Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Luar Rencana
“Lo baik-baik aja?” Asta langsung tanya begitu gue muncul lagi di sampingnya. “Muka lo merah banget.”
Gue berusaha menyengir. “Gue baik-baik aja, cuma agak kepanasan dikit.”
Alis Asta langsung menukik, nyaris menempel satu sama lain. “Lo habis ngelihat yang enggak enak, ya?”
Enggak, gue sebenarnya baru saja meninggalkan abang lo yang lagi ereksi segede Monas.
Asta mengira gue diam karena gue setuju, terus dia menenggak. “Gue udah bilang ke Antari, ruang Chandelier itu bukan ide bagus, tapi dia enggak pernah dengerin gue. Kenapa juga dia mesti dengerin? Gue kan cuma anak kecil di keluarga ini.”
Ada nada pahit di suaranya yang manis pas dia ngomong begitu.
“Lo bukan anak kecil, Asta.”
“Di mata mereka, gue anak kecil.”
“Mereka?”
“Anan dan Antari.” Dia menghela napas terus menyeruput minumannya. “Bahkan bokap-nyokap gue enggak pernah ngelibatin gue setiap kali ambil keputusan, apa pun itu.”
“Itu bagus, kan? Lo jadi enggak perlu punya tanggung jawab. Ini masa-masa di mana, yang kata tante gue harus dinikmatin. Entar juga ada waktunya lo mikirin hal serius pas udah dewasa.”
“Nikmatin?” Dia ketawa pahit. “Hidup gue ngebosenin, enggak punya teman, dan di keluarga gue, gue enggak ada harganya.”
“Wah, lo kedengeran menyedihkan banget, sih, di umur segini.”
Dia mainkan ujung kaleng minumannya. “Kakek gue bilang, kalau gue ini jiwa tua yang terjebak dalam tubuh anak kecil.”
Oh, kakek Bahari.
Terakhir gue dengar tentang dia, kakeknya Asta masuk panti jompo. Keputusan itu diambil oleh keempat anaknya, termasuk bokapnya Asta. Dari kesedihan di mata Asta, gue bisa lihat kalau ini salah satu dari banyak keputusan yang dibuat tanpa melibatkan dia.
Muka polos dan ganteng kayak begitu enggak seharusnya kelihatan sedih, jadi gue berdiri dan menyodorkan tangan gue ke dia. “Mau seru-seruan enggak?”
Asta memperhatikan gue dengan tatapan kejut. “Zielle, gue rasa ini...”
Alkohol yang masih berputar di badan bikin gue makin semangat. “Bangun, Astalavista, waktunya kita have fun.”
Asta ketawa, dan tawanya itu mirip banget sama kakaknya, bedanya, kalau Anan ketawanya itu lebih ke seksi ketimbang polos. “Astalavista?
“Iya, mulai sekarang lo bukan Asta si anak baik yang ngebosenin. Sekarang lo Astalavista, cowok yang malam ini bakal seru-seruan.”
Asta berdiri dan mengikuti gue dengan grogi. “Kita mau ke mana?”
Gue enggak jawab, langsung saja gue ajak dia turun tangga. Ajaibnya gue enggak jatuh sama sekali pakai high-heels begini buat turun tangga. Gue menuju bar dan pesan empat gelas vodka sama satu lemon, terus bar tendernya kasih semuanya di depan kita.
“Siap, enggak?”
Asta senyum lebar. “Siap banget.”
Sebelum gue sempat ngomong apa-apa, Asta langsung menegak minuman satu per satu, cuma jeda beberapa detik di setiap gelasnya.
Setelah semua gelas kosong, dia memperhatikan gue dan gue langsung shock melihat dia yang mencoba pegangan ke bar buat tahan tubuhnya setelah minum alkohol sebanyak itu sekaligus. “Aduh, gue ngerasa aneh banget.”
“Lo gila, Asta! Itu buat gue! Lemonnya yang buat lo!”
Asta menutupi mulutnya pakai tangan. “Ups!” Dia tarik tangan gue dan bawa gue ke lantai dansa.
“Asta, tunggu!”
Oke, ini momen di mana segalanya mulai runyam.
Rencana awal gue sebenarnya cuma ingin cheers bareng Asta. Terus dia minum lemonnya, gue bawa dia ke arena dansa buat mengenalkan dia ke cewek-cewek yang lagi sendirian biar mereka bisa mengobrol, kemudian memastikan dia pulang dengan senyum di wajah polosnya.
Tapi kayaknya rencana gue sudah kacau banget sekarang.
Semua yang dimulai dengan alkohol memang seringnya berakhir dengan hancur.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Begitulah akhirnya gue, Asta, dan Niria berakhir di taksi menuju rumah gue, soalnya Asta sudah mabuk berat, enggak mungkin kita tinggalkan dia di klub atau bawa pulang ke rumahnya, yang pasti itu malah bikin dia kena omel sama keluarganya.
