Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manfaatkan aku sepuasmu
San menatap Nanda yang sedang sibuk dengan laporan keuangan kafe miliknya. Wajah Nanda tampak serius, tetapi ada garis kelelahan di sana yang tak bisa disembunyikan. San menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
"Nan, kamu tahu kan, aku selalu ada buat kamu?" ucap San pelan, namun cukup jelas untuk membuat Nanda mengangkat wajahnya dari berkas-berkas di meja.
Nanda mengerutkan dahi. "Iya, aku tahu, San. Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanyanya bingung.
San menarik kursi di hadapannya dan duduk, menatap langsung ke dalam mata Nanda. "Aku serius, Nan. Kalau kamu butuh sesuatu, apa pun, jangan ragu untuk bilang ke aku. Kalau kamu butuh bantuan di kafe, kalau kamu butuh tempat untuk mengeluh, bahkan kalau kamu butuh aku buat hal yang mungkin menurutmu nggak penting. Manfaatkan aku sepuasmu."
Nanda terdiam. Kalimat itu membuatnya terharu sekaligus ragu. Setelah semua yang ia alami, kepercayaannya pada seseorang masih sulit pulih sepenuhnya. Namun, di depan San, ia merasa beban itu sedikit lebih ringan.
"San, aku nggak mau merepotkan kamu," ucap Nanda akhirnya, suaranya terdengar lembut namun tegas.
San tersenyum kecil. "Repot? Nan, aku nggak pernah merasa direpotkan. Malah, aku senang kalau bisa bantu kamu. Kalau ada yang bisa bikin kamu bahagia atau setidaknya merasa lebih tenang, aku mau melakukannya. Jadi, tolong, jangan sungkan."
Nanda menunduk, merasa matanya mulai memanas. Ia tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang begitu tulus di sisinya, apalagi setelah luka mendalam yang ditinggalkan Dimas.
"San, kamu terlalu baik," ucap Nanda dengan suara bergetar.
"Kalau itu bisa bikin kamu lebih percaya sama aku, aku nggak keberatan jadi 'terlalu baik,'" jawab San sambil tersenyum.
Perlahan, Nanda mengangguk. "Baiklah. Kalau aku butuh bantuan, aku akan bilang ke kamu."
San mengulurkan tangan, seolah ingin mengikat janji di antara mereka. Nanda menyambut uluran itu, dan dalam genggaman tangan San, ia merasakan kehangatan yang perlahan mencairkan trauma di hatinya. Untuk pertama kalinya, Nanda merasa ia bisa mulai membuka diri lagi, sedikit demi sedikit.
***
Beberapa hari setelahnya, Nanda mulai merasa gelisah. San yang biasanya selalu mengirim pesan atau menelepon, tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Kafe yang semula terasa penuh dengan semangat kini terasa sepi. Bahkan telepon San yang selalu aktif, kini mati dan tak bisa dihubungi. Setiap kali Nanda mencoba menghubunginya, hanya pesan singkat yang masuk: "Nomor yang Anda hubungi tidak dapat dihubungi."
Nanda merasa khawatir, ada sesuatu yang tidak beres. San yang selalu hadir dalam setiap langkahnya, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, kini tiba-tiba menghilang begitu saja. Apa yang terjadi padanya? Kenapa tiba-tiba San tidak bisa dihubungi?
Di tengah kesibukannya menjalankan kafe, Nanda merasa cemas. Semua perasaan yang ia coba sembunyikan kembali muncul, menyelubungi hatinya. Ia merasa bingung dan terabaikan, seolah-olah San yang selalu ada, sekarang menjauh tanpa penjelasan.
Hari demi hari, kecemasannya semakin dalam. Ia mulai berpikir, apakah ia sudah terlalu bergantung pada San? Apa ia terlalu berharap pada seseorang yang pada akhirnya akan mengecewakannya juga?
Di sudut hatinya, Nanda merasa sakit, bukan karena San tidak lagi hadir, tapi karena ketidakpastian itu membuatnya merasa ditinggalkan, meskipun ia tahu San tak pernah berjanji untuk selalu ada. Namun, saat seseorang selalu ada untuk kita, kehadirannya menjadi sesuatu yang sangat berarti, dan saat itu hilang, kesendirian terasa lebih berat.
"Kenapa dia nggak bisa dijangkau?" gumam Nanda pelan, sambil menatap ponselnya yang hanya berisi layar kosong tanpa balasan.
Nanda merasa semakin gelisah. Sudah beberapa hari tanpa kabar dari San, dan kecemasannya semakin menguat. Ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Horsi. "Horsi, aku perlu alamat San. Tolong, aku benar-benar butuh menemukannya," ucap Nanda dengan suara yang agak terbata, mengungkapkan rasa frustasinya.
