Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Jalan Sunyi di Bawah Langit Kelam
Ardan berdiri mematung di depan gerbang besar, yang terbuat dari logam hitam dengan ukiran aneh yang seolah bergerak di bawah pandangan matanya. Gerbang itu tidak seperti yang ia ingat sebelumnya. Ada sesuatu yang baru saja berubah. Udara di sekitar menjadi lebih dingin, sementara bayangan yang semula tak berarti kini tampak seperti mengintip, mengikuti gerakannya.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun, langkah berikutnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam dirinya sendiri.
“Kenapa terasa berbeda sekarang?” gumamnya pelan.
Ia mencoba membuka gerbang itu, tetapi hanya suara dengungan rendah yang menjawabnya. Sejenak, ia merasa berada di tempat yang tak berujung. Namun, sebelum ia sempat melangkah mundur, suara tawa kecil—seperti anak-anak—terdengar dari balik gerbang.
Ardan mundur beberapa langkah. Suara itu bergema, mengerikan sekaligus memancing rasa ingin tahu.
“Tertawa di tempat seperti ini?” pikirnya. “Apa itu suara manusia?”
Tanpa diduga, gerbang perlahan terbuka, menampakkan jalan kecil yang berliku dengan pepohonan kurus seperti bayangan manusia. Langkah Ardan otomatis maju, meskipun bagian dalam dirinya berteriak untuk berhenti.
Di kejauhan, ia melihat sosok yang berjalan pelan dengan langkah terseok. Orang itu tampak seperti wanita, rambut panjangnya menjuntai hingga menutupi sebagian besar tubuhnya. Namun, sesuatu tentang gerakannya membuat Ardan merinding. Ia mempercepat langkah, tetapi suara tawa kecil kembali terdengar, kali ini dari arah belakangnya.
Ardan menoleh dengan cepat. Tidak ada apa-apa, hanya kabut yang perlahan mendekat seperti tirai tebal yang menelan sekelilingnya.
“Sial... apa lagi ini?” desisnya, tangannya mengepal.
Sosok wanita di depan berhenti dan menoleh.
“Ardan...” suara itu bergema, lembut tapi penuh beban.
Ardan tertegun. Wanita itu mengenal namanya? Tapi wajahnya terlalu buram untuk dikenali.
“Siapa kau?” seru Ardan, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mendesak keluar.
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia perlahan mengangkat tangannya, menunjukkan sesuatu—sebuah kunci kecil berwarna perak, berkilauan dalam kegelapan.
“Ambil ini... jika kau ingin tahu,” katanya sebelum membalikkan badan dan berjalan semakin jauh.
Ardan tidak punya pilihan selain mengikutinya. Setiap langkah terasa seperti membawa tubuhnya lebih dalam ke jurang. Namun, di balik semua itu, ia merasa ada sesuatu yang penting di ujung jalan ini.
---
Jalanan yang ia lalui membawa Ardan ke sebuah ruangan terbuka, dikelilingi pohon-pohon tua yang melingkar seperti arena. Di tengahnya berdiri sebuah altar batu. Wanita itu berhenti di depan altar, memegang kunci perak itu tinggi-tinggi.
“Tahukah kau, Ardan, apa yang kau cari sebenarnya?” tanya wanita itu tiba-tiba.
Ardan diam, mencoba mencerna maksud pertanyaannya.
“Semua orang yang datang ke sini mencari jawaban, mencari kekuatan, mencari... sesuatu. Tapi mereka semua gagal.”
Wanita itu menunduk, suaranya berubah dingin. “Dan mereka yang gagal... menjadi bagian dari tempat ini.”
Dari bayangan pepohonan, sosok-sosok muncul. Mereka tidak berbentuk jelas, tetapi Ardan bisa merasakan tatapan dingin mereka yang menusuk punggungnya.
“Kau mungkin salah satu dari mereka,” kata wanita itu sambil tertawa pelan.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Ardan berseru.
“Kau tidak akan bisa kembali sampai kau tahu siapa dirimu.”
Dengan kata-kata itu, wanita itu tiba-tiba menusukkan kunci perak ke dadanya sendiri. Darah hitam mengalir dari luka itu, tetapi bukan kematian yang terlihat, melainkan bayangannya sendiri keluar dari tubuhnya.
Bayangan itu menyerang Ardan tanpa peringatan. Ia nyaris tidak sempat menghindar ketika tangan bayangan itu mencakar udara di depannya, menghasilkan luka tipis di pipinya.
“Aku tidak punya waktu untuk ini!” Ardan mengangkat tangannya, berusaha melawan. Tapi bayangan itu lebih cepat, lebih gesit, seolah tahu setiap gerakan yang akan dilakukannya.
Ardan terjatuh ke tanah. “Kenapa... ini terasa seperti aku sedang melawan diriku sendiri?” pikirnya.
Bayangan itu terus mendekat, wajahnya yang tanpa bentuk mencerminkan kebencian yang dalam.
“Bangkit,” suara wanita itu terdengar lagi. “Jika kau menyerah sekarang, kau akan menjadi bagian dari kegelapan ini selamanya.”
Ardan memaksa dirinya berdiri. Napasnya berat, tubuhnya gemetar, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membara.
“Kalau ini ujian... aku tidak akan kalah,” katanya.
Ia menggenggam pedang bayangan yang entah bagaimana muncul di tangannya. Dengan satu teriakan, ia menyerang balik bayangan itu, menebasnya dengan semua kekuatannya.
Bayangan itu meledak menjadi serpihan kecil, menghilang seperti debu.
Wanita itu tersenyum samar. “Kau lulus ujian pertama. Tapi perjalananmu masih panjang.”
Sebelum Ardan bisa bertanya, semuanya berubah. Ruangan itu lenyap, digantikan oleh lorong panjang yang gelap.
Dan di ujung lorong itu, sebuah pintu berdiri, menunggu untuk dibuka.