Gue kasih tahu, ya.
Mengurus orang mabuk itu ribet, apa lagi bawa dia pulang ke rumah. Gue rasa gue sama Niria bakal kena hernia, setelah susah payah bawa naik Asta ke lantai atas rumah gue.
Kenapa enggak gue tinggalkan di lantai bawah?
Soalnya di sana cuma ada kamarnya nyokap gue, dan enggak mungkin gue biarkan Asta mabuk di situ. Kalau dia sampai muntah di kamar nyokap, tamatlah hidup gue.
Akhirnya kita banting Asta di ranjang gue, dia jatuh kayak boneka Shaggy.
“Lo yakin bisa sendiri?”
“Iya. Nyokap gue lagi shift malam di rumah sakit, jadi baru pulang besok. Lo udah ngebantu banget, gue enggak mau lo kena masalah sama orang tua lo, buruan deh.”
“Kalau terjadi apa-apa langsung kabarin gue, ya?”
“Santai aja, gih pulang, taksi lo nungguin.”
Niria kasih gue pelukan. “Kalau mabuknya hilang, langsung anter dia pulang, ya?”
“Pasti.”
Niria pun pergi, dan gue menghela napas panjang, sementara Anoi, anjing gue, berdiri di samping, mengibas-ngibasi ekornya.
Asta Batari sekarang terkapar di ranjang gue, tiduran sambil komat-kamit ngomong hal-hal yang enggak jelas, kemejanya terbuka, rambutnya acak-acakan.
Meski dengan bau alkohol yang kuat dan sisa muntahan di celananya, dia tetap kelihatan lucu dan polos.
“Oh, Anoi. Apa yang udah gue lakuin, sih?” Anoi cuma menjilat kaki gue sebagai jawaban. Gue mulai melepas sepatu Asta, terus gue ragu pas lihat celananya.
Haruskah gue lepas?
Celananya kena muntahan. Tapi, apa gue bakal kelihatan mesum kalau gue lepas?
Lagi pula dia ini anak kecil.
Ya ampun, sumpah gue enggak ada pikiran aneh sama sekali.
Akhirnya, gue memutuskan buat melepas celana dan kemejanya yang entah bagaimana bisa juga terkena muntahan, dan tinggalkan dia pakai bokser. Gue selimuti dia biar nyaman.
Gue tutupi Asta pakai selimut gue.
Tiba-tiba ada suara telepon, bikin gue kaget. Itu bukan nada dering gue. Gue ikuti suaranya dan ketemu HP di kantong celana Asta. Gue ambil dan mata gue langsung melotot lihat layarnya.
...📞...
...Panggilan masuk...
...Anan....
Gue langsung mute panggilannya dan tunggu sampai berhenti sendiri. Pas panggilan mati, gue lihat ada banyak banget panggilan dan pesan enggak terjawab dari Anan sama Antari.
Duh, kenapa gue enggak ke pikiran kalau kakak-kakaknya atau orang tuanya bakal khawatir kalau dia enggak pulang?
Anan menelepon lagi, dan gue reject. Gue enggak bisa angkat, dia pasti bakal kenali suara gue.
Mungkin gue bisa kirim chat, tapi gue harus ngomong apa?
...📩...
^^^Asta: Hey, bro, gue tidur di rumah temen.^^^
Gue kirim pesan itu, semoga saja dia tenang. Tapi balasan dari Anan cepat banget muncul.
Anan: Angkat teleponnya sekarang juga!!
Oke, jelas Anan sama sekali enggak tenang. Dia menelepon lagi, dan gue panik melihat nama dia di layar, nama dia yang menghantui gue dari HPnya Asta.
Rasanya kayak bertahun-tahun, tapi akhirnya Anan berhenti menelepon, dan gue menghela napas lega. Gue duduk di ujung ranjang, di dekat kaki Asta yang lagi tidur pulas. Setidaknya dia enggak muntah.
HP Asta nyala lagi, dan gue tengok, kira-kira Anan telepon lagi atau enggak. Ternyata cuma notifikasi dari aplikasi yang namanya Find My iPhone.
Find My iPhone?!!
Sial!
Itu aplikasi buat menemukan perangkat Apple yang terdaftar di satu akun. Kalau Anan pakai aplikasi itu dari Mac-nya, dia bisa melihat lokasi HP Asta yang lagi gue pegang ini.
Jelas gue panik, terus langsung lempar HPnya ke ranjang.
Pasti dia sudah menemukan lokasi HP itu.
Gue yakin kalau dia sudah tahu di mana Asta berada.
Kenapa, sih, dia jago banget soal teknologi, kayak begini?
Kenapa?
Dia pasti bakal bunuh gue.
Anan pasti lagi jalan ke sini, dan enggak ada keajaiban apa pun yang bisa menyelamatkan gue sekarang.