Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
Setelah pertemuan keluarga besar itu, pesantren kembali diliputi ketegangan. Zahra merasa semakin terhimpit oleh situasi, sementara Zidan tetap teguh pada pendiriannya. Namun, tekanan dari berbagai pihak mulai menggerogoti ketenangan batin mereka.
Zahra mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan diri. Ia membantu para santriwati lain membersihkan asrama, mengajar kelas tambahan, dan membaca kitab-kitab di perpustakaan. Namun, hatinya tetap tidak tenang. Ia sadar bahwa posisinya di pesantren semakin rapuh, dan ia hanya menunggu waktu sebelum semua ini mencapai puncaknya.
Di sisi lain, Zidan juga merasakan beban yang luar biasa. Setiap keputusan yang ia ambil bukan hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada pesantren, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Ia tahu cintanya pada Zahra tulus, tetapi ia juga menyadari bahwa perasaannya itu membawa konsekuensi besar.
Pada suatu sore, Zidan memutuskan untuk menemui Zahra secara langsung. Ia tahu bahwa ini mungkin keputusan yang berisiko, tetapi ia merasa harus berbicara dengan Zahra, memberikan kejelasan. Ia menunggu hingga suasana asrama cukup sepi sebelum mengetuk pintu ruang belajar santriwati, tempat Zahra sering menghabiskan waktu.
“Assalamu’alaikum,” panggil Zidan dengan suara pelan.
Zahra yang sedang membaca sebuah kitab terkejut mendengar suara itu. Ia segera menutup kitabnya dan berdiri, membuka pintu dengan hati-hati. Wajah Zidan terlihat lelah, tetapi tatapannya tetap penuh tekad.
“Wa’alaikumsalam, Gus. Ada apa ya?” tanya Zahra dengan suara lirih, mencoba menjaga jarak.
“Aku ingin bicara, Zahra,” jawab Zidan. “Hanya sebentar.”
Zahra mengangguk, lalu mengajak Zidan ke serambi belakang, tempat yang lebih tenang dan jauh dari pandangan orang lain. Mereka duduk berseberangan, menjaga jarak sesuai adab.
“Zahra,” Zidan memulai, “aku tahu semua ini tidak mudah untukmu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan menyerah.”
Zahra menggeleng pelan. “Gus, bukan soal menyerah atau tidak. Tapi situasi ini sudah terlalu rumit. Saya takut semua ini justru akan membawa lebih banyak mudarat daripada kebaikan.”
“Aku paham,” balas Zidan. “Tapi aku tidak bisa pura-pura. Aku sudah mencoba, Zahra, tapi hatiku tetap kembali padamu.”
Zahra terdiam. Ia merasakan ketulusan di setiap kata Zidan, tetapi ia juga tahu bahwa perasaan tidak selalu bisa menjadi landasan keputusan besar.
“Gus,” Zahra akhirnya berkata, “cinta itu memang indah, tapi kadang cinta juga harus mengalah. Mungkin jalan kita memang tidak sama.”
“Aku tidak percaya itu,” ujar Zidan tegas. “Aku percaya kita bisa melewati ini bersama, Zahra. Tapi aku butuh kamu untuk percaya juga.”
Kata-kata Zidan membuat hati Zahra bergetar. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara langkah mendekat membuat mereka terkejut. Zahra dan Zidan segera berdiri, menyadari bahwa mereka telah ketahuan.
Di depan mereka berdiri Ning Maya, dengan wajah yang tidak bisa disembunyikan kemarahannya. Ia menatap Zahra dengan tatapan menusuk, lalu beralih kepada Zidan.
“Gus Zidan, apa ini? Kamu masih saja bertemu dengannya?” suara Ning Maya terdengar dingin, hampir bergetar.
Zidan mencoba tenang. “Ning, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin bicara dengan Zahra untuk menjelaskan semuanya.”
