Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 - Maaf Ya
Sebagaimana yang Nadin percayai, bahwa Allah telah merencanakan segala sesuatu, kalaupun ada yang hilang sudah pasti akan ada gantinya pula. Nekat memberikan pemberian Azka demi menghargai suami, saat itu juga Nadin mendapatkan gantinya.
Sudah pasti, jauh lebih besar dan juga lebih indah. Mawar putih pertama yang dia terima dari seseorang yang disebut suami, hingga tiba di kamar kost 27 tangkai mawar itu terus dia pandangi. Aroma wangi menguar, menelisik indera penciuman Nadin.
Sejak tadi, bisa dipastikan hanya itu yang Nadin lakukan hingga Zain yang baru selesai mandi menarik sudut bibir. "Suka bunganya?" tanya Zain tiba-tiba hingga Nadin tampak terperanjat dan menoleh seketika.
Nadin terkejut, wajahnya sampai memerah kala sadar tingkahnya yang persis mendapat mainan baru itu tertangkap basah. Terlebih lagi, Zain kini hanya menggunakan handuk sepinggang yang membuat penyebab malu Nadin kian bertambah.
"I-iya suka." Tidak mungkin dia bisa berbohong, munafik sekali andai Nadin mengatakan tidak padahal jelas-jelas dia memang suka.
Melihat reaksi Nadin, hati Zain menuntunnya untuk mendekat. Sebaliknya, Nadin juga turut beranjak lantaran sadar jika dia melalaikan hal yang harusnya dilakukan, tidak lain tidak bukan sudah pasti menyiapkan pakaian untuk sang suami malam ini.
Pertama kali, perkembangannya sangat signifikan dan Zain jelas tidak akan menghalanginya sekalipun dia bisa menyiapkan pakaian sendiri. Tanpa protes, tapi bukan berarti memanfaatkan sang istri, Zain suka saja dirajakan seperti ini.
Sudah lama dia tidak disiapkan, terakhir mungkin SMP, karena sekalipun lahir dari keluarga kaya Zain tidak dididik untuk terlalu manja. Jelas saja begitu dipertemukan dengan istri seperti Nadin, Zain merasa hidup sehidup-hidupnya.
"Ini, Mas."
"Makasih ya."
Nadin tampak begitu canggung, entah perkara boxer minion milik Zain atau apa, tapi yang jelas dia salah tingkah padahal tidak ada yang aneh. "Kamu kenapa?" tanya Zain dengan dahi yang kini sudah kian berkerut.
"Ti-tidak, aku kenapa memangnya?" Nadin mendelik, padahal Zain hanya bertanya, itu juga baik-baik.
Sialnya, Zain tidak dapat menyembunyikan gelak tawanya. Semakin dia pandangi, Nadin semakin lucu di matanya hingga membuat sang istri salah paham.
"Apasih, Mas?"
"Tidak, mandi sana," titah Zain mengakhiri perdebatan mereka. Kali pertama, perintah Zain tidak segera dia ikuti, melainkan masih berdiri di hadapannya lantaran salah paham dengan gelak tawa Zain yang dia anggap ejekan.
Melihat Nadin yang masih diam di tempat, Zain menggigit bibir bawahnya, sengaja sepertinya. "Kenapa masih di sini? Mau bantuin ganti baju?"
"Nungguin handuknya, kenapa juga tidak bawa sendiri," jawab Nadin singkat seraya bersedekap dada. Agaknya, sang suami terlalu percaya diri dan sebagai istri jelas dia perlu menyadarkannya.
Zain menunduk, baru dia sadari jika memang memakai handuk Nadin. Maklum saja, kemarin dia tidak memiliki waktu cukup untuk bersiap. Bukan sengaja, tapi memang begitu adanya. "Oh handuknya ... nih."
"Astaghfirullah! Bukan begitu maksudku!!"
"Terus maksudnya gimana?"
Maksud Nadin, pakai dulu bajunya baru berikan handuknya. Namun, Zain justru menanggapi hal itu dengan cara berbeda, detik itu Nadin meminta, detik itu juga Zain melepas handuk tersebut hingga sang istri seketika memalingkan muka.
Rasanya, mereka belum seakrab itu. Untuk pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah, hal semacam ini mungkin tidak mengapa, tapi mereka? Sungguh Nadin tak habis pikir dengan tindakan sang suami.
