dirga kemudian menarik kursi yang lain, dan menempatinya tepat di samping gadis itu.
“Om tau nama lengkap Gista?” Tanya Renatta tak percaya. Sebab selama ini sangat jarang ada yang memanggil gadis itu dengan nama panjangnya.
“Dia bekerja di kafe. Tentu aku tau.” Ucap Dirga tak acuh.
Renatta kemudian mengangguk pelan.
“Jadi, apa tujuan kalian datang kemari?” Tanya Richard kemudian.
“Oh ya. Hampir saja lupa.” Ucap Renatta dengan tersenyum lebar.
“Aku dan Gista mau magang di kantor ini. Bolehkan, By?” Tanya Renatta pada sang suami. Gadis itu mengedipkan mata berulang kali pada pria dewasa itu.
Dirga seketika melihat ke arah Gista. Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Pak, cuma Renatta saja. Saya akan mencari tempat magang yang lain.” Ucap Gista kemudian. Ia sungguh merasa sungkan pada Richard.
Dan lagi, Dirga pasti berpikir jika dirinya sengaja memanfaatkan Renatta agar bisa magang di kantor Wijaya.
Renatta berdecak kesal. “Gista. Tidak ada tempat lain. Kamu mau mencari kemana lagi? Waktunya sudah mepet. Kamu mau mengulang sampai tahun depan lagi?” Ceroscos istri Richard itu pada sahabatnya.
Gista kembali menggeleng. Ia tidak mau mengulang lagi. Tekatnya sudah bulat ingin segera lulus kuliah.
“Aku bisa magang di kantor papa kamu.” Entah darimana datangnya ide itu. Gista secara serta merta mengucapkannya.
“Di kantor papa?” Gumam Renatta sembari berpikir.
“Ah benar juga. Kamu bisa bekerja dengan kak Randy. Aku tidak keberatan. Aku akan menghubungi kakak kalau begitu.” Renatta meminta Richard mengambil tas selempang yang ada di dekat pria dewasa itu.
‘Magang di kantor Setiawan dan bekerja dengan Randy? Yang benar saja. Jangan harap kamu bisa melakukan hal itu, Anggista.’
“Tidak perlu, kakak ipar.” Seru Dirga saat Renatta mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Dirga yakin jika gadis itu pasti akan menghubungi kakaknya untuk menitipkan disana. Dan Dirga tidak akan mengijinkannya.
Renatta menatap pria itu penuh tanya.
“Kalian magang disini saja. Kebetulan, aku tidak memiliki sekretaris. Kalian bisa bekerja disini, dan membantu Melissa agar pekerjaan wanita itu lebih ringan.” Ucap Dirga kemudian.
Gista kembali menggeleng samar. Ia tidak mau berada satu kantor dengan Dirga. Apalagi magang menjadi sekretaris pria itu.
“Bagaimana menurut Hubby?” Renatta bertanya pendapat Richard. Bagaimana pun, pria itu adalah pimpinan Wijaya Group saat ini.
“Aku setuju. Kalian bisa belajar disini. Aku juga bisa mengawasi kamu dengan leluasa.” Ucap pria dewasa itu.
“Terima kasih, Hubby.”
“Kakak ipar tidak mau berterima kasih padaku?” Sela Dirga.
Renatta menatap adik iparnya penuh senyum. “Terima kasih, adik ipar.”
Dirga mengangguk, kemudian menatap gadis di sampingnya. Ia pun menyeringai tipis.
“Bawa surat pengantar magang kalian ke bagian HRD.” Ucap Richard lagi.
“Siap, Hubby.”
Bahu Gista seketika lemas. Ia yakin, Dirga merencanakan sesuatu untuknya.
...****************...