Horsi, yang sudah cukup mengenal Nanda, melihat betapa seriusnya permintaan itu. “Aku mengerti, Nanda. Aku akan cari tahu,” jawab Horsi dengan nada lembut. Meskipun dia tahu betapa besar pengaruh San dalam hidup Nanda, ia tidak bisa menahan kekhawatiran yang ada di balik keputusan Nanda untuk mencari San.
Malam itu, Nanda tak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh keraguan dan rasa cemas. Tentu saja, ia masih merasa trauma dengan masa lalunya, terutama dengan perlakuan kasar Dimas yang selalu menghantuinya. Namun, perasaan terhadap San berbeda, dan ia tahu bahwa kehadiran San membawa perubahan yang besar dalam hidupnya.
Sekarang, Nanda hanya berharap bisa menemukan jawabannya apakah San masih menginginkan untuk bersama, ataukah perasaan itu hanya sementara saja?
***
Setelah urusan di kafe selesai, Nanda memesan taksi dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya berdebar sangat kencang. Alamat yang diberikan oleh Horsi sudah terngiang jelas di pikirannya. Ia merasa ada ketegangan yang tak bisa ia ungkapkan, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di ujung sana, sesuatu yang harus ia temui meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi.
Sesampainya di alamat yang diberikan, Nanda merasa ragu. Bangunan itu tampak sederhana, tetapi ada aura tertentu yang membuatnya merasa cemas sekaligus berharap. Ia melihat di sekelilingnya, memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu melangkah mendekati pintu rumah yang terletak di ujung jalan yang sepi.
Tangan Nanda terasa dingin saat ia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, Nanda terperangah melihat San berdiri di depannya. Wajah San terlihat sedikit lelah, tetapi matanya menunjukkan kehangatan yang selalu ada. "San," Nanda berbisik, "Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberi kabar?"
San tersenyum tipis dan mempersilakan Nanda masuk. "Aku butuh waktu untuk diri sendiri, Nanda. Aku tidak ingin membuatmu merasa lebih cemas," jawabnya pelan. Namun, meski kata-kata itu terdengar lembut, ada sesuatu di dalam dirinya yang tampak lebih kompleks daripada yang Nanda bayangkan.
Nanda tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang menghujam hatinya. Ia harus tahu apa yang sebenarnya ada di hati San, dan apakah perasaan yang ia rasakan selama ini benar-benar sesuai dengan yang diinginkan oleh San.
Nanda berjalan ke dalam rumah San, merasa cemas namun tak bisa menahan rasa ingin tahu. Matanya memandang sekeliling, melihat rumah yang terkesan minimalis dan kosong, dengan perabotan yang sangat terbatas. Hanya ada beberapa barang yang tampak esensial—sebuah sofa kecil di ruang tamu, meja makan sederhana, dan kulkas yang hampir kosong.
"Kamu sakit, siapa yang tidak khawatir?" ucap Nanda, menatap San dengan tatapan penuh perhatian. Ia mendekati kulkas dan membuka pintunya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, kulkas itu hanya berisi beberapa botol air mineral dan beberapa bahan makanan dasar. Tak ada makanan siap saji, tak ada bahan yang bisa menenangkan perut yang kosong.
San berdiri di belakangnya, mendekat. "Maaf, aku tidak sempat pergi belanja," katanya dengan suara lembut. "Aku hanya butuh waktu untuk sendiri."
Nanda menutup pintu kulkas dengan perlahan, lalu berbalik menatap San. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap San yang tampak terkesan jauh dan tertutup. "San, jangan buat aku khawatir seperti ini," ucapnya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa melihat kamu seperti ini."
San menghela napas panjang, seolah merasa beban berat di dadanya. Ia meraih tangan Nanda, menggenggamnya erat. "Aku cuma butuh waktu untuk bisa kembali menjadi diri sendiri, Nanda. Aku tak ingin memberatkanmu," jawabnya dengan suara yang hampir terdengar putus asa.
Namun, di dalam hati Nanda, ia merasa tidak bisa begitu saja membiarkan San terjebak dalam kesendiriannya. Ia tahu, mungkin, mereka berdua memiliki banyak luka dari masa lalu yang belum sembuh, tapi ia merasa bahwa bersama-sama, mereka bisa saling menyembuhkan. "Kamu tidak sendirian lagi, San. Aku di sini," ujarnya dengan tekad, meyakinkan dirinya sendiri sekaligus San.