Tak ingin gila lebih lama, Nadin secepat mungkin berlalu dari hadapan Zain setelah menerima handuk dari sang suami. Zain yang berulah, tapi Nadin yang justru malu dibuatnya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup rapat, Zain bukannya segera berganti pakaian, melainkan membayangkan cara mandi Nadin lebih dulu. Jika didengar-dengar suaranya, mandinya heboh sekali, persis kaum bapak-bapak.
"Dia berenang atau bagaimana?"
Zain menggeleng, untuk saat ini memang masih terbatas, dia hanya bisa membayangkan tanpa tahu bagaimana kenyataannya. Selang beberapa lama, Nadin yang sampai membuat Zain khawatir akhirnya keluar juga.
Sudah pasti dengan penampilan yang lebih menantang lagi. Ujiannya naik level, Zain tidak memiliki keberanian untuk melihatnya secara langsung. Sang istri hanya berbalut handuk yang memperlihatkan bagian sebagian besar tubuhnya.
Sebisa mungkin Zain bersikap santai, walau semakin lama Nadin semakin menggoda baginya. Jemarinya fokus ke ponsel, tapi matanya sesekali mencuri pandang pada sang istri yang tengah mengenakan pakaiannya.
.
.
"Ehm, Nadin."
Sejak tadi berusaha menguatkan diri, tapi pada akhirnya kesabaran Zain habis terkikis begitu melihat tampilan Nadin setelah benar-benar selesai mengganti pakaiannya.
"Kenapa?"
"Bajunya ... boleh ganti yang lain?"
Nadin merasa pakaiannya tidak salah, daster rumahan yang saat ini dia kenakan sangatlah nyaman. Sebenarnya tidak terlalu terbuka, bahkan dibawah lutut dan bagian atasnya juga tertutup. Entah kenapa, di mata Zain justru terlalu menggoda, mungkin karena otak Zain terlalu dewasa.
"Kenapa bajunya? Kan kita cuma di rumah, Mas?"
Alasannya di rumah, tapi Zain merasa makin lama makin gila. Dia tidak mau sampai mengulangi yang terjadi semalam, terlebih lagi saat ini masih petang. "Aku mau ngajak kamu keluar? Sekalian makan malam."
Sebelum ini, tidak ada rencana Zain untuk keluar. Hanya demi meredam naffsunya yang menggebu-gebu itu, Zain mengajak sang istri untuk keluar, anggap saja pendekatan.
"Makan malam jam segini? Magrib saja belum."
"Ya sekalian saja, kalau kita perginya malam nanti macet," tutur Zain kemudian, pandai sekali dia mengendalikan keadaan.
Nadin yang mengira hal itu memang sungguhan, tanpa pikir panjang mengikuti perintah sang suami. Siapa yang menolak jika diajak makan di luar? Terlebih lagi, bagi seorang Nadin makan di luar adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Bahagia sekali begitu diajak makan di luar. Tanpa dia ketahui jika Zain mengajaknya keluar dengan alasan lain. Tak ubahnya seperti kencan pertama, Nadin memaksimalkan penampilan demi membuat Zain nyaman melihatnya.
"Begini, Mas?"
"Hm, kamu lebih cantik begini." Sedikit berbohong, istrinya memang cantik, tapi jika tertutup begini setidaknya Zain bisa sedikit lebih tenang.
Tanpa tahu kemana Zain akan membawanya, Nadin tampak tenang sekali menikmati senja di ibu kota. Sesekali Zain melirik melalui ekor mata, wajah sang istri tampak berbinar, dan dia suka.
"Mau makan apa?"
"Sushi!!" Tanpa pikir panjang, dia menjawab dengan begitu mantap.
Poin tambahan untuk Nadin, dia tidak seperti wanita lain yang belibet ketika ditanya. Tidak ada drama atau membuat Zain bingung dengan jawaban terserah atau semacamnya.
"Sempurna," gumam Zain mengullum senyum, dan jelas Nadin yang berada di sampingnya mendengar dengan jelas ucapan Zain walau begitu pelan.
"Apa yang sempurna?"
Zain menoleh, dia menatap Nadin lekat-lekat sebelum kemudian berucap "Kamu ... kamu sempurna, tapi dapatnya laki-laki sepertiku, maaf ya, Sayang."
.
.
- To Be Continued --