“Menjelaskan apa?” balas Ning Maya. “Bahwa kamu lebih memilih dia daripada aku? Bahwa kamu rela menghancurkan perjodohan ini demi santriwati biasa?”
Zahra merasa darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. Ia ingin membela dirinya, tetapi ia memilih diam.
“Ning Maya, sudah cukup!” kata Zidan tegas. “Aku tahu kamu marah, tapi ini bukan salah Zahra. Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan aku.”
Ning Maya tertawa sinis. “Kamu memang pengecut, Zidan. Kamu bersembunyi di balik cinta, tapi kamu tidak peduli pada keluarga kita, pada pesantren ini. Kamu egois!”
Zidan terdiam. Ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Ning Maya, tetapi ia juga merasa bahwa dirinya berhak untuk memperjuangkan kebahagiaannya.
Melihat suasana semakin tegang, Zahra akhirnya angkat bicara.
“Maaf, Ning Maya, Gus Zidan. Saya rasa ini semua sudah terlalu jauh. Saya tidak ingin menjadi penyebab perpecahan di antara kalian. Mungkin yang terbaik adalah saya pergi dari sini.”
Zidan dan Ning Maya terkejut mendengar ucapan Zahra.
“Tidak, Zahra,” ujar Zidan. “Kamu tidak perlu pergi. Ini bukan salahmu.”
“Tapi jika saya tetap di sini, semuanya akan semakin sulit,” balas Zahra. “Saya tidak ingin melukai siapapun lagi.”
Keesokan harinya, Zahra menemui Ummi Zidan. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyampaikan niatnya untuk meninggalkan pesantren.
“Ummi, saya rasa ini keputusan terbaik. Saya tidak ingin menjadi beban bagi pesantren ini atau bagi keluarga Ummi.”
Ummi Zidan menggenggam tangan Zahra dengan lembut. “Nak, kamu tidak perlu pergi. Kamu adalah bagian dari pesantren ini. Tapi jika ini keputusanmu, aku tidak bisa melarang.”
Dengan hati yang berat, Zahra mulai mengemasi barang-barangnya. Para santriwati lain yang cukup dekat dengan Zahra menangis, mencoba membujuk Zahra untuk tetap tinggal, tetapi Zahra tetap pada keputusannya. Ia merasa bahwa inilah satu-satunya cara untuk mengakhiri semua masalah.
Di hari kepergiannya, Zidan datang ke gerbang pesantren untuk menemui Zahra.
“Zahra, kumohon, pikirkan lagi keputusanmu,” ujarnya dengan suara memohon.
Zahra tersenyum tipis, meski air matanya mengalir. “Gus, ini bukan akhir. Saya yakin Allah punya rencana yang lebih baik untuk kita semua. Doakan saya, Gus.”
Zidan tidak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menatap Zahra yang perlahan melangkah pergi, meninggalkan pesantren, meninggalkan dirinya.
Setelah Zahra pergi, suasana di pesantren perlahan kembali normal, tetapi ada kekosongan yang dirasakan oleh banyak orang, terutama oleh Zidan. Ia merasa kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus terus berjalan.
Di tempat lain, Zahra memulai kehidupannya yang baru. Ia tinggal di sebuah pesantren kecil di kota lain, mencoba melupakan semua yang telah terjadi. Namun, di lubuk hatinya, ia masih menyimpan harapan bahwa suatu hari ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati.
Waktu berlalu, dan pesantren kembali pada aktivitasnya seperti biasa. Zidan mencoba fokus pada tanggung jawabnya, meski hatinya masih dipenuhi oleh bayangan Zahra. Ning Maya, meski masih kecewa, perlahan mulai menerima kenyataan. Ia menyadari bahwa memaksakan cinta tidak akan membawa kebahagiaan.
Namun, cerita ini belum berakhir. Takdir masih menyimpan kejutan untuk mereka semua, dan jalan yang mereka pilih mungkin akan membawa mereka kembali bertemu di persimpangan yang tak terduga